Blurb Anes Mandalika, seorang mentor bisnis di salah satu perusahaan konsultan. Wanita itu dibuat tak berdaya saat Bramasta Dirga juniornya yang dengan selisih umur lebih dari separohnya berulang kali menyatakan rasa sukanya. Sebagai seorang mentor, harusnya Anes bisa mencegah pernyataan suka yang entah sengaja atau tidak telah bersemi di hati Bram. Di luar ekspektasi, keduanya sering tanpa sengaja jalan bareng di acara bisnis mereka yang kebetulan berada di perusahaan yang sama. Bagaimana akhir kisah cinta terlarang mereka, sebab Anes sudah punya keluarga dan Bram sudah punya kekasih hati. Nantikan keseruan kisah cinta terlarang mereka hanya di novel yang berjudul Godaan Berondong Nakal.
Lihat lebih banyakCup!
"Bram! Apa yang kamu lakukan!" Plak! Tamparan keras mendarat di pipi sebelah kanan milik seorang pemuda jangkung yang dipanggilnya dengan sebutan Bram. Pemuda dengan style santai, tetapi cool dan dengan postur tubuh yang sangat ideal. Seorang wanita dengan paras matang, dengan setelan bleser berwarna navy, yang masih sangat terlihat energik itu sontak berdiri. Sesaat sang pemuda hanya mengelus pipi sebelah kanannya yang sedikit memerah, akibat tamparannya yang cukup keras. "Kurang ajar kamu, Bram! Apa maksudnya, coba!" sentaknya dengan mata berapi-api. Sementara itu, pemuda yang disebutnya dengan nama Bram itu, hanya bergeming tak menghiraukan sentakan wanita itu. Bram duduk dengan santainya di samping kursi wanita itu, seraya mengambil rokok dari dalam sakunya. Sedangkan sang wanita, saat ini tengah berdiri sambil menetralkan napasnya yang terengah-engah karena menahan amarahnya. Tak berapa lama kemudian, pemuda jangkung itu telah menyulut rokoknya dan menghisabnya perlahan. Kepulan asap demi asap keluar dari mulutnya. Bram sepertinya dengan sengaja memancing amarah sang wanita. Pemuda itu memainkan asap yang keluar hingga membentuk bola-bola asap yang berpola. "Duduk, Mbak! Jangan marah seperti itu. Jelek, tahu!" lirihnya seraya menepuk-nepukkan tangannya ke arah kursi di sebelahnya. Bram hanya melihat sepintas ke arah wanita itu. Lalu kembali dia menatap ke depan sambil kembali memainkan asap-asap rokoknya. Melihat Bram begitu cuek menghadapi kemarahannya, akhirnya kemarahan wanita itu pun reda dengan sendirinya. Dia pun perlahan kembali duduk di tempatnya semula, tepat di sebelah Bram. "Siapa suruh Mbak Anes menggantung Bram terlalu lama," ucapnya ketus tanpa melihat ke arah perempuan yang disebutnya Anes itu. "Heiii ... kamu itu buta, atau pura-pura buta! Berulang kali Mbak bilang kalau Mbak sudah berkeluarga. Usia Mbak jauh di atasmu. Kamu ini gila, ya!" "Iya, emang Bram gila. Bram tergila-gila sama Mbak. Makanya, barusan Bram nekat mencium Mbak. Biar Mbak peka dikit." "Dasar, mesum!" ucap Anes seraya beranjak dari duduknya. Wanita itu hendak meninggalkan begitu saja makanannya. Makanan yang belum sepenuhnya habis, di meja kafe di dekat kantornya itu. "Eit! Mau ke mana?" tanya Bram seraya mencekal tangan Anes yang hendak pergi meninggalkannya. "Kembali ke kantor. Emang mau ke mana? Mood makan Mbak hilang mendadak, karena leluconmu yang tak lucu." "Nggak boleh! Temani Bram makan dulu!" "Ogah! Bayarin makanan Mbak. Itu sanksi buatmu karena menghilangkan selera makan Mbak!" ketus Anes seraya mengkibaskan tangan Bram yang mencekal tangannya. "Lepasin!" Anes menghempaskan tangan Bram lebih keras hingga akhirnya cekalan Bram terlepas begitu saja. Dengan senyum smirk, pemuda lajang yang menjadi junior Anes di tempat kerja yang sama itu, akhirnya membiarkan wanita yang sering diganggunya itu pergi meninggalkannya. Sementara