Bukankah tolok ukur sebuah kekayaan bukan dilihat dari seberapa banyak perhiasan yang dipakai? Maya, pendatang baru di Perumahan Citra Kencana disindir habis-habisan oleh para tetangganya karena datang ke Acara Hajatan tanpa menggunakan perhiasan. Banyak yang mengira jika suami Maya adalah pekerja cuci piring di Restoran Cempaka, Restoran yang jaraknya lumayan dekat dengan Perumahan tempat ia tinggal. Karena sedang mengurus pembangunan cabang Restoran yang baru, Abian-- suami Maya meminta Sang Istri untuk datang ke Restoran Cempaka dan mencari tahu apakah benar Restoran yang ia amanah kan pada Kepala Restoran baru bernama Satria itu sedang mengalami kebangkrutan? Maya kaget saat sampai di dalam Restoran. Satria yang ternyata suami dari tetangganya yang bernama Eti itu tidak mengenal dirinya sebagai istri Abian. Bahkan suami istri itu mengusir Maya dan mengira Maya adalah istri dari tukang cuci piring di Restoran. Maya direndahkan, dihina halu, diusir dan diperlakukan tidak baik. Bagaimana kelanjutan ceritanya? Apakah Maya akan diam saja diperlakukan semena-mena oleh bawahan suaminya?
View More.
.
"Haduh, nggak banget lihat Maya. Pergelangan tangan kosong, jari-jarinya kosong, lehernya juga nggak ada perhiasan, cuma anting aja itu yang melekat di telinganya," Bu Surti berbicara sambil melirik jijik ke arah Maya.
"Maklum lah, Bu Sur ... suaminya cuma pegawai Restoran, mana bisa dia bebelian perhiasan macam kita," sahut Dahlia, tetangga depan rumah Maya.
"Kasihan sekali ya, masih muda tapi hidupnya susah. Beruntung kita-kita yang udah berumur matang ini nggak salah pilih suami," celetuk Bu Hanum. "Pakaian sih boleh bagus, tapi kalau nggak ada perhiasan yang nempel, ah ... ketahuan miskinnya."
Ketiganya terkekeh seakan membenarkan ucapan Bu Hanum. Maya yang menyadari sedang diperhatikan pun menoleh dan mengangguk samar pada trio julider's di Perumahan-nya. Wanita cantik itu berdiri sebentar di depan akses masuk tenda pernikahan yang sudah dihias banyak sekali bunga. Telepon dari Sang Suami membuatnya sedikit menjauh setelah mengangguk menyapa tiga tetangga yang ia kenal.
"Dih, pakai senyum-senyum lagi. Dikiranya kita level apa berteman sama dia. Ya nggak, Bu Sur?"
Bu Surti mengangguk, kemudian bergidik membuat Maya sedikit canggung dengan respon yang tetangga barunya itu berikan.
"Hati-hati, Bu Sur ... besok-besok kalau dia mau bertamu, pastikan dulu kedatangannya mau apa. Takutnya minjam duit," sambung Dahlia. "Ya ... antisipasi aja sih, jaman sekarang kan banyak orang susah. Apalagi Maya itu warga baru, pendatang juga. Jangan sampai Bu Sur kena tipu!"
Bu Surti lagi-lagi mengangguk. Selama ini ia memang dikenal sebagai orang paling kaya di perumahan ini. Perumahan biasa, bukan perumahan mewah yang rumahnya menjulang tinggi.
Setelah mematikan sambungan telepon, Maya berjalan mendekati Dahlia, tetangga yang dia kenal lebih dulu.
"Eh, dia berjalan kesini. Duh, enggak banget. Males sama model orang miskin, ya nggak sih, Bu?"
Bu Sur dan Bu Hanum mengangguk, kemudian membuang muka saat Maya sudah ada di depan meja mereka. "Boleh saya gabung ibu-ibu? Kebetulan belum banyak tetangga yang saya kenal," ucap Maya ramah.
Dahlia mengangguk kikuk sementara dua wanita di sebelahnya tidak menanggapi ucapan Maya.
"Lia, coba kamu lihat ... gelang saya ini model terbaru loh, Hesti yang beliin. Bagus kan?"
Dahlia antusias sekali melihat-lihat gelang keroncong di pergelangan tangan Bu Sur. "Wah, ini sih gelang mahal, Bu Sur. Hebat banget ya Mbak Hesti, pasti suaminya kaya makanya bisa beli banyak perhiasan buat Ibunya. Anak dan menantu yang berbakti," puji Dahlia menggebu-gebu.
"Iyalah, Lia. Jaman sekarang itu harus pintar-pintar cari suami. Kalau suami kaya, kita jadi Ratu. Kalau suami miskin yang ada kita jadi babu. Malu kalau keluar rumah nggak pakai perhiasan, kelihatan sekali kalau hidup orang itu nggak bahagia." Bu Hanum berbicara sambil sesekali melirik ke arah Maya.
Maya yang mendengar obrolan mereka hanya sesekali tersenyum tipis. "Ya nggak, Mbak Maya? Betul kan omongan saya?" tanya Bu Hanum.
"Ada benarnya, dan ada tidaknya menurut saya, Bu. Tidak semua suami kaya bisa memperlakukan istrinya seperti ratu, begitupun sebaliknya. Dan maaf, sepertinya tidak semua orang suka memakai perhiasan, jadi bagi saya ... perhiasan bukan tolok ukur kebahagiaan seseorang."
Bu Hanum mencebik. Dia meletakkan dua tengannya di atas meja dan memamerkan dua cincin di jari kanan serta tiga cincin di jari kiri. "Ah, kalau saya sih mikirnya gitu. Pasti orang-orang yang nggak pakai perhiasan itu tertekan hidupnya. Gimana enggak, buat makan aja susah apalagi buat bebelian emas. Kasihan!"
Maya lagi-lagi hanya mengulas senyum tipis. Bukan ia tidak mengerti arti sindiran ketiga tetangganya. Hanya saja, bagi orang baru seperti Maya lebih baik menghindari perdebatan untuk menjaga citranya sebagai warga pendatang.
"Yuk ah, itu pelaminannya udah sepi. Keburu sore ini," ajak Bu Sur. Tangannya sengaja ia naik turunkan ke atas agar gelang-gelang yang ia pakai mengeluarkan bunyi gemerincing. Belum lagi jilbab yang ia singkap ke belakang membuat kalungnya yang menjuntai panjang dengan bandul besar terlihat dari luar.
Ketiganya berdiri dan berjalan mendekati dua pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan. Maya yang merasa tidak dianggap hanya mengekor di belakang. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti tiga tetangga sombongnya daripada harus naik sendirian. Canggung.
"Selamat ya, Eti. Semoga menjadi keluarga yang Sakinah," ucap Bu Sur basa-basi. Lagi-lagi ia menggerakkan pergelangan tangannya. "Maharnya emas berapa gram?" bisik Bu Sur membuat Dahlia dan Bu Hanum terkekeh. "Pasti gede dong ya, secara suami kamu kan Bos."
"Tentu, Bu. Emas 30 gram termasuk kalung, gelang, tiga cincin dan satu gelang kaki," sahut Eti sombong.
Bu Sur, Bu Hanum dan Dahlia menganga lebar mendengar mahar yang didapatkan Eti. "Tuh kan, apa saya bilang ... kalau dapat suami kaya pasti bahagia. Soalnya punya banyak perhiasan jadinya kan." Suara Bu Hanum memecah keheningan. Tidak ada yang menimpali ucapannya karena Dahlia dan Bu Sur berkutat dengan pikirannya sendiri.
"Selamat ya, Mbak Eti. Semoga pernikahan ini langgeng," doa Maya sembari menyalami mempelai wanita. Tentu saja dengan menyelipkan amplop putih di tangan Eti.
