Harsa Paraduta, seorang wanita sederhana dan penuh kasih yang menikah dengan Rajendra—pria dari keluarga kaya raya. Sejak awal, Ibu mertuanya—Ny. Ratri tidak pernah merestui pernikahan mereka karena menganggap Harsa tidak pantas masuk ke dalam keluarga mereka. Pernikahan yang diharapkan menjadi kebahagiaan malah berubah menjadi neraka bagi Harsa. Mampukah Harsa bertahan, di saat Ibu mertuanya selalu berusaha memisahkan dirinya dengan Rejendra?
View More"Aku tidak menyangka, Ratri merestui hubungan mereka."
"Sekalipun memakai gaun mewah dari brand terkenal, perempuan itu masih terlihat kampungan." "Di mana Rajendra menemukan perempuan miskin itu?" "Aku sangat yakin, pasti perempuan itu hanya mengincar harta keluarga Rajendra saja." Bisik-bisik menyakitkan terdengar di telinga Harsa, tetapi dia memilih untuk mengabaikannya. Meskipun sebenarnya, hatinya merasakan sakit. Serendah itukah mereka memandang dirinya? Harsa berusaha memperlihatkan senyum hangat, tidak peduli orang-orang mengabaikan kehadirannya. Bahkan keluarga besar sekalipun seakan tidak menganggapnya ada, seakan dirinya tidak terlihat di tengah-tengah keramaian ini. Padahal sekarang, adalah hari bahagianya dengan salah satu keluarga mereka. Di dalam aula besar yang dihiasi bunga-bunga putih dan cahaya lilin, pernikahan Harsa Paraduta dan Rajendra digelar dengan mewah. Para tamu dari kalangan elit berbisik-bisik, memperhatikan pengantin wanita dengan tatapan menilai. Harsa terlihat ayu dan manis dalam balutan kebaya putih. Di balik senyumnya, ada kegelisahan yang tidak bisa dia sembunyikan. Di sudut ruangan, seorang wanita paruh baya dengan kebaya hitam berdiri dengan tatapan dingin yang begitu ketara. Ny. Ratri—Ibu Rajendra itu tidak berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia bahkan tidak memberi selamat kepada Harsa. Memilih diam dengan ekspresi tidak terbaca. Saat upacara akad selesai dan para tamu mulai mengucapkan selamat, Harsa menggenggam tangan Rajendra erat. "Akhirnya kita sampai di titik ini juga, Mas," bisiknya dengan mata berbinar. Rajendra tersenyum kecil, meskipun dia tidak bisa menghilangkan rasa gelisah di dalam hatinya karena Ibunya tidak memberi mereka restu. "Ibu masih marah. Aku harap kamu siap dengan semua ini, sayang." Harsa mengangguk pelan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi segalanya, termasuk ketidaksetujuan Ny. Ratri. Dia berjanji, akan mengambil hati Ibu mertuanya itu. Menggantikan rasa ketidaksukaan menjadi rasa cinta dan kasih sayang kepadanya. Namun, harapannya sedikit goyah saat mereka mendekati Ny. Ratri. Bahkan wanita paruh baya itu tidak berusaha menyembunyikan rasa ketidaksukaannya. "Selamat, Ibu." Harsa mencoba bersikap sopan, sedikit menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Ny. Ratri hanya menatapnya dingin dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Jangan panggil aku Ibu. Aku tidak menganggapmu bagian dari keluarga ini." Suasana seketika menjadi tegang. Beberapa tamu yang mendengar perkataan itu juga tidak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka. Sementara Harsa merasakan kecewa dan malu di saat yang bersamaan. "Ibu ....." Rajendra mencoba menengahi, tetapi Ny. Ratri mengangkat tangannya, menghentikan. "Ibu tidak ingin mendengar satu patah kata pun darimu," ujar Ny. Ratri dengan tegas. "Kamu telah menghancurkan keluarga kita dengan menikahi perempuan miskin ini." Harsa menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Dia tidak ingin membuat keributan di hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya. "Lagipula, bagaimana bisa kamu merestui mereka?" Ayuning, kakak ipar Ny. Ratri itu bersuara. Menghampiri mereka dan menatap Harsa penuh ketidaksukaan. "Andai saja Rajendra bukan anakku satu-satunya, maka aku tidak akan sudi menyetujui pernikahan ini," balas Ny. Ratri dengan tegas. "Dan untuk apa mengadakan acara resepsi, jika yang dinikahi adalah perempuan dari kalangan miskin," sambung Gayatri, adik ipar Ny. Ratri. "Membuat malu keluarga saja." "Jika kalian ingin protes, protes saja pada keponakan kalian ini," ujar Ny. Ratri menatap putranya dengan malas. "Dia yang mengacaukannya." "Aku pusing mendengar perkataan semua orang." Lanjut Ny. Ratri beralih menatap Harsa dengan tajam. "Dan semua ini, terjadi karena dirimu. Dasar tidak tau malu!" "Ibu, hentikan!" Kini, Rajendra berkata dengan tegas. "Kalian sudah keterlaluan, karena terus-menerus memojokkan Harsa." "Dia sama sekali tidak bersalah. Aku yang bersalah, karena sudah jatuh cinta dengannya!" "Kalian lihat sendiri, kan? Bagaimana bocah kemarin sore ini mengatakan hal-hal tentang cinta?" ujar Ny. Ratri disertai tawa, merasa sudah sangat muak dengan putranya karena terus membela perempuan miskin itu. "Ibu!" Rajendra menatap Ny. Ratri tajam. "Jangan pernah menyampurkan semua urusanku, termasuk pernikahanku ini dengan perasaan Ibu!" "Oh, astaga! Aku tidak menyangka, putraku sendiri membentakku di hadapan semua orang hanya demi perempuan murahan ini." Belum sempat Rajendra membuka suara, seorang perempuan muda dengan gaun emas—Anindya, saudara sepupu perempuannya itu datang menghampiri dan berbisik. "Kak, sebaiknya kalian pergi dari sini sebelum Tante Ratri membuat skandal di depan semua orang." Rajendra menghela napas berat, lalu menggenggam tangan Harsa. "Ayo, sayang, kita pergi." Saat mereka berjalan menjauh, Harsa menoleh sekali lagi ke arah Ny. Ratri, berharap ada sedikit penerimaan di wajah wanita paruh baya itu. Namun, yang dia lihat hanyalah ekspresi penuh kebencian. * Sejak pertama kali Harsa memasuki rumah keluarga Rajendra, hawa dingin langsung menyergapnya. Rumah yang begitu besar, megah dengan marmer mengilap dan chandelier kristal yang menggantung di langit-langit tinggi. Namun, semua kemewahan itu terasa hampa, terutama saat Ny. Ratri menatapnya dengan ekspresi penuh penolakan. "Astaga. Aku tidak siap, jika harus menjalani hari-hariku melihat wanita yang berhasil membuat anakku kehilangan akal ini." Suara Ny. Ratri terdengar tajam, penuh sindiran. Harsa menundukkan kepala, mencoba tetap sopan. "Selamat pagi, Bu. Senang bisa bertemu dengan Ibu." Ny. Ratri tidak menjawab, hanya mengangkat alis dan memperhatikan Harsa dari ujung kepala hingga kaki. Seolah menilai barang murahan yang tidak sepatutnya berada di rumahnya. "Kamu bekerja sebagai perancang busana, ya?" Ny. Ratri akhirnya membuka suara, tetapi nada suaranya lebih mirip ejekan. "Itu berarti kamu tidak berasal dari keluarga berada." "Tidak heran, kamu berusaha memikat putraku." Rajendra yang berdiri di samping Harsa meremas tangan istrinya, mencoba menenangkan. "Bu, Harsa menikah denganku karena kami saling mencintai, bukan karena alasan lain." Ny. Ratri menatap putranya dengan ekspresi penuh kekecewaan. "Cinta?" Dia tertawa sinis. "Kamu benar-benar naif, Nak." "Perempuan seperti ini hanya akan menjadi beban. Lihat saja nanti, dia akan menuntut ini-itu, menguras hartamu dan akhirnya meninggalkanmu." Harsa merasakan dadanya sesak, tetapi dia tetap berusaha tenang. "Saya tidak pernah menginginkan harta Mas Rajendra, Bu. Saya hanya ingin menjadi istri yang baik dan membangun rumah tangga yang bahagia bersamanya." Ny. Ratri mendekat, menatapnya tajam. "Kalau kamu benar-benar ingin membuktikan itu, buktikan dengan tindakan. Jangan pernah berharap aku akan menerimamu sebagai bagian dari keluarga ini." Setelah berkata demikian, Ny. Ratri melangkah pergi meninggalkan Harsa yang berdiri kaku dengan tangan masih digenggam Rajendra. Rajendra menghela napas panjang. "Maafkan Ibu, sayang. Dia memang keras kepala." Harsa tersenyum kecil, meskipun hatinya sakit. "Tidak apa-apa, Mas. Aku akan mencoba membuatnya menerimaku." "Aku akan berusaha. Tidak mungkin, kan, Ibu akan membenciku selamanya?" Lanjutnya dengan berusaha tersenyum hangat, meskipun jauh di dalam lubuk hatinya—dia tidak tau apakah usaha-usahanya nanti akan berhasil. Ya, Harsa belum tau bahwa tidak peduli sekeras apa pun ia mencoba, Ny. Ratri tidak akan pernah menerimanya.Setelah menikah dengan Rajendra, Harsa berhenti dari pekerjaannya sebagai perancang busana. Lebih tepatnya, suaminya itu yang menginginkan dan memilih untuk membuatkan Harsa butik sendiri. Hari ini adalah hari yang penting, karena dia berencana meninjau koleksi baru yang sedang dikerjakan timnya. Suasana hatinya juga menjadi lebih baik, setelah Rajendra membawanya pergi jalan-jalan. Namun, saat baru saja melangkah keluar dari kamar, suara tajam Ny. Ratri menghentikannya. Lagi dan lagi, Ibu mertuanya itu selalu memiliki 1000 cara untuk menghancurkan dan merusak kebahagiaannya di pagi hari. "Mau ke mana kamu sepagi ini?" Harsa menelan ludah. Dia menoleh dan melihat Ny. Ratri berdiri di dekat tangga dengan tangan bersedekap, tatapannya penuh selidik. "Saya ingin ke butik, Bu," balas Harsa dengan sopan. "Ada beberapa hal yang perlu Saya urus di sana." Ny. Ratri mendengus sinis. "Butik? Untuk apa? Menghamburkan uang suamimu lagi?" Harsa mengepalkan jemarinya erat. "Bukan begitu, Bu.
Udara pagi masih terasa sejuk, saat sinar matahari mulai menyelinap masuk melalui tirai kamar. Harsa bangun lebih awal, bergegas ke kamar mandi untuk bersiap. Ada sebuah perasaan ringan di dadanya, sesuatu yang jarang ia rasakan sejak menikah—harapan kecil untuk memiliki hari yang indah bersama Rajendra. Saat dia keluar dari kamar, Rajendra sudah menunggunya di ruang tamu. Pria itu mengenakan kemeja kasual dengan lengan tergulung. Senyumnya lembut, penuh ketenangan, seolah ingin mengatakan bahwa hari ini hanya akan menjadi milik mereka berdua. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suara langkah berderap terdengar dari arah tangga, disusul dengan kehadiran seseorang yang sejak awal selalu menjadi bayangan kelam dalam hidup Harsa—Ny. Ratri. Wanita paruh baya itu mengenakan gaun tidur sutra dengan rambut tertata rapi, meskipun pagi baru dimulai, ekspresi di wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Matanya menyapu Harsa dari kepala hingga kaki sebelum akhirnya beralih ke Rajendr
Meskipun hari-harinya penuh dengan luka, tetapi masih ada satu hal yang perlu Harsa syukuri, yaitu kehadiran Rajendra yang menjadi obat dalam luka dan dukanya. Setelah hari yang panjang dan melelahkan, Harsa duduk di tepi ranjang—meremas jemarinya yang merah dan perih akibat seharian bekerja di taman dan dapur. Tubuhnya terasa lelah, tetapi hatinya lebih lelah lagi. Pikirannya masih dipenuhi suara tawa sinis para tamu Ibu mertuanya. Setiap kata-kata tajam yang mereka lontarkan masih terngiang jelas di telinganya. Namun, ketika pintu kamar terbuka, semua beban itu sedikit mereda. Rajendra masuk dengan langkah tenang, mengenakan kemeja santai dengan lengan yang digulung. Di tangannya ada sebuah nampan kecil berisi semangkuk sup hangat dan juga segelas susu. Harsa mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. "Kamu belum tidur?" Rajendra tersenyum kecil, senyum yang selalu berhasil membuat hati Harsa merasa lebih tenang. "Aku tau kamu pasti merasa lelah hari ini. Makan dulu." Harsa menatap s
Setelah pernikahan, hari-hari Harsa penuh dengan kesuraman. Apalagi saat Rajendra pergi ke luar kota untuk urusan bisnis, meninggalkan dirinya dan Ibu mertuanya serta beberapa pelayan—membuat keadaan rumah semakin tidak karuan. Harsa paham, setelah menikah dengan Rajendra tanpa restu Ny. Ratri, dia akan menghadapi penolakan, ejekan yang penuh cemooh dari Ibu mertuanya. Semua memang sudah menjadi resiko yang harus dia hadapi. Hanya saja Harsa melupakan, hal itu akan sangat terasa menyesakkan, jika dihadapi setiap harinya. Ny. Ratri memanggil Harsa ke ruang tamu. Wanita paruh baya itu duduk anggun di sofa dengan cangkir teh porselen di tangan. Sementara beberapa pelayan berdiri di belakangnya dengan wajah kaku. Harsa yang baru selesai membereskan kamar langsung datang, menghadapi mertuanya itu. "Ada yang bisa Saya bantu, Bu?" Ny. Ratri menyesap tehnya perlahan, sebelum meletakkannya di meja. "Hari ini aku akan mengadakan arisan bersama teman-temanku. Aku ingin tamanku terlihat sempurn
"Aku tidak menyangka, Ratri merestui hubungan mereka." "Sekalipun memakai gaun mewah dari brand terkenal, perempuan itu masih terlihat kampungan." "Di mana Rajendra menemukan perempuan miskin itu?" "Aku sangat yakin, pasti perempuan itu hanya mengincar harta keluarga Rajendra saja." Bisik-bisik menyakitkan terdengar di telinga Harsa, tetapi dia memilih untuk mengabaikannya. Meskipun sebenarnya, hatinya merasakan sakit. Serendah itukah mereka memandang dirinya? Harsa berusaha memperlihatkan senyum hangat, tidak peduli orang-orang mengabaikan kehadirannya. Bahkan keluarga besar sekalipun seakan tidak menganggapnya ada, seakan dirinya tidak terlihat di tengah-tengah keramaian ini. Padahal sekarang, adalah hari bahagianya dengan salah satu keluarga mereka. Di dalam aula besar yang dihiasi bunga-bunga putih dan cahaya lilin, pernikahan Harsa Paraduta dan Rajendra digelar dengan mewah. Para tamu dari kalangan elit berbisik-bisik, memperhatikan pengantin wanita dengan tatapan menilai. H
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments