“Sial*n!!” Umpat Syahnaz, “Perasaan Raymond dulu pernah bilang rumahnya daerah sini, tapi kenapa orang-orang sini gak ada yang kenal?” Gumamnya, kesal. Hingga saat ini ia belum juga menemukan keberadaan ayah dari anak di kandungnya. Syahnaz saat ini tengah duduk di jok belakang bersama tukang ojek yang mengantarnya. “Gimana, Mbak? Rumahnya yang mana nih??” Tanya tukang ojek. “Belum tau, Pak. Kan dari tadi gak ada yang tau orang-orang sini,” Jawab Syahnaz. Syahnaz memang sudah bertanya beberapa kali pada orang-orang sini. Dan tak ada satu pun dari mereka yang kenal dengan Raymond. ‘Apa dia punya nama samaran ya?’ Batin Syahnaz menebak. “Pak berhenti di sini dulu, ya!” Titah Syahnaz. Meski sudah kesal karena sejak tadi muter-muter tak karuan, tukang ojek itu pun akhirnya menurut lagi. Syahnaz segera turun, kemudian menghampiri wanita yang sedang menyapu halaman. “Mbak, permisi... Apa Mbak kenal dengan orang ini?” Syahnaz memperlihatkan foto Raymond yang ada di ponselnya. Wanita
“Nah... Ini dia keponakan yang saya ceritakan kemarin, Tuan.” Ucap Herman, saat Aisyah baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang tamu tersebut. Dua lelaki dengan penampilan seperti preman, duduk di ruang tamu sembari menatap Aisyah dari atas sampai bawah dengan intens. Merasa risih dengan tatapan dua pria itu, Aisyah bergegas melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Namun, suara teriakan Herman membuat gadis itu mengurungkan niatnya. “Jangan kemana-mana, Aisyah! Duduk di sini!” Titah Herman sembari menunjuk kursi di sampingnya. “Maaf, Paman. Badan Aisyah terasa lengket, Aku mau bersih-bersih dulu.” Tolak Aisyah dengan lembut. “Duduk, Aisyah! Atau_” Ucapan Herman tertahan sesaat. Tampak seorang wanita berjalan dari arah dapur dengan membawa nampan berisi tiga cangkir teh hangat. “Duduklah dulu, Aisyah. Ada hal penting yang harus kami bicarakan sama kamu!” Ucap Rina, istri Herman. Aisyah pun pasrah. Ia duduk dengan rasa penasaran menyelimuti jiwanya. Apa y
Ting! Ting! Ponsel Aisyah berbunyi, pertanda sebuah pesan masuk. Ia raih ponsel tersebut, pesan dari Rian muncul di layar ponselnya. [Aisyah, nanti malam kita ketemu di tempat biasa ya.] Rian, lelaki yang setahun belakangan ini menjalin hubungan dengannya. Aisyah pikir, pria itu menjadi satu-satunya orang yang ia harapkan untuk membantunya. “Oke, Mas. Kebetulan aku juga ingin membicarakan sesuatu yang penting.” Aisyah membalas pesan itu, ia kemudian bangkit dan langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia tak boleh larut dalam kesedihan. Dalam hati gadis itu, ia berharap agar Rian bisa menemukan solusi yang baik. “Semoga saja kamu bisa membantuku, Mas.” Gumam Aisyah lirih. Jelas saja ia berharap bahwa Rian pasti akan membantunya. Ia pikir, Rian pasti tidak akan rela bila Aisyah menikah dengan lelaki lain. °°° Pukul 19.30 wib. Rian dan Aisyah bertemu di sebuah cafe yang berada di dekat rumah gadis itu. Rian memang belum pernah menjemput Aisyah langsung di
Galih menatap ke arah spion motornya yang ia arahkan ke belakang. Rupanya gadis itu berpegangan pada bagian belakang jok motor. Galih tersenyum miring. Seakan merencanakan sesuatu? Tak lama setelah itu, ia melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Aisyah yang duduk di jok belakang, hampir saja terjengkang. Gadis itu terkejut bukan main, ia pun refleks melingkarkan tangannya ke pinggang Galih. Bisa-bisa ia jatuh jika hanya berpegangan di belakang jok motor saja. Kesal, Aisyah merasa Galih sengaja melakukan ini semua, agar gadis itu bisa memeluknya. Modus. Pikirnya. “Dasar preman modus!” Umpat Aisyah. Kesal bukan main. Sepanjang perjalanan. Galih hanya menahan tawa dalam hati karena mendengar Aisyah yang tak henti-hentinya mengoceh di belakang. ‘ Lucu! Gadis ini sangat unik.’ Batinnya. “Pelan-pelan aja jalannya. Kasian tetangga, takutnya mengganggu mereka!” Kali ini Galih menurut, karena sudah masuk area perkampungan. Pria itu pun memelankan laju motornya. Aisyah tak sadar, bahw
Pagi mulai merekah usai semalam di liputi suasana yang menyesakkan. Aisyah sudah bangun pagi-pagi sekali. Gadis itu mencoba menghilangkan segala beban pikirannya sejenak. Ia harus bekerja, ada Fadil yang sudah menjadi tanggung jawabnya. “Kok kamu berangkat kerja, Syah?” Celetuk Rina setelah melihat Aisyah sudah siap dengan seragam kerjanya. “Ya Tante.” Jawab Aisyah sembari menyisir rambutnya. “Kalau kamu nikah sama juragan Bram, kamu gak perlu lagi capek-capek kerja, Syah. Hidup kamu bakalan terjamin. Dari makan, rumah, mobil, bahkan kamu bisa shopping tiap hari. Dari pada jadi penjahit terus, kerja dari pagi hingga sore, tapi tetap aja hidup kamu gini-gini aja!” Ucap Rina. Aisyah menghela napas berat. Lagi-lagi Rina menyuruhnya menikah dengan juragan Bram. Aisya berbalik badan, menatap Rina. “Tante, selama ini Aisyah gak pernah beli ini itu di karenakan uangnya dipakai untuk biaya pendidikan Fadil. Dan juga buat makan kita sehari-hari di rumah ini!” Ucapnya, membela diri. “Hal
“Tenang, juragan. Kita bisa bicara baik-baik.” Ujar Rais. Tak ingin emosi Bram semakin memuncak. “Kamu!” Tunjuk Herman pada Galih, “Pergi kamu dari sini! Saya gak sudi Aisyah menikah dengan kamu! Sampai kapan pun, saya gak akan pernah mau merestui!” Ucap Herman, ikut tersulut emosi. Bagaimana tidak? Selain hutangnya lunas, Bram juga menjanjikannya memberinya modal yang cukup besar untuk di kelola menjadi usaha setelah menikah dengan Aisyah nanti. Herman sudah membuat rencana untuk membuka toko campuran yang besar dengan modal dari Bram. Dengan bantuan Bram yang nantinya akan jadi menantu nya, tentu tak sulit baginya untuk memiliki toko campuran yang besar. “Lagi pula uang dari mana kamu Galih untuk membayar hutang Herman hah?! Gaji kamu sebulan saja, bahkan sangat jauh!” Cetus Bram dengan sinis. Lelaki tua itu yakin, bahwa Galih pasti tak akan bisa membayar utang Herman sebanyak itu. “Tulis rekeningnya di sini!” Jawabnya dengan santai. Galih menyerahkan ponselnya pada Bram. Lela
“Jangan sungkan, Aisyah. Sebentar lagi kita berdua akan menjadi suami istri!” Ucap Galih, menatap Aisyah yang kini menatap ke arah lain.“Aku baru saja bertemu dengan kamu, aku sama sekali tidak kenal dengan kamu, tidak tau asal usulmu. Bagaimana bisa kamu mengatakan kita akan menikah sebentar lagi?” Ujar Aisyah, mengungkapkan keresahannya.“Kita bisa perkenalan setelah menikah.” Sahut Galih.Obrolan mereka terjeda sesaat. Seorang pelayan datang dengan membawa sebuah minuman, meletakkannya di atas meja.“Terima kasih...” Ucap Aisyah, pelayan itu hanya tersenyum sembari mengangguk.Galih memberi kode pada pelayan tersebut, agar segera meninggalkan mereka berdua.“Minumlah dulu agar pikiran kamu tenang, Aisyah.” Ujarnya dengan lembut.Aisyah tercengang. Tak percaya jika seorang preman di hadapannya itu bisa berbicara lembut seperti itu.“Oh ya, kenapa kamu melunasi hutang paman? Apa sebenarnya tujuan kamu, Galih??” satu pertanyaan yang membuat Aisyah penasaran sejak tadi, akhirnya terlo
“Eh, tunggu dulu! Syahnaz ini kan putri kami satu-satunya. Jadi, sebelum pernikahan di selenggarakan, kami ingin memberikan persyaratan terlebih dahulu untuk Nak Arman.” Ucap Herman. Arman mengernyit heran, penasaran. Persyaratan apa yang akan di berikan oleh calon mertuanya itu? “Apa syaratnya?” Tanya Arman cepat. “Kami ingin... Nak Arman memberikan mahar pada Syahnaz sebesar seratus juta!” Ujar Herman. Seketika membuat Arman dan kedua orang tuanya terkejut hebat. Mahar seratus juta?? “Apaa?!! Seratus juta???” Pekik mereka bertiga, kompak. Saking terkejutnya. “Iya! Kalian tidak keberatan kan?” Rina menimpali. Syahnaz seketika melotot pada kedua orang tuanya. “Pak, apa-apaan ini!” Protes Syahnaz. “Syahnaz, kamu berhak mendapatkan mahar yang besar! Jangan mau kalah sama Aisyah, calon suaminya juga memberikan Bapak uang sebesar seratus juta!!” Ujar Herman, tentu saja pria paruh baya itu tidak ingin mengatakan jika uang itu sebenarnya untuk membayar semua hutangnya. “Kalian ini
“Sial*n!!” Umpat Syahnaz, “Perasaan Raymond dulu pernah bilang rumahnya daerah sini, tapi kenapa orang-orang sini gak ada yang kenal?” Gumamnya, kesal. Hingga saat ini ia belum juga menemukan keberadaan ayah dari anak di kandungnya. Syahnaz saat ini tengah duduk di jok belakang bersama tukang ojek yang mengantarnya. “Gimana, Mbak? Rumahnya yang mana nih??” Tanya tukang ojek. “Belum tau, Pak. Kan dari