***|Pengendara berhenti tepat di depan rumah Bu Diah. Sikapnya mencurigakan, tapi belum ada tanda-tanda ....|Ucapan Fredi terhenti saat kedua matanya menatap sesosok pria dengan jaket dan helm hitam melekat di tubuhnya itu mulai mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. |Fokus kalian semua!| ucap Bagas menegang. Vano tiba-tiba ikut duduk di sebelah putranya seraya menatap layar laptop yang sejak tadi terlihat memantau pergerakan orang di luar sana.|Target semakin mendekat. Ada kotak berwarna hitam di tangannya, Pak. Apa kita keluar sekarang?||Lakukan sesuai rencana, Fred. Aku mau kalian menangkap dia hidup-hidup agar kita tau siapa dalang di balik ini semua|Percakapan mereka terhenti. Lelaki berperawakan tinggi dengan otot kekar yang disembunyikan di balik jaketnya terlihat celingukan memantau keadaan sekitar. Ada beberapa pengendara yang lain namun tidak mencurigakan bagi mereka. Kini fokus anak buah Bagas hanyalah pada sosok yang ternyata ....|Brengsek! Dia ke rumah Bu Diah. Bukan
***"Bawa kotak yang sempat dilemparkan ke depan rumah. Bawa kesini secepatnya," pinta Vano pada salah satu anak buah sewaannya."Baik, Pak!" Lelaki bernama Riki itu berlari menuju rumah Vano, tepat di halaman rumah teronggok sebuah kotak dengan ukuran yang lumayan besar. Melihat ada orang lain yang menginjakkan kaki di depan rumah, Anita sontak keluar dan bertanya. "Apa itu juga salah satu bentuk teror mereka?"Riki mengangguk. "Sepertinya begitu, Bu. Saya diperintahkan Pak Vano untuk membawa kotak ini kesana." Dia menunjuk rumah Diah, dimana di sana sedang berdiri beberapa lelaki dan juga Bu Diah yang terlihat gemetaran takut. Saat Anita hendak melangkah keluar, Halimah mencekal pergelangan tangan menantunya dan menggeleng samar. Menurut, Anita berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah. Jika Halimah melarang, maka tentu wanita paruh baya itu memiliki alasan yang kuat."Ibu tidak ingin tau siapa yang sudah memberikan teror kepada kami?"Halimah duduk di sebelah Haryati sementara Leh
***"Ma, kayanya aku butuh waktu. Bagaimana kalau Ayah dan Ibu tidak setuju ....""Buang pikiran buruk kamu, Se," tegur Tirta sinis. "Aku tau aku bukan laki-laki baik, tapi demi kamu aku akan berusaha menjadi lelaki yang bertanggung jawab, aku pastikan Ayah pasti setuju.""Tapi ...."Astri menggenggam jemari Sea dengan erat. Ketiganya kini tengah menyusuri jalanan menggunakan mobil Tirta menuju rumah Sea. Jantung wanita cantik itu berdegup semakin kencang, tangannya mendadak berkeringat dingin kala membayangkan lelaki yang dia cintai meminta restu untuk meminangnya. Berkali-kali Sea terlihat menarik napas panjang. Berulang kali pula wanita itu mengembuskannya perlahan berharap ketakutan di dalam dada berangsur lebur seiring dengan bergantinya udara di dalam rongga."Gugup?" tanya Astri gemas. "Hal seperti ini memang sudah biasa terjadi pada semua wanita, Se. Tenanglah, Mama percaya kalau Tirta pasti memperjuangkanmu."Sea mengangguk setuju. Tirta pasti memperjuangkan dirinya bagaiman
***Tubuh Tirta tergeletak dengan luka lebam di sekujur tubuh dan wajahnya, sementara Astri pingsan di kursi belakang karena belum juga sempat dia keluar untuk mengikuti langkah Sea yang terseok-seok, salah seorang preman sudah lebih dulu membekuknya hingga tidak sadarkan diri. Hampir dua menit lamanya keduanya terjebak dalam ketidaksadaran. Tirta menggeliat, tubuhnya terasa remuk redam akibat pukulan demi pukulan dia terima. Belum lagi bibirnya yang pecah, pelipisnya yang berdarah juga kepalanya yang terasa nyut-nyutan ketika kedua mata dipaksa untuk terbuka."Mama ...."Tirta menoleh ke kanan dan kiri. Kesadarannya pulih seketika saat dia menatap jalanan sekitar yang masih juga sepi tanpa pengendara satupun yang lewat.Aneh, batin Tirta. "Ma ...." Tirta meringis saat berusaha berdiri. Matanya membelalak ketika menangkap sosok wanita paruh baya tergeletak di dalam mobil dengan posisi pintu yang terbuka."Ck! Brengsek kamu, Nay!" umpatnya lirih. Kedua matanya memanas saat dirinya ti
***"Sebenarnya ini bukan jam kerja kita, Gas. Hanya saja karena Vano adalah teman baik kami, mau tidak mau kami datang untuk mengurus cecunguk ini," celetuk Nando sarkas. "Kita bisa langsung jebloskan dia ke penjara karena ada banyak bukti dan saksi."Lelaki yang terduduk lemah itu menggeleng samar. "Tolong ... anak dan istri saya hanya berdua di rumah. Tolong lepaskan saya, Mas Bagas ... saya ... saya hanya menjalankan misi karena tergiur dengan bayaran tinggi."Rahang Bagas mengeras. Jika pelaku begitu khawatir dengan keluarganya lalu bagaimana bisa dia mempunya pikiran untuk menghancurkan keluarga orang lain?"Ck, pengecut! Pria macam apa yang memberi makan anak dan istri dengan uang haram?" sindir Bagas. "Jangan memelas, kami bukan kalangan orang-orang yang mudah terpedaya. Penjarakan saja, Bang. Setelah dia, aku pastikan otak dari teror ini akan tertangkap!""Oke," sahut Nando tanpa basa-basi. Dia membawa orang suruhan Seila ke dalam mobil polisi. Pria itu meraung-raung meminta
***"Berani menyentuh Sea, kupastikan kalian semua berakhir menderita!" Suara Tirta melengking di ruangan. Suasana malam yang hening dan mencekam membuat tawa para anak buah Nayna menggema mengerikan."Ha ... ha ..., lihat dia, Bos. Berani sekali mengancam kami. Kamu tau siapa kami, hah?""Aku tidak peduli siapa kalian dan di bawah perintah siapa kalian bertindak. Berani menyakiti calon istriku maka aku berjanji kalian semua tidak akan aku lepaskan!"Nayna menoleh dengan perasaan yang hancur. Tirta secara terang-terangan mengatakan jika Sea adalah calon istrinya di depan semua orang termasuk dirinya."Calon istri?" Nayna tersenyum sinis. "Bersiap-siaplah melihat calon istrimu dinodai di depan matamu sendiri, Tirta!"***"Bagas!" Suara Tomi memecah keheningan di dalam rumah Halimah. "Bagaimana keadaan Sea? Bodoh ... aku bodoh sekali karena terlalu lama tidak memperhatikan ponsel," gerutu Tomi menyesal. Dia datang bersama Gina, dan beberapa saat sebelum datang ke rumah Bagas, pria paruh
***"Hal ... Halimah!" Suara teriakan Diah di depan rumah membuat Halimah terlonjak. Dia melepaskan pelukan Gina dan sedikit berlari menuju ke sumber suara. "Hal, buka pintunya, Halimah!""Ada apa, Bu Diah?" tanya Halimah panik. "I-- ini kenapa pada ramai-ramai ke rumah saya?"Diah berkacak pinggang. Sudah sangat larut untuk mencari gara-gara di rumah orang lain. Tapi Diah benar-benar merasa takut karena dia hampir saja terlibat dalam urusan bunuh membunuh. Ya. Diah berpikir jika Vano dan anak buahnya akan membunuh lelaki yang datang tadi, lelaki yang awalnya mengaku sebagai teman masa lalu putrinya."Interogasi, Pak RT! Kalian memang budek, sudah tau di rumah Halimah ada pertunjukan besar malah tidak ada yang keluar!" gerutu Diah geram. "Tadi saya hampir saja celaka tau tidak? Apalagi Vano ... dia bilang kalau akan memberi pelajaran pada ... hiihhh, sumpah ... Vano sepertinya adalah seorang pembunuh!""Jaga ucapan anda, Bu Diah!" ben
***"Buang semua pikiran buruk, Bu. Kenapa tiba-tiba meragukan Ayah, saya paham sekali tindakan apa yang harus diambil untuk mengancam musuh, dan Ayah ... saya yakin sekali kalau Ayah mengatakan membunuh hanya untuk menggertak. Percaya sama saya, setelah Ayah pulang Ibu bisa tanyakan semuanya."Halimah sedikit lebih tenang, begitupun dengan Gina. Asam garam kehidupan tidak lantas membuat keduanya bisa berpikir jernih dan logis pada situasi yang genting seperti sekarang.Pikiran mereka terlalu lelah. Halimah dengan segala masalah yang menimpa putranya, dan Gina dengan kabar Sea yang diculik entah oleh siapa. Masih menjadi misteri bagi ketiga wanita itu siapa yang sudah membawa Sea pergi dan ada masalah apa sebenarnya?***"Mas Tirta!" teriak Sea takut. Pisau kecil dengan ketajaman yang tidak bisa diragukan lagi tengah menempel sempurna di leher Sea. Sedikit saja bergerak maka bisa dipastikan kulitnya tersayat saat itu juga. "To ... lon