Ki Kusumo masuk ke dalam mobil tanpa memperdulikan celotehan Eni. Anak buah dan Hesti masuk ke dalam mobil yang lain dan mereka melajukan mobil keluar dari kampung.
"Saya tidak serendah anak Ibu. Tolong jangan samakan saya dengan Hesti yang jelas-jelas menjual dirinya demi harta. Apalagi Ibunya yang terlihat bahagia sekali ketika anak perempuannya di bawa lelaki lain!"Eni membuang muka. Dia kesal karena Halimah sudah berani melawan ucapannya. "Dan ya ... saya nggak haus akan harta, Bu. Insyaallah, rejeki keluarga saya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup."Halimah dan Vano hendak masuk ke dalam rumah. Tapi langkah Vano terhenti, dia menoleh ke arah dimana Eni berada."Jangan mengharap apapun pada Hesti, Bu. Dia bisa tetap hidup saja itu sudah merupakan sebuah keberuntungan," tutur Vano."Brengsek kamu! Tau apa kamu tentang calon suami Hesti, hah? Bisa-bisanya doain anakku mati!" seru Eni marah.Dua bulan kemudian ...."Hesti ... Ibu-ibu lihat, Hesti pulang!" Eni berteriak dan berlari ke jalanan. Setiap orang yang dia lihat akan diberitahu tentang kepulangan Hesti. Kepulangan yang dia yakini dalam pikirannya sendiri."Mau lihat mobil mewah? Ayo ke rumah, nanti aku ajak kalian keliling kota," seloroh Eni saat para Ibu-ibu mengelilingi gerobak sayur."Lihat ini, Bu Diah, gelang yang Hesti pilihkan. Bagus nggak?" Dengan takut-takut Diah mengangguk lalu berlari kecil menjauhi gerobak sayur. Tujuannya berbelanja seketika buyar, yang ada justru ketakutan karena bertemu dengan Eni."Nur ... Nur! Keluar kamu, ada ponakan datang dari kota malah nggak kamu tengokin. Entar nyesel loh nggak dapat sangu (uang saku) dari Hesti," teriak Eni di depan rumah Nur.Mendengar keributan yang Eni buat, Nur keluar dan membawa kakak sulungnya itu duduk di depan teras. Diambilnya teh hangat yang sudah dia siapkan setiap pagi, k
Karim dan Leha mengangguk dengan senyuman tipis. Tidak ada satu kalimat yang keluar dari mulut mereka. Memaafkan memang mudah, tapi melupakan ... hal itu menjadi hal tersulit bagi Leha dan Karim.Dengan langkah yang berat, Astri membawa tubuhnya mundur karena keluarga Tomi hendak bersalaman para para tetangga. Mereka berpamitan dan meminta maaf jika selama ini ada kesalahan yang tidak drhsjs diperbuat."Ayo turun, Nak. Ayah mau berangkat," ujar Astri pada Tirta.Anak kecil itu menurut dan meminta turun dari gendongan Tomi. Dia menatap lekat wajah Tomi dan berkata, "Apa Ayah dan Mama tidak bisa bersama lagi? Mama bilang kalau kalian bercerai itu artinya tidak bisa tinggal serumah. Kenapa kalian bercerai?"Tomi membuang muka. Dadanya sesak melihat anak sekecil Tirta harus menanggung akibat dari keegoisan Ibunya. Tapi Tomi bisa apa, Tirta bukan darah dagingnya. Tega ataupun tidak, dia tetap akan meninggalkan Tirta.
"Duduk dulu, Hes. Minum dan makan rotinya."Hesti mengangguk dan menerima roti dari tangan Tomi. Di sebuah bangku tunggu yang ada di dalam bengkel, Hesti duduk berdampingan dengan Halimah dan Tomi. Wanita itu melahap roti dengan rakus hingga ludes ketiganya dalam hitungan detik. Tanpa sadar air mata Halimah menetes melihat betapa menyedihkannya takdir hidup Hesti setelah diboyong Ki Kusumo ke kota. Bahkan semua warga kampung mengira Hesti lupa dengan Eni karena sudah kaya, tapi kenyataannya ...."Setelah ini tolong segera pergi dari bengkel Mas Tomi, Mbak." Setelah menegak air mineral hingga tandas, Hesti menatap Vano dengan mata berembun."Mas," lirih Halimah."Maaf, Dek. Tapi Mas punya alasan untuk itu."Hesti menunduk dan memainkan sepuluh jemarinya. Dia menangis sesenggukan membuat Halimah tidak tega dengan penampilan Hesti. Baju kotor yang sudah banyak noda, rambut awut-awutan yang begitu kumal, juga kulit yang du
"Tidak, Mas! Tidak boleh ada di antara kita yang membantu Mbak Hesti keluar dari kota ini. Jika tidak ... aku yakin, Halimah target selanjutnya," sela Vano dengan gelisah. "Anak buah Ki Kusumo tersebar di semua akses jalan ke luar kota. Jika salah satu dari mereka tau keluarga kita ikut campur, maka ... habislah kita.""Lalu apa kita hanya diam saja melihat dia terluka, Van?" Tanpa sadar suara Tomi meninggi. Dia benar-benar marah dengan perlakuan Ki Kusumo yang dianggap tidak manusiawi."Aku bahkan lebih memilih itu, Mas. Daripada keluargaku yang menjadi korban selanjutnya, apalagi istriku ... aku tidak ingin mengorbankan istriku demi menyelamatkan wanita lain. Titik!"Tomi menyandarkan punggungnya dengan frustasi. Pintu bengkel sengaja mereka tutup sebagian agar tidak ada orang datang dan curiga."Tapi Mbak Hesti, Mas?" ujar Halimah lirih."Mas punya ide, tapi tidak yakin ini berhasil atau tidak."Semua m
"Kemana penghuni rumah ini?" Ki Kusumo berteriak lantang di depan rumah Eni membuat para tetangga berhamburan keluar."Cepat katakan dimana mereka?!"Tidak ada yang menjawab. Suasana desa di pagi hari masih lumayan sepi meskipun beberapa warga sudah berkerumun akibat teriakan Ki Kusumo yang marah-marah.Pak RT berlari menuju ke arah keributan. Setelah berbulan-bulan kampung mereka terhindar dari masalah, kini, masalah itu datang lagi dan dari tempat yang sama. Rumah Eni."Ada apa ini, Pak?" Pak RT mendekat. Ki Kusumo menarik napas panjang. Dia mencengkeram kerah baju Pak RT membuat lelaki paruh baya itu sedikit ketakutan."Kemana mereka? Pergi kemana mereka semua?!" bentak Ki Kusumo.Pak RT mengernyit. Sejurus kemudian dia paham siapa yang Ki Kusumo maksut saat melihat pintu rumah Eni bergembok dari luar."Pergi? Bukankah kemarin Bu Eni masih ada di rumah, ya kan Bu Diah?"B
Hampir saja tubuh wanita itu limbung jika saja Tomi tidak sigap menahan tangannya. Dengan cepat dia menepis tangan Tomi yang tidak sengaja berbenturan dengan kulit tangannya yang putih dan mulus."Ma-- Maaf, tidak sengaja," ucap Tomi terbatas.Jantungnya berdebar kencang melihat wajah cantik dengan balutan jilbab lebar yang menutupi tubuhnya. Wanita itu tersenyum tipis dan mengangguk, lalu membawa motornya sendiri untuk masuk ke dalam bengkel.Tomi terpaku, hingga sepersekian detik dia tersadar dan berlari kecil untuk membantu motor wanita cantik itu."Kau sudah menikah?" Entah keberanian dari mana Tomi menanyakan hal pribadi padanya.Wanita yang duduk tidak jauh darinya menggeleng, lalu membuang muka dengan tatapan ke arah jalanan yang semakin ramai.'Jangan nangis, plis, jangan nangis. Kamu harus move on, Gina," batin wanita itu tanpa mau menoleh ke arah dimana Tomi berada."Suda
Hesti dan Kusaini menjalani hari-hari baru mereka dengan berat. Tinggal di kota asing tidak lantas membuat keduanya bebas dan merasa sudah terlepas dari apa yang sudah terjadi. Apalagi mereka hanya tinggal bertiga, beruntung anak Kusaini sudah dijemput oleh Gina sejak beberapa bulan yang lalu karena Gina mendengar jika Eni gila."Alhamdulillah, Mbak. Jadi kuli panggul di pasar uangnya cukup untuk kita makan sehari-hari," tutur Kusaini dengan mengeluarkan uang sebesar 75.000 dari dalam kantong celananya.Hesti menangis. Dia memeluk Kusaini dan berkali-kali meminta maaf, "Jika saja Mbak bisa menjaga diri, semua tidak akan terjadi, Kus. Maaf, karena Mbak kita harus mengalami hal sulit begini. Kamu dan Ibu harus rela membawaku bersembunyi."Kusaini mengusap lengan kakaknya dengan lembut. "Semua sudah terjadi, Mbak. Lebih baik kita sama-sama bertaubat agar Allah mengampuni dosa-dosa kita, juga memberikan kesembuhan untu
"Maafkan Hesti, Bu. Maafkan aku karena sudah menjadi anak yang tidak berguna."Hesti memeluk tubuh Eni yang semakin kurus. Dia berkali-kali mencium pipi Ibunya yang sudah basah oleh air mata. Kesedihan menyelimuti hati mereka berdua, bahkan Kusaini enggan mengganggu momen Ibu dan anak yang sedang menyemai rindu."Tidak, Nak. Harusnya Ibu yang minta maaf. Ibu sudah keterlaluan selama ini. Ibu bodoh ... ibu terlalu gila harta sampai ....""Tunggu! Ibu sudah sehat?"Eni menunduk. Dia kembali menyeka air mata yang sudah membasahi pipi. "Ibu ... sebenarnya Ibu tidak gila, Nak. Ibu hanya malu pada warga kampung, malu karena setelah mengagung-agungkan kamu yang bisa menikah dengan lelaki kota tapi ternyata jejakmu hilang begitu saja. Ibu marah pada diri Ibu sendiri ... Ibu bahkan diam-diam menangis saat Kusaini memperlakukan Ibu dengan begitu baik. Ibu tertampar, Hes. Ibu sadar jika selama ini Ibu bukanlah ibu yang b