Laiba di campakkan disana kondisikan dalam keadaan sangat terpuruk, baru saja lolos dari percobaan pelecehan dan ingin mencari kekasihnya untuk mendapatkan penghiburan hati karena dia satu-satunya sandarannya yang ada malah kata putus yang keluar dari mulut lelaki yang dicintainya.
View MoreBab 1
"Paman?" Laiba tidak menyangka jika di dalam kamar ada pamannya. Dia baru saja pulang dari sekolah, dan langsung masuk kamar untuk berganti pakaian, tanpa disangka ia mendapatkan pelecehan dari lelaki yang ia panggil paman.Laiba meronta berusaha melepaskan diri dari pelukan lelaki yang kini dikuasai alkohol, gadis itu tahu karena bau minuman haram itu menyeruak dari tubuh pria itu.
"Aku sudah menunggumu sejak tadi kenapa baru pulang?" ujar laki-laki itu dengan lembut.
Laiba terus berusaha melepaskan diri dari pelukan sang paman. "Lepaskan aku, Paman!" teriak Laiba akhirnya berhasil melepaskan diri dan segera menutupi tubuhnya dengan baju seragam.
Laki-laki itu mengatakan banyak hal dengan tidak jelas sambil terus berusaha mendekati Laiba dengan aroma alkohol bercampur keringat di tubuhnya, Laiba tidak akan mungkin tinggal diam ketika seseorang akan menindasnya. Akan tetapi, kekuatan gadis ini tidak akan mungkin sebanding dengan pria dewasa yang otaknya tidak begitu berfungsi karena alkohol ini.
"Jangan melawan paman, Liaba!"
Laiba menggeleng keras dengan tatap mata ketakutan. "Ja-jangan, Paman!" pintanya lirih.
Melihat Laiba yang sudah tak berdaya, Laki-laki itu tertawa penuh kemenangan dan melajukan aksinya. Lelaki paruh baya itu mulai membuka pakaian. Laiba yang sudah babak belur menggunakan sisa tenangnya menendang alat vital laki-laki itu, hingga membuat laki-laki itu meraung kesakitan.
"Gadis kurang ajar!" Dengan mata melotot marah, pria itu menampar wajah Laiba, hingga sudut bibir gadis itu robek mengeluarkan darah segar.
Laiba kembali ditampar berulang kali hingga gadis itu benar-benar babak belur. Laki-laki bernama Aris itu mengambil sebuah tali dan mengikat tangan dan kaki Laiba, tapi lagi-lagi aksinya gagal ketika mendengar suara orang membuka pintu rumah.
"Sial, kenapa mereka kembali ke rumah dengan cepat? Benar-benar sial!" Aris mengumpat, merasa gusar melihat keadaan yang tidak berjalan semestinya.
Aris memperkirakan jika hari ini hanya akan ada Laiba di rumah karena kedua orang tua Laiba pergi dan akan kembali nanti larut malam, tapi ternyata mereka sudah kembali sekarang. Karena panik, Aris memutuskan menutup mulut gadis itu dengan kain yang ia ambil dari kotak, kemudian memasukkannya ke dalam lemari lantas laki-laki itu kabur melalui jendela.
Di dalam lemari Laiba tidak dapat bergerak maupun berteriak tubuhnya lemas hanya pendengarnya yang berfungsi dengan baik, dan bau anyir darah dari sudut bibirnya membuatnya sedikit mual.
Laiba mendengar jika pintu kamarnya terbuka, tapi tidak dapat berbuat apa-apa tenaganya terasa habis, ia merasa lemah dan tak bertenaga. Andai kedua orang tuanya, orang tua yang baik mungkin mereka akan menyadari keanehan di kamar putri mereka, tapi sayangnya mereka tidak.
Laiba hanya mendengar mereka mengumpati dirinya karena menjadi anak yang buruk setelah itu mereka pergi begitu saja. Laiba ingin menangis dengan keadaan ini, tapi air matanya menolak keluar karena perlakuan ini bukanlah hal baru dan tentunya sudah terbiasa. Kerena tubuhnya terasa lemah, Laiba memutuskan tidak melakukan apa-apa.
Tak lama ternyata kedua orang tuanya masuk kembali ke kamarnya sambil bertengkar hebat, dan Laiba terus mendengarkan. Awalnya Laiba tidak mengambil serius pertengkaran mereka karena itu adalah rutinitas sejak dulu, tapi kali ini mereka mengatakan banyak hal yang tidak dimengerti olehnya.
"Kamu menghabiskan uang bulan ini untuk bermain judi lagi?" Wanita itu melotot sambil berkacak pinggang kepada suaminya.
"Uang bulan lalu kamu juga menghabiskan semuanya untuk berbelanja." Sang suami tidak mau kalah.
"Uang Laiba hanya sepuluh juta itupun untuk kita makan tidak cukup, seharusnya kamu bilang pada bos besar untuk menambahkan uang bulanan anak pungut itu."
Semakin lama Laiba mendengar pertengkaran antara kedua orang tuanya semakin tidak ia mengerti. Uang bulanan bos besar? Anak pungut?
Meskipun Laiba tidak mendapatkan rincian kebenarannya, tapi garis besar dari percakapan mereka adalah Laiba bukan anak kandung mereka, jika ia putri kandung kedua orang itu pastinya tidak mungkin diperlakukan dengan buruk selama ini. Seolah tak peduli dirinya hidup ataupun tidak.
Tawa kecil tak bersuara di sela-sela kain kasa yang masih mengikat mulut gadis tidak beruntung itu. Laiba menertawakan kisahnya yang penuh dengan kejutan, mentertawakan dirinya yang seperti badut di depan orang-orang di sekelilingnya.
Kamar itu kembali sunyi dan gelap seperti perasaan Laiba yang tidak berpenghuni. Malam ini tampaknya Laiba akan menghabiskan malamnya dengan tidur meringkuk di dalam lemari dan menunggu tubuhnya sedikit memiliki kekuatan.
***
Laiba tidak tahu kapan tertidur dan ketika bangun tampaknya waktu sudah berlalu cukup lama. Saat tubuhnya merasa pulih, gadis itu langsung menendang pintu lemari dengan kakinya yang masih terikat, hingga lemari itu terbuka.
Dengan susah payah membuka ikatan yang membelenggu tubuhnya, butuh waktu cukup lama hingga Laiba bebas. Saat akan berdiri kakinya seperti keram, hingga Laiba terjatuh dengan keras. Bibirnya meringis, tapi mulutnya menolak untuk meraung.
Tangannya sudah memegang kenop pintu kamar saat ingin keluar, tapi itu tertahan di udara dan malah menoleh ke arah jendela yang masih terbuka lebar di mana jalan Aris melarikan diri sore tadi. Laiba memang berada di kamarnya sendiri, kamar yang sudah dia tempati 18 tahun, tapi sekarang seperti sarang penjahat, dan Laiba tidak dapat keluar melalui pintu.
Gadis itu melompat dari jendela seperti seorang pencuri, tanpa ragu langkahnya terus berjalan menyusuri malam yang lengang. Langka kakinya terhenti saat melihat ada seorang pria tua duduk di bangku panjang sambil merokok, Laiba tidak takut malah tersenyum melihatnya, dan berjalan menghampiri pria berusia sekitar 50 tahun itu.
Orang-orang biasanya memanggil pria tua itu dengan sebutan papan bisu, karena orang tua itu tidak dapat berbicara, dan setiap hari bermain catur di tempat ini. Sering kali Laiba datang bermain catur bersamanya tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Saat Laiba tiba-tiba duduk di depannya, Pria tua itu terkejut melihat kedatangannya terlebih dengan keadaan seperti ini. Laiba hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala pelan, dan langsung menjalankan seekor kuda di papan catur. Meskipun pria tua penuh dengan pertanyaan, tapi dengan sifat tenangnya dia juga melanjutkan permainan caturnya.
Keduanya terus menjalankan bidak catur hingga beberapa kali jalan sampai Laiba membuka mulutnya. "Mungkin ini permainan kita yang terakhir, aku akan pergi," ucap Laiba dengan tenang, tentu tidak ada jawaban dari pihak lain.
Pria tua itu mengambil sesuatu dari sakunya dan memasangkannya di lutut Laiba yang terluka, meskipun plester itu tidak banyak membantu luka yang masih menganga dengan linangan bekas darah yang sudah mengering, tapi Laiba cukup terhibur dengan ketulusan yang diterima.
"Selamat tinggal dan terima kasih sudah menemaniku selama ini." Laiba bangkit dan pergi begitu saja meninggalkan pria tua yang masih duduk di tempatnya memandangi kepergian Laiba.
Terkadang orang tidak butuh ucapan manis, cukup hanya dengan duduk diam tanpa mengatakan banyak hal dapat meringankan beban seseorang.
Meskipun tertidur pulas di samping Laiba namun ketika merasakan gerakannya kecil Makky langsung membuka matanya, tangan yang sejak tadi digenggam olehnya bergerak ketika Makky mengangkat pandangannya bertemu dengan mata yang sedang menatapnya."Kamu sudah bangun?" seru Makky begitu bahagia melihat perempuan itu telah membuka matanya. Laiba tidak merespon nampaknya perempuan itu masih mencerna sesuatu, sorot matanya masih berkeliaran penuh kebingungan namun kemudian tiba-tiba mata itu membulat dengan emosi yang melonjak."Makky bagaimana dengan bayiku?" tanya Laiba dengan suara parau.Suara Makky tertahan tidak menyangka pertanyaan pertama Laiba adalah hal tersulit yang harus dijawabnya. Akan tetapi dengan diamnya Makky sudah memberikan jawaban untuk Laiba, perempuan itu tidak mendesak Makky untuk menjawab tapi air matanya sudah meluncur lebih dulu."Bahkan satu-satunya yang aku punya juga diambil," gumam Laiba sambil menutup matanya tapi air matanya tidak berhenti untuk meluncur memb
Dengan kepala tertunduk sangat rendah laki-laki itu sama sekali tidak bergerak di depan ruang operasi. Waktu berjalan sangat lambat untuk Makky, lampu itu masih menyala menandakan jika operasi masih berlangsung. Tubuh Makky penuh dengan darah milik Laiba tidak hanya pakaian bahkan wajah Makky juga tertinggal darah perempuan itu, perawat sudah memintanya untuk membersihkan diri terlebih dahulu namun Makky tidak bergeming jika belum memastikan operasi berjalan dengan lancar laki-laki itu tidak akan berkutik. Penampilan tuan muda ini sekarang seperti zombie yang kotor dengan darah dimana-mana.Ponsel di saku laki-laki itu terus berdering beberapa kali namun tidak dapat membangunkan Makky yang sedang mematung sampai seorang perawat yang lewat menyentuh tangan laki-laki. "Ponsel anda berbunyi," seru perawat itu pada Makky.Laki-laki itu sedikit terkejut kesadarannya seperti kembali pada kenyataan dan mendengar apa yang diucapkan oleh perawat itu bersamaan mendengar suara ponselnya yang ter
Jarak butik Peony dan rumah Dahayu tidak terlalu jauh atau dekat hanya saja kamar Makky lurus ke ruang kerja Laiba, dengan bantuan teropong Makky bisa melihat dengan jelas aktifitas perempuan itu, jaraknya sangat ideal untuk mengintai sedangkan target tidak tahu menahu akan hal itu. Ini adalah rahasia besar antara Makky dan Timira, burung itu sesekali berkunjung ketika siang hari saat Makky ada di tempat sedangkan tuan rumah menyediakan makanan di jendela, membicarakan perempuan itu sambil mengintip beraktivitas target mereka.Dari teropong itu Makky tidak menemukan keberadaan Laiba, dua ruangan itu kosong namun lampu masih menyala. "Dia tidak lembur juga tidak tidur di sofa lalu dimana, apakah dikamar mandi?"Makky menurunkan Timira yang sudah tidak lagi bersuara membuat Makky mengerutkan keningnya. "Kamu bisa diam juga," seru Makky pada Timira.Makky mengambil ponselnya namun tidak langsung membuat panggilan, awalnya ingin memarahi Laiba karena tidak mengurus hewan peliharaan dengan
Baswara mengambil napas panjang sambil menatap orang tua Dahayu kemudian bicara dengan pelan penuh karisma. "Maaf tuan Janardana, kita semua seorang pebisnis. Kehidupan pun tidak luput dari transaksi dan sepertinya aku harus bertransaksi dengan putraku sendiri." "Tuan Baswara aku bisa memberikan sahamku." Ayah Dahayu masih berusaha untuk bertransaksi dengan ayah Bram. "Sepertinya kita sudah tidak bisa mengambil kesepakatan. Aku sudah punya banyak saham sedangkan anak nakal itu jika berulah lagi bisa membuatku naik darah setiap saat bisa-bisa aku mati dengan cepat karenanya." Setelah mengatakan beberapa patah kata sebagai basa-basi Baswara membawa pergi istrinya tapi sebelum benar-benar pergi Baswara berpesan pada Makky. "Temui aku besok pagi setelah meeting." "Baik," jawab Makky dengan cepat. Meskipun besok Makky diharuskan menghadap orang itu tapi sekarang Makky sudah bisa menebak hukuman apa yang akan diterimanya keesokan hari. "Ge ayo pulang sekarang." Bram menarik tangan
Makky sudah sangat lelah ingin beristirahat tapi meskipun waktu sudah menunjukkan jam 1 dini hari orang-orang ini menolak untuk pergi tapi Makky juga tidak berdaya mengusir mereka bahkan jika Makky mau dirinya pun tidak kuasa untuk bangkit meninggalkan mereka karena suasana saat ini cukup genting. Laki-laki itu itu serba salah tidak ingin tinggal, tidak bisa mengusir tapi juga tidak dapat pergi.Adik bodohnya itu sedang bicara demokrasi demi dirinya. Makky tidak tahu harus berterima kasih atau marah pada Bram, yang dilakukan Makky hanya duduk diam menunggu orang-orang ini mengambil keputusan untuk hal itu sedangkan dirinya hanya akan menerima hasilnya."Ayah aku sudah tidak tahan lagi, bawa Gege pulang malam ini juga," ujar Bram pada orang tuanya yang duduk berhadapan dengan keluarga Dahayu.Ruangan itu penuh dengan orang-orang yang tidak bisa di usir oleh Makky, Bram datang dengan kedua orang tuanya, ada Dahayu dan kekasih parasitnya serta orang tua Dahayu yang diundang oleh Bram. S
Perempuan yang berbalut gaun pengantin itu tidak kunjung beranjak dari duduknya, hanya menetap kosong untuk waktu yang lama kearah pintu dimana laki-laki itu pernah berdiri, Laiba bisa mengeluarkan air mata karena rasa mual tapi di saat seperti ini air matanya seperti mengalami kemarau panjang tidak ada air mata sedikitpun yang keluar dari matanya. Jika wanita normal ketika di situasi ini pastilah sudah menangis tersedu-sedu tapi Laiba hanya duduk termangu tanpa melakukan apapun.Suasana yang hening dan dingin itu berjalan begitu lambat, padahal pundak Laiba yang terbuka telah kedinginan, bulu halusnya telah berdiri tapi perempuan itu masih menolak untuk bergerak. Kepala Laiba menunduk matanya tertutup perlahan bibirnya tersenyum tipis, senyuman kecil menjadi senyuman lebar dan suara keluar dari bibir itu. Tawa kecil menjadi tawa terbahak-bahak karena tawa yang begitu keras itu membuat Timira yang telah tertidur pulas sampai terbangun melihat majikan seperti orang gila dalam balutan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments