"Duduk dulu, Hes. Minum dan makan rotinya."
Hesti mengangguk dan menerima roti dari tangan Tomi. Di sebuah bangku tunggu yang ada di dalam bengkel, Hesti duduk berdampingan dengan Halimah dan Tomi. Wanita itu melahap roti dengan rakus hingga ludes ketiganya dalam hitungan detik. Tanpa sadar air mata Halimah menetes melihat betapa menyedihkannya takdir hidup Hesti setelah diboyong Ki Kusumo ke kota. Bahkan semua warga kampung mengira Hesti lupa dengan Eni karena sudah kaya, tapi kenyataannya ...."Setelah ini tolong segera pergi dari bengkel Mas Tomi, Mbak." Setelah menegak air mineral hingga tandas, Hesti menatap Vano dengan mata berembun."Mas," lirih Halimah."Maaf, Dek. Tapi Mas punya alasan untuk itu."Hesti menunduk dan memainkan sepuluh jemarinya. Dia menangis sesenggukan membuat Halimah tidak tega dengan penampilan Hesti. Baju kotor yang sudah banyak noda, rambut awut-awutan yang begitu kumal, juga kulit yang du"Tidak, Mas! Tidak boleh ada di antara kita yang membantu Mbak Hesti keluar dari kota ini. Jika tidak ... aku yakin, Halimah target selanjutnya," sela Vano dengan gelisah. "Anak buah Ki Kusumo tersebar di semua akses jalan ke luar kota. Jika salah satu dari mereka tau keluarga kita ikut campur, maka ... habislah kita.""Lalu apa kita hanya diam saja melihat dia terluka, Van?" Tanpa sadar suara Tomi meninggi. Dia benar-benar marah dengan perlakuan Ki Kusumo yang dianggap tidak manusiawi."Aku bahkan lebih memilih itu, Mas. Daripada keluargaku yang menjadi korban selanjutnya, apalagi istriku ... aku tidak ingin mengorbankan istriku demi menyelamatkan wanita lain. Titik!"Tomi menyandarkan punggungnya dengan frustasi. Pintu bengkel sengaja mereka tutup sebagian agar tidak ada orang datang dan curiga."Tapi Mbak Hesti, Mas?" ujar Halimah lirih."Mas punya ide, tapi tidak yakin ini berhasil atau tidak."Semua m
"Kemana penghuni rumah ini?" Ki Kusumo berteriak lantang di depan rumah Eni membuat para tetangga berhamburan keluar."Cepat katakan dimana mereka?!"Tidak ada yang menjawab. Suasana desa di pagi hari masih lumayan sepi meskipun beberapa warga sudah berkerumun akibat teriakan Ki Kusumo yang marah-marah.Pak RT berlari menuju ke arah keributan. Setelah berbulan-bulan kampung mereka terhindar dari masalah, kini, masalah itu datang lagi dan dari tempat yang sama. Rumah Eni."Ada apa ini, Pak?" Pak RT mendekat. Ki Kusumo menarik napas panjang. Dia mencengkeram kerah baju Pak RT membuat lelaki paruh baya itu sedikit ketakutan."Kemana mereka? Pergi kemana mereka semua?!" bentak Ki Kusumo.Pak RT mengernyit. Sejurus kemudian dia paham siapa yang Ki Kusumo maksut saat melihat pintu rumah Eni bergembok dari luar."Pergi? Bukankah kemarin Bu Eni masih ada di rumah, ya kan Bu Diah?"B
Hampir saja tubuh wanita itu limbung jika saja Tomi tidak sigap menahan tangannya. Dengan cepat dia menepis tangan Tomi yang tidak sengaja berbenturan dengan kulit tangannya yang putih dan mulus."Ma-- Maaf, tidak sengaja," ucap Tomi terbatas.Jantungnya berdebar kencang melihat wajah cantik dengan balutan jilbab lebar yang menutupi tubuhnya. Wanita itu tersenyum tipis dan mengangguk, lalu membawa motornya sendiri untuk masuk ke dalam bengkel.Tomi terpaku, hingga sepersekian detik dia tersadar dan berlari kecil untuk membantu motor wanita cantik itu."Kau sudah menikah?" Entah keberanian dari mana Tomi menanyakan hal pribadi padanya.Wanita yang duduk tidak jauh darinya menggeleng, lalu membuang muka dengan tatapan ke arah jalanan yang semakin ramai.'Jangan nangis, plis, jangan nangis. Kamu harus move on, Gina," batin wanita itu tanpa mau menoleh ke arah dimana Tomi berada."Suda
Hesti dan Kusaini menjalani hari-hari baru mereka dengan berat. Tinggal di kota asing tidak lantas membuat keduanya bebas dan merasa sudah terlepas dari apa yang sudah terjadi. Apalagi mereka hanya tinggal bertiga, beruntung anak Kusaini sudah dijemput oleh Gina sejak beberapa bulan yang lalu karena Gina mendengar jika Eni gila."Alhamdulillah, Mbak. Jadi kuli panggul di pasar uangnya cukup untuk kita makan sehari-hari," tutur Kusaini dengan mengeluarkan uang sebesar 75.000 dari dalam kantong celananya.Hesti menangis. Dia memeluk Kusaini dan berkali-kali meminta maaf, "Jika saja Mbak bisa menjaga diri, semua tidak akan terjadi, Kus. Maaf, karena Mbak kita harus mengalami hal sulit begini. Kamu dan Ibu harus rela membawaku bersembunyi."Kusaini mengusap lengan kakaknya dengan lembut. "Semua sudah terjadi, Mbak. Lebih baik kita sama-sama bertaubat agar Allah mengampuni dosa-dosa kita, juga memberikan kesembuhan untu
"Maafkan Hesti, Bu. Maafkan aku karena sudah menjadi anak yang tidak berguna."Hesti memeluk tubuh Eni yang semakin kurus. Dia berkali-kali mencium pipi Ibunya yang sudah basah oleh air mata. Kesedihan menyelimuti hati mereka berdua, bahkan Kusaini enggan mengganggu momen Ibu dan anak yang sedang menyemai rindu."Tidak, Nak. Harusnya Ibu yang minta maaf. Ibu sudah keterlaluan selama ini. Ibu bodoh ... ibu terlalu gila harta sampai ....""Tunggu! Ibu sudah sehat?"Eni menunduk. Dia kembali menyeka air mata yang sudah membasahi pipi. "Ibu ... sebenarnya Ibu tidak gila, Nak. Ibu hanya malu pada warga kampung, malu karena setelah mengagung-agungkan kamu yang bisa menikah dengan lelaki kota tapi ternyata jejakmu hilang begitu saja. Ibu marah pada diri Ibu sendiri ... Ibu bahkan diam-diam menangis saat Kusaini memperlakukan Ibu dengan begitu baik. Ibu tertampar, Hes. Ibu sadar jika selama ini Ibu bukanlah ibu yang b
"Ja--jadi Halimah dan keluarganya yang sudah membantu kamu, Nak?" tanya Eni. "Halimah yang selalu Ibu musuhi ternyata masih rela menolong kamu dari masalah sebesar ini. Ibu merasa semakin kerdil, Hes."Mereka bertiga larut dalam penyesalan yang mendalam. Dosa yang pernah Eni lakukan terbayang-bayang di pelupuk matanya, apalagi jika mengingat tentang kebejatan Tarjo pada Halimah dulu, dia benar-benar menyesal sudah membuat Halimah hidup dalam kesulitan dan ketidaknyamanan hingga harus pindah ke kota."Bagaimana cara kita berterima kasih pada mereka, Hes? Ibu ingin minta maaf, terlalu banyak kesalahan ibu pada keluarga Leha.""Tidak mudah untuk keluar dari kota ini, Bu. Anak buah Ki Kusumo pasti sedang berkeliaran mencariku. Lebih baik, ibu minta maaf dulu pada Allah, meminta pertolongan pada Sang Pemilik Kehidupan agar kita semua dimudahkan untuk menemui Halimah dan keluarganya."Eni mengangguk. Dia k
"Tunggu saja, kalian pasti senang melihat kedatangan wanita ini nanti."Halimah memilih diam dan menuruti ucapan Tomi, karena memaksa kakaknya bercerita pun percuma rasanya. Begitupun dengan Leha, wanita paruh baya itu cukup tersenyum melihat cekcok gurauan yang kedua anaknya lakukan."Lagi bahas apa sih, Mas ngucapin salam dari tadi nggak ada yang nyaut," seloroh Vano sembari mencium punggung tangan Ibu Mertuanya, dan beralih pada Halimah yang mencium punggung tangannya.Halimah terkekeh, dia meminta maaf karena terlanjut asyik menggoda Tomi yang terlihat tengah kasamaran. Dia mengikuti langkah Vano masuk ke dalam kamar setelah suaminya itu selesai basa-basi bersama Tomi dan Leha. Gurat lelah terpancar di wajahnya apalagi saat ini Cafe mereka sudah memiliki banyak cabang."Mas Tomi bilang hari Minggu besok mau ada cewek yang datang, Mas.""Oh ya, siapa?""Entahlah,
"Sial! Telepon rumah nggak diangkat, Van!"Vano memukul stir mobil dan menatap jalanan dengan gusar sementara Halimah meremas sepuluh jemari dengan cemas."Kebut, Van. Aku tidak mau Ibu dan Bapak kenapa-kenapa."Vano mengangguk. Dia menambah kecepatan mobil karena merasakan apa yang sedang Tomi rasakan saat ini. Mereka berdua laki-laki muda, untuk berkelahi kemungkinan menangnya akan tinggi, tapi Bapak dan Ibu ... siapa yang menjamin keselamatan mereka?"Maafkan aku, Mas ...."Suara Halimah terdengar bergetar. "Gara-gara aku, semuanya jadi kacau. Hidup kita jadi tidak tenang begini. Aku ... hu ... hu ... hu ....""Berhenti menangis dan merengek, Dek. Menghadapi orang-orang Ki Kusumo bukan dengan kelemahan!" bentak Vano. "Buang air matamu, Mas janji akan menyelamatkan kalian semua meskipun harus berkorban nyawa sekalipun.""Apa sebegitu mengerikan l