itu, dengan bersungut-sungut, Anes meninggalkan Bram seorang diri di sana. "Berani sekali dia, emang apa istimewanya aku? Aku emak-emak, Bram! Umur kita terpaut jauh. Maksudnya apa coba?" gumamnya seraya berjalan dengan cepat menuju kantornya, yang hanya berjarak lima puluh meter dari kafe di mana keduanya baru saja bertengkar. *** Anes Mandalika, seorang wanita karir yang tak lagi muda. Karena job desknya adalah seorang mentor bisnis, yang kesehariannya bergaul dengan para eksekutif muda, orang tidak akan pernah menyangka jika umurnya telah memasuki kepala empat. Tujuh tahun lalu, saat dia kehilangan pekerjaannya karena diphk, dengan sebab kesalahpahaman dan fitnahan dari teman sekantornya. Bram yang notabene saudara jauhnya entah sengaja atau sekadar ingin menghiburnya, waktu itu dia sering menggombalinya. Layaknya adik kepada kakak, Anes mencoba tidak memasukkan ke dalam hati, setiap gombalan Bram itu. Entah apa yang ada di dalam benak pemuda lajang yang umurnya terpaut jauh dengannya itu, hingga dengan yakinnya waktu itu dia bilang di chat WA, jika Bram sangat mengagumi wanita matang sepertinya. [Bram menyukai Mbak.] [What? Mbak tidak salah dengar 'kan, Bram? Mbak ini udah tuwir, udah punya suami dan anak pula. Bangun, woooy! Tidurmu kelamaan.] [Serius, Mbak! Bram suka yang udah mateng, kayak Mbak ini.] [Ngawur kamu!] Anes menggeleng-gelengkan kepalanya, saat mengingat kata-kata Bram tujuh tahun yang lalu. Brak! Anes mendorong pintu ruang kerjanya dengan kasar. Dia hempaskan pantatnya di sofa ruangannya dengan asal. Dia pejamkan matanya sejenak, sambil memijit pelan pelipisnya. Anes mengatur napasnya perlahan seraya menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Lalu, dia menetralkan napasnya yang terengah-engah karena telah berjalan dengan begitu cepatnya. "Bram ... tujuh tahun telah berlalu. Dan kamu masih menyimpan rasa itu untukku. Bukankah kamu telah mempunyai seorang gadis. Cantik pula. Ada yang korslet sambungan kabel di kepalamu Bram," gumam Anes seraya mengacak rambutnya dengan frustasi. Kini, setelah tujuh tahun berlalu, setelah Anes mendapatkan pekerjaan baru, Bram yang notabene fresh graduate, tiba-tiba saja muncul di kantornya. Entah mendapat informasi dari mana, hingga bocah lajang yang menyukai olahraga itu, kini menjadi staff di divisi hukum di kantornya. Zaman sudah mulai tua mungkin. Tujuh tahun lalu, dia baru berumur delapan belas tahun. Namun, dia yang baru saja lulus SMA itu, dengan terang-terangan mengakui menyukai wanita berkeluarga yang berumur tiga puluh delapan tahun. Kini, Anes berumur empat puluh lima tahun, dan Bram berumur dua puluh lima tahun. "Ternyata ... bocah itu masih menjadi bocah tua nakal seperti yang dulu." Anes menggigit bibir bawahnya. Kembali wanita itu memejamkan matanya. Tiba-tiba bulu kudunya mulai meremang. "Bram ... kamu terlalu berani. Mbak ini memang mbak jauhmu. Tapi ... bukankah Mbak ini seperti ibumu. Ada yang salah denganmu kah? Tapi ...." Anes mengelus pipi kirinya yang baru saja dicium oleh Bram. Wanita itu, kembali menggigit bibir bawahnya. Merasakan sensasi aneh yang tiba-tiba menggerayang di hatinya. "Ciuman laknat!" umpatnya. *** Sementara itu, Bram yang masih menikmati waktu istirahatnya, tidak jadi memesan makanan, melihat pesanan Anes yang tidak jadi dimakan. Pemuda lajang dengan postur tubuh menarik itu, senyum-senyum seorang diri. "Kena kamu, Mbak! Aku akan terus mengganggumu sampai rasa penasaranku terbayarkan," gumamnya seraya menyeruput jus jambu yang sudah separohnya diminum oleh Anes. "Bukan Bram kalau Mbak Anes tidak akan ketagihan minta yang