"Makasih," sahut Eti enggan. Dia mengusap tangannya jijik setelah Maya terlihat turun dari atas pelaminan. Disusul Bu Sur, Bu Hanum dan Dahlia hingga ketiganya pun mengikuti langkah Maya.
Mereka pulang dengan berjalan kaki. Obrolan-obrolan seputar perhiasan pun masih menghiasi bibir merah tiga wanita beda generasi itu. Seperti biasa, Maya hanya menanggapi dengan tersenyum.
"Sombong sekali si Eti, tau nggak, Mbak Maya ... dia tadi usap-usap tangan waktu Mbak Maya udah turun. Udah macam orang paling kaya saja dia," kata Dahlia mengompori. "Baru punya perhiasan dari hasil mahar saja gayanya kayak yang udah paling kaya di Perumahan ini. Gemes!"
"Itu juga salah Maya, kamu nggak punya perhiasan ya?" tanya Bu Sur lancang. "Ya ... gimana ya, bagi kami kaya itu banyak perhiasan. Kalau cincin saja kamu nggak punya, pasti hidup kamu sengsara sekali, ya kan?"
"Alhamdulillah Mas Abian menafkahi saya lebih dari cukup, Bu," sahut Maya tak acuh. "Saya punya kok perhiasan, cuma memang jarang pakai saja. Buat tabungan."
Bu Sur mencebik, "Jangan sampai pinjam uang ke saya loh, kan kamu punya tabungan. Emas lagi," sindirnya ketus.
Maya menatap kepergian tiga wanita itu di depan rumahnya. Kebetulan rumah Maya berada paling ujung. Dahlia tanpa menoleh lagi sudah berbelok pulang setelah cipika-cipiki dengan Bu Sur dan Bu Hanum. Padahal rumah mereka hanya berjarak beberapa rumah saja.
"Ada-ada saja," gumam Maya.
***
Tiga hari kemudian ....
"Assalamualaikum, Dek ... bisa ke Restoran Cemara sebentar?"
"Waalaikumsalam, ada apa, Mas? Apa ada masalah serius?"
"Ah enggak, tadi Satria bilang banyak bahan dapur yang kosong tapi uang pendapatan bulan ini minus. Kamu cek ya, Mas masih ada urusan, pembangunan restoran baru kita sudah 90%, kalau enggak dipantau takut bakalan lama."
Maya mengangguk mengerti. "Mas belum cek pendapatan bulan ini? Kenapa nggak bilang sama aku?"
"Maaf, Sayang. Mas pikir Satria bisa dipercaya, lagipula kasihan kamu kalau harus bolak-balik dari rumah ke Restoran, lepas itu ke rumah Ibu. Capek di jalan!"
"Ck! Satria itu kepala dapur baru kan?"
"Iya, tolong ya?"
"Baiklah."
"Terima kasih, Sayang."
"Sama-sama. Cepat pulang, dan hati-hati ya."
"Tentu. Assalamualaikum, istriku."
"Waalaikumsalam."
Setelah mematikan sambungan telepon. Maya gegas berganti pakaian dan menyambar tas kecil di antara banyak sekali tas koleksi miliknya.
"Mau kemana, Mbak Maya? Itu rumah sepi sekali ya, suami kerja apa sih kok sampai nggak pulang-pulang, bukannya pelayanan restoran ya?"
Maya menghentikan gerakan tangannya yang sedang membuka pintu pagar. "Siapa bilang, Mbak?"
"Ah, banyak kok yang bilang. Ibu-ibu yang pernah nongkrong di restoran cempaka sering lihat suami Mbak Maya melayani pengunjung."
"Gitu ngakunya banyak emas, Mbak. Suaminya kerja jadi pelayan aja bicaramu sombong sekali."
Setelah mengatakan demikian, Dahlia berbalik hendak kembali masuk ke dalam rumah. Maya mematung di tempatnya sambil menatap punggung Dahlia yang hampir menghilang.
Sampai seseorang berhenti di depan rumah Dahlia dan berkata. "Kapan kau mau bayar cicilan emas-emas itu, Lia!"
"Jangan kau sukanya ngutang tapi nggak mau bayar ya! Capek aku nagih tiap minggu kesini tapi rumahmu selalu saja tertutup! Pandai kau ya main petak umpet samaku!"
Dahlia menoleh. Wajahnya memucat serta dengan cekatan tangannya menyembunyikan gelas serta dua cincin di balik jilbabnya yang lebar.
Bersambung
Tubuh Gading mematung. Lagi-lagi pertemuannya dengan Laura membawa kilas pedih pada masa lalu. "O-- oh, hai, Ra," sapa Gading kikuk. "Sama suami kamu lagi?"Laura bergeming sementara Hesty menatap heran ke arah suaminya. "Mas kenal suami Laura?" tanya Hesty menyelidik.Gading mengedikkan bahu. Dia menurunkan Seila dan menjawab. "Kapan hari kan Mas ketemu Laura sama suaminya. Gading, Mas!" Gading menjulurkan tangannya di depan Reyhan. "Reyhan, Mas," sahut mantan suami Hesty datar. "Kalau begitu kami pamit dulu. Permisi!"Reyhan berjalan sembari menggandeng tangan Mazaya sementara Laura mengekor di belakang mereka dengan air mata yang menganak sungai. "Mas ...." Panggil Hesty lirih. Gading menoleh. Wajahnya berubah sendu ketika bertemu Laura untuk yang kesekian kalinya. "Dia ... mantan suamiku," aku Hesty."Dia?"Hesty mengangguk. "Sepertinya dia baru keluar dari penjara. Entah bagaimana ceritanya, Mas Reyhan ... tidak mau membahas luka yang sudah aku ciptakan."Gading seketika men
"D-- dia istri kamu, Mas?" tanya Hesty gagap. Kedua matanya memanas melihat Mazaya, gadis kecil yang begitu Reyhan lindungi ternyata putri dari wanita yang sudah ia hancurkan rumah tangganya. "D-- dia ...?"Reyhan terkekeh getir. Dia melepaskan genggaman tangannya pada Mazaya dan mempersilahkan wanita di sampingnya menggendong putri kecil yang beberapa menit lalu ia cari-cari."Kalau wanita seperti kamu saja bisa membuangku tanpa berpikir dua kali, apa kamu pikir ada wanita lain yang mau menerimaku sebagai suami, Hes?" tanya Reyhan perih. "Aku hanyalah pria kotor yang rela melakukan apa saja demi memenuhi gaya hidup istriku dan keluarganya. Tapi itu dulu ... sekarang, aku hanyalah seorang pria yang berjuang untuk keluarganya. Untuk Emak dan Bapakku di kampung. Apalagi setelah aku tahu bahwa putriku hidup dengan layak, sepertinya memang aku harus meredam ego. Demi masa depannya. Demi mentalnya. Jaga dia!"Reyhan melengos sembari mengusap sudut matanya yang berair. Sejenak kemudian, dia
"Apa kabar, Hes?" Reyhan bertanya dengan nada dingin. Bertanya kabar mantan istrinya dengan air muka begitu tenang. "Putriku sudah sebesar ini ya? Boleh aku gendong?"Seila menggeleng kata tangan Reyhan terangkat ke udara. Gadis kecil itu berlari bersembunyi di belakang tubuh Bu Sur dan berceloteh gemas. "Kata Papa gak boleh! Jangan gendong Seila, Om," ucapnya cadel. Hati Reyhan berdenyut nyeri. Seila, bayi mungil yang dulu selalu nyaman berada dalam gendongannya kini menolak pelukan darinya dengan dalih dilarang oleh Papa. Papa siapa yang Seila maksud, batin Reyhan."Om cuma mau peluk. Boleh?"Seila menggeleng takut. Kedua mata Reyhan memanas dengan satu tangan yang kembali menggenggam erat jemari Mazaya. Gadis kecil yang usianya sepadan dengan Seila."M-- Mas sudah bebas?" tanya Hesty dengan suara bergetar. Ada perasaan bersalah yang teramat dalam untuk mantan suakmunya itu. Bagaimana dulu Hesty memilih bercerai karena Reyhan kedapatan tertangkap polisi sedang mengedarkan barang ha
"Nanti siang aku mampir ke Restoran ya, Mas?"Hesty yang sedang menyuapi putrinya berbicara manja pada Gading. Sejak setahun yang lalu suaminya bekerja di Restoran milik Abian dan kehidupan Hesty perlahan-lahan mulai membaik. Gaji yang Abian tawarkan memang tidak kaleng-kaleng. Apalagi selama ini Restoran itu terkenal dengan hidangan yang lezat. Ada harga, ada rasa."Memangnya nanti siang mau kemana?" tanya Gading menelisik. "Jalan-jalan?"Hesty nyengir. Dia mengangguk ragu dan melirik Bu Sur yang juga tengah sarapan bersama mereka di ruang makan. "Boleh ya, Mas?""Boleh, sekalian ajak Ibu."Bu Sur mengangkat kepalanya. Matanya memanas. Untuk pertama kalinya dia merasakan kehangatan dari hubungan rumah tangga Hesty. Kegagalan di masa lalu membuat wanita muda itu banyak belajar bahwa menerima kekurangan pasangan jauh lebih baik daripada harus saling menuntut."Bapak gak sekalian, Ding?"Gading tertawa lebar. "Ki
"Apa kabar anak Ayah hari ini? Bunda nakal gak? Kamu menyusu dengan baik kan?" goda Abian sembari mengambil alih sang putra dari gendongan Ibunya. "Jelas dengan baik lah, kan Ayah sudah kehilangan jatah menyusu," sahut Ibu sarkas.Maya dan Abian mematung. Keduanya tergelak ketika menyadari ucapan Ibu terlalu frontal sore ini."Ibu apa-apaan sih, ada Bu Saroh tuh, gak baik bicara seperti itu. Bikin kita malu aja!" gerutu Abian yang dibalas tawa renyah oleh Ibu."Diskusi apa sama Maya, Ibu boleh tau?"Abian mengangguk. Mereka berjalan menuju ruang makan sementara Abimanyu ia serahkan pada Bu Saroh."Tolong ajak Abimanyu sebentar ya, Bu.""Dengan senang hati, sini anak manis," sahut Bu Saroh yang tersenyum lebar mendapatkan tubuh Abimanyu yang mungil dalam dekapan. "Jadi aku tadi mampir ke rumah Mbak Hesty, Bu," kata Abian bercerita. "Kebetulan kepala dapur di Restoran Cempaka resign, dia ikut istrinya pulang kampung dan cari kerja disana saja katanya. Aku pikir, daripada aku ambil ora
Satu minggu kemudian ....Abian pulang dengan membawa rasa rindu pada istri dan anaknya. Bahkan pria itu sekarang lebih sering berada di rumah dan menghandle Restoran dari rumah. "Baru pulang, Mas Gading?" Abian yang menutup pintu pagar sengaja menyapa Gading yang baru pulang dari bekerja. Mamang pergi mengantar Emak dan Bapak yang sudah kembali ke kampung, itu sebabnya sekarang Abian membawa mobil sendiri."Iya, Mas," sahut Gading sambil mengulas selarik senyum. Gading terlihat kelelahan mendorong gerobak yang sudah ia pisahkan dari motornya. Peluh membasahi bajunya yang nampak lusuh. Benar-benar ... kesalahan membuat Gading dan Hesty berubah banyak beberapa bulan belakangan. Abian merasa kasihan. Dulu, ia sengaja menolak memperkerjakan Gading karena memang kurang suka dengan gaya bicara tetangganya itu. Apalagi dulu Gading masih menjunjung tinggi sikap sombong dan pongah membuat Abian jengah dan enggan beruru
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments