"D-- dia istri kamu, Mas?" tanya Hesty gagap. Kedua matanya memanas melihat Mazaya, gadis kecil yang begitu Reyhan lindungi ternyata putri dari wanita yang sudah ia hancurkan rumah tangganya. "D-- dia ...?"Reyhan terkekeh getir. Dia melepaskan genggaman tangannya pada Mazaya dan mempersilahkan wanita di sampingnya menggendong putri kecil yang beberapa menit lalu ia cari-cari."Kalau wanita seperti kamu saja bisa membuangku tanpa berpikir dua kali, apa kamu pikir ada wanita lain yang mau menerimaku sebagai suami, Hes?" tanya Reyhan perih. "Aku hanyalah pria kotor yang rela melakukan apa saja demi memenuhi gaya hidup istriku dan keluarganya. Tapi itu dulu ... sekarang, aku hanyalah seorang pria yang berjuang untuk keluarganya. Untuk Emak dan Bapakku di kampung. Apalagi setelah aku tahu bahwa putriku hidup dengan layak, sepertinya memang aku harus meredam ego. Demi masa depannya. Demi mentalnya. Jaga dia!"Reyhan melengos sembari mengusap sudut matanya yang berair. Sejenak kemudian, dia
Tubuh Gading mematung. Lagi-lagi pertemuannya dengan Laura membawa kilas pedih pada masa lalu. "O-- oh, hai, Ra," sapa Gading kikuk. "Sama suami kamu lagi?"Laura bergeming sementara Hesty menatap heran ke arah suaminya. "Mas kenal suami Laura?" tanya Hesty menyelidik.Gading mengedikkan bahu. Dia menurunkan Seila dan menjawab. "Kapan hari kan Mas ketemu Laura sama suaminya. Gading, Mas!" Gading menjulurkan tangannya di depan Reyhan. "Reyhan, Mas," sahut mantan suami Hesty datar. "Kalau begitu kami pamit dulu. Permisi!"Reyhan berjalan sembari menggandeng tangan Mazaya sementara Laura mengekor di belakang mereka dengan air mata yang menganak sungai. "Mas ...." Panggil Hesty lirih. Gading menoleh. Wajahnya berubah sendu ketika bertemu Laura untuk yang kesekian kalinya. "Dia ... mantan suamiku," aku Hesty."Dia?"Hesty mengangguk. "Sepertinya dia baru keluar dari penjara. Entah bagaimana ceritanya, Mas Reyhan ... tidak mau membahas luka yang sudah aku ciptakan."Gading seketika men
. . "Haduh, nggak banget lihat Maya. Pergelangan tangan kosong, jari-jarinya kosong, lehernya juga nggak ada perhiasan, cuma anting aja itu yang melekat di telinganya," Bu Surti berbicara sambil melirik jijik ke arah Maya."Maklum lah, Bu Sur ... suaminya cuma pegawai Restoran, mana bisa dia bebelian perhiasan macam kita," sahut Dahlia, tetangga depan rumah Maya."Kasihan sekali ya, masih muda tapi hidupnya susah. Beruntung kita-kita yang udah berumur matang ini nggak salah pilih suami," celetuk Bu Hanum. "Pakaian sih boleh bagus, tapi kalau nggak ada perhiasan yang nempel, ah ... ketahuan miskinnya."Ketiganya terkekeh seakan membenarkan ucapan Bu Hanum. Maya yang menyadari sedang diperhatikan pun menoleh dan mengangguk samar pada trio julider's di Perumahan-nya. Wanita cantik itu berdiri sebentar di depan akses masuk tenda pernikahan yang sudah dihias banyak sekali bunga. Telepon dari Sang Suami membuatnya sedikit menjauh setelah mengangguk menyapa tiga tetangga yang ia kenal."Di
. . "A-- ah, ada Bu Joko. Mari masuk, Bu!" ucap Dahlia gugup.Bu Joko berkacak pinggang di depan rumah Dahlia. Wajahnya yang tegas membuat siapapun yang melihat pasti takut. Tapi memang itulah tujuannya, kalau wajah lembek sudah pasti banyak orang-orang licik yang tidak mau membayar cicilan utang padanya."Jangan bermanis-manis mulut kau, Lia! Sudah berapa kali aku kesini tapi rumahmu selalu tertutup, hah?"Dahlia meneguk ludahnya kasar sambil sesekali melirik ke arah Maya yang sedang mengeluarkan motor dari dalam halaman rumahnya."Waktu berhutang saja kau pandai merayu bilang mau nyicil tepat waktu segala macam. Sekarang apa ...? Bagaimana kenyatannya ...?""Aku tidak mau tau, hari ini juga cicil semua hutang-hutangmu atau emas-emas itu aku ambil!"Dahlia kelabakan. Hari ini suaminya belum gajian sementara uang bulanan dari Sang Suami pun sudah habis tak bersisa."Ehm ... anu, Bu Joko ....""Aku tidak menerima alasan apapun, Lia!" bentak Bu Joko.Dahlia segera menarik pergelangan
. . Di tengah jalan, Maya membuang semua prasangka buruk. Bisa saja ucapan Bu Joko tadi bukan dituduhkan olehnya namun kendati melupakan semua kejadian di depan rumahnya tadi, Maya tetap saja merasa janggal dengan ucapan Bu Joko yang mengatakan untuk berhati-hati ketika akan memberikan pinjaman pada tetangga seakan-akan Maya adalah peminjam dan Dahlia adalah penagih hutang.Sesampainya di depan Restoran, ia dibuat heran dengan banyaknya pengunjung siang ini. Hampir lima bulan Restoran ini dibangun, hanya sekali saja Maya menginjakkan kaki mengingat dulu tempat tinggalnya cukup jauh dari Restoran cabang kedua milik suaminya ini. Itupun ia datang bersama Suaminya setelah pulang dari rumah mertua.Beberapa pekerja memang mengingat Maya dengan baik, tapi para pekerja baru dan juga kepala pelayan baru belum pernah bertemu Maya sebelumnya."Mbak Maya?" sapa Eti kaget. "Mau cari suami ya? Ya ampun, segitunya jadi istri sampai suami kerja pun dicariin," cibirnya. "Tapi dari tadi aku duduk k
. . "Ah, banyak omong! Seret wanita ini keluar, tunggu apa lagi, hah?" Dua orang satpam saling pandang lalu menarik tangan Maya dengan kasar. Hampir saja ponselnya terlepas dari genggaman sehingga membuat Maya naik pitam. "Lepaskan!" bentak Maya geram. Bruk ...!!! Maya didorong kasar oleh seseorang yang tidak lain adalah Eti. "Bikin malu tau nggak, Mbak?" Dada Maya naik turun. Dia berusaha berdiri dan mengibaskan celananya yang kotor akibat terjatuh di halaman Restoran. "Nih lihat, video kamu viral di Perumahan kita," ucap Eti sinis. "Makanya, jangan cari gara-gara di Restoran suamiku. Sana pergi! Suamimu pasti ada di rumah wanitanya yang lain, buktinya saja dia tidak keluar dan membelamu. Menyedihkan!" Kedua tangan Maya mengepal. Belum sempat Eti berbalik, Maya dengan cepat menarik rambut tetangganya itu membuat Eti mengadu kesakitan. "Aakkkhhh ... Mas, tolong ...!!!" Satria berlari keluar dan berteriak, "Bantu istriku, bodo
. . "A-- apa sih, Mbak Maya! Tanya-tanya nggak jelas!" sahut Dahlia gugup. Maya bersedekap dada. Telinganya terngiang-ngiang ucapan sang suami bahwa setelah ini dia harus berani bersikap tegas dan pemberani. "Bagian mana yang nggak jelas? Ah, kalau begitu biar saya kirim rekaman CCTV di depan rumah saya ke grup, biar semua orang tau kalau sebenarnya ...."Bu Sur dan Bu Hanum saling pandang, lalu ...."Ha ... ha ... ha ...." Mereka tertawa lebar bersama membuat Dahlia pun mau tidak mau menarik garis bibirnya. "Rekaman CCTV? Setelah tabungan emas, bikin keributan di Restoran Eti, ngutang ke Lia, sekarang dia bilang kalau di depan rumahnya ada rekaman CCTV? Astaga, Mbak Maya ... sebegitu halu-nya ya, kamu," ucap Bu Hanum setelah meredakan tawanya.Bu Sur terlihat menyeka sudut matanya karena tertawa terlampau terbahak. "Sudahlah, Bu Hanum. Beri dia kesempatan buat nunjukin rekaman CCTV itu. Mana?""Sejujurnya aku takut kalau ternyata suami yang selama ini kamu akui itu ternyata suami o
. . "Buru-buru amat?" Abian menoleh, "Ada sedikit masalah di Restoran cabang. Titip urusan disini ya, kalau ada apa-apa segera hubungi aku." "Sudah kuduga ada yang nggak beres di Restoran kamu yang satu itu," sahut Dama. Abian menghela napas kasar. Dama adalah sepupunya yang merangkap menjadi orang kepercayaan Abian di Restoran pertama milik Abian. Restoran yang paling besar dibandingkan dengan Restoran cabang yang lain. Tentu. Anggap saja itu sebagi Restoran utama. Bisnis pertama yang Abian geluti bahkan sebelum menikah dengan Maya. "Beberapa hari belakangan saat kamu bilang Restoran itu sepi dan minus pendapatan per bulan ini, aku udah merasa janggal," papar Dama. "Pasalnya, tiga hari belakangan aku selalu melewati tempat itu, hanya saja ... maaf, Restoran itu masih tetap ramai seperti sebelum-sebelumnya, Bian." Abian mengurungkan dirinya masuk ke dalam mobil. Sore ini ia mendadak meminta Dama untuk datang ke tempat pembangunan Restoran baru untuk menggantikan dirinya meman