lain, hihi ...." *** Jam istirahat telah berakhir. Di ruang kerjanya, Anes mondar-mandir sembari menatap ke arah kafe di depan sana, yang tepat berada di depan jarak pandang penglihatannya. Dilihatnya tempat duduk yang menjadi favoritnya di pojok kanan luar telah kosong. Netranya menelisik ke sekitar kafe. Saat dia menemukan sosok yang dia cari, entah mengapa tiba-tiba dadanya bergetar. "Bram ... apa yang kau pikirkan tentangku. Hingga tiba-tiba saja, gara-gara ciuman laknatmu barusan, dadaku bergetar hebat seperti ini. Bullshit!" gerutunya. Anes menutup jendela ruang kerjanya. Berharap bayangan atletis sosok Bram, hilang dari pikirannya. Wanita itu membalikkan tubuhnya membelakangi jendela ruangannya. Dia sandarkan punggungnya tepat di balik jendela ruang kerjanya. Musik romantis yang mengalun lembut dari mp3-nya, mengajak alam bawah sadarnya kembali merasakan sensasi ciuman dari berondong gila yang baru saja bersamanya. Hingga sepersekian menit berikutnya, terdengar pintu ruang kerjanya diketuk dari luar. Gegas Anes membuka matanya yang terpejam. Namun, alangkah terkejutnya dia, saat tiba-tiba sosok yang baru saja dipikirkannya sudah muncul dari balik pintu ruang kerjanya. "Bram ...." ***Anes masih mematung. Wanita itu tidak gegas menerima amplop cokelat pemberian dari Diana. "Hei ... Mbak? Are you ok?" ucap Diana seraya melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Anes. Anes tergagap. Sepersekian detik, pikiran wanita itu ngeblank. Entah apa yang ada dalam pikirannya. "Udah ... nggak perlu kelamaan mikir. ini sah dan halal kok. Asal Mbak dan Bram bisa nge-golin proyek yang ada di Kalimantan, Pak Tama pasti akan menepati janjinya." Diana gegas menyelipkan amplop cokelat yang ada di tangannya ke dalam genggaman tangan Anes. Tanpa pikir panjang, asisten pribadi Pak Tama itu segera keluar dari ruangan Anes. Anes menatap dengan lekat amplop cekelat yang kini sudah ada di tangannya. Seumur-umur kerja di perusahaan, baru kali ini dia mendapat bonus sebelum pekerjaannya mendapatkan hasil. "Mimpi nggak, sih, ini?" gumamnya seraya menoel kedua pipi chubby-nya. Anes menyimpan amplop cokelat itu ke dalam lacinya. Wanita itu gegas membereskan pekerjaannya sebelum besok dia
Bram dengan terpaksa melepaskan pegangan tangannya, saat Anes masih melotot ke arahnya. "Benar-benar mencari mati bujang gendeng ini," gumamnya. Ya, Bram memang terlalu sembrono. Di saat sang atasan hampir meledak emosinya, dengan santainya dia berulah yang kemungkinan besar akibatnya akan fatal. Untung, sang atasan akhirnya mengakhiri meeting mereka pagi itu. "Ya sudah. Secara detail teknisnya nanti Diana yang akan membantu. Aku buru-buru harus pergi sekarang. Ingat! Di sana nanti, kalian harus menjaga reputasi perusahaan kita." "Baik, Pak," ucap Anes dan Bram bersamaan. "Meeting pagi ini aku tutup. Silakan kalian mempersiapkan segala sesuatunya, Lusa kalian berangkat. Beresi pekerjaan kalian yang belum kelar." "Baik, Pak." Kembali Anes dan Bram menjawab bersamaan. Keduanya saling pandang. Bram tersenyum ditahan, sedangkan Anes mendelik tidak suka. "Kalian boleh kembali. Diana ... siapkan paspor dan visaku." "Baik, Pak." Diana gegas membuka laci dokumen, tempat di
Tok! Tok! Tok! Ketukan pintu di ruang kerja Anes, membuyarkan lamunannya. Wanita itu mendengkus perlahan. "Sialan! Ngapain aku jadi kepikiran bocah tengil itu, sih! Otakku jadi ikut-ikutan gendeng," gumamnya. "Bu ... boleh saya masuk?" tanya seseorang yang berada di balik pintu. "Oh, ya. Silakan masuk," ucap Anes tergagap, karena membiarkan orang yang berada di luar sana menunggunya untuk beberapa saat. Seorang wanita muda dengan seragam office girl masuk ke dalam ruangannya. "Ada apa, Mbak?" tanya Anes heran. "Maaf, Bu Anes. Saya dimintai tolong untuk mengantarkan ini," ucapnya seraya menyodorkan satu bungkusan kecil berwarna merah muda. "Apa ini?" tanya Anes seraya menerima bungkusan kecil warna merah muda tersebut. "Maaf, Bu. Saya kurang tahu." "Loh ... emang siapa yang menyuruh?" "Saya dilarang memberitahu, Bu. Di dalam ada nama pengirimnya katanya." "Oh, baiklah kalau begitu. Makasih, ya." "Baik, Bu. Sama-sama. Kalau begitu saya permisi." Anes hanya me
Anes tidak mampu lagi menyembunyikan rasa gundah gulana di hatinya. Wanita itu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi yang dia duduki. "Gimana, Bram? Orang tuamu sudah tanda tangani form persetujuan itu?" tanya Diana. "Sudah, Mbak. Ini form-nya aku kembalikan." Bram mengulurkan selembar kertas yang dia keluarkan dari map file-nya. Diana menerima kertas tersebut seraya mengecek kelengkapan isiannya. "Mbak Anes kenapa ada di sini? Dari tadi aku WA dan aku telepon nggak diangkat?" Seketika Anes mendongak. Entah apa yang sedang dipikirkannya hingga tiba-tiba dia lupa begitu saja jika ada Bram di ruang itu. "Mbak ...." Bram mengulangi memanggil Anes seraya melambai-lambaikan tangannya di depan Anes. "Mbak nggak bawa hp," ucap Anes berbohong. "Oh." Bram hanya ber-oh ria menanggapi jawaban Anes. "Lalu, Mbak Anes pagi-pagi ada di ruangan Mbak Diana kenapa?" "Mmm ...." Belum sempat Anes menjawab pertanyaan Bram, Diana gegas meminta form yang dibawa oleh Anes. "Pu
Anes melihat pesan masuk di ponselnya, setelah sekian banyaknya panggilan tak terjawab. Wanita itu menghela napas panjang. Huh! "Kenapa, sih, selalu kamu yang meneror ponselku," gumamnya. Dengan berat hati Anes membuka pesan yang tidak lain dan tidak bukan dari Bram tersebut. Ya ... ada tiga pesan di wall chat-nya bersama Bram, di samping belasan panggilan yang tidak terjawab. [Mbak .... ke mana saja, sih! Sepagi ini emang sudah sibuk apa saja, hingga panggilan Bram tak pernah diangkat?] [Mbak ... Bram jemput, ya? Kita berangkat sama-sama. Bram mau ngobrol penting, nih!] [Mbak Anes! Balas, dong!] Kembali Anes menghembuskan napasnya dengan kasar. Wanita satu anak itu, gegas mengembalikan layar ponselnya ke halaman pertama, tanpa berniat membalasnya. Anes melangkahkan kakinya menuju ke garasi rumahnya. Di sana motornya telah dikeluarkan oleh Brian yang lima belas menit yang lalu telah berangkat ke kantornya lebih dahulu. Deru motor terdengar meninggalkan halaman ruma
Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat energik itu, kembali memancing hasrat suaminya dengan cumbuan-cumbuan kecilnya. Hingga pada akhirnya, Ardi benar-benar terbuai, dan dia pun merapel jatah untuk istrinya. Satu jam lamanya mereka kembali melakukam gergulatan panas. Peluh kembali membasahi tubuh keduanya. Ardi memekik lirih usai melakukan pelepasan. Anes memejamkan netranya sesaat, menikmati sisa percintaannya yang menguras energinya. "Capek, Mas?" lirihnya tepat di telinga Ardi. "Ish ... dasar kamu. Udah setengah abad lebih mengimbangimu Mas agak kewalahan juga, sih," omel Ardi seraya bangkit dari pembaringannya. "Tapi nikmat 'kan Mas? Aku kan hanya berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk suamiku. Bukankah melayani kebutuhan biologis suami itu ibadah?" ucap Anes seraya bergelayut manja di lengan suaminya. "Kamu, ya. Paling pinter kalau disuruh ngeles," ucap Ardi seraya mencubit kecil hidung istrinya. Anes hanya nyengir kuda mendapatkan perlakuan dari suaminy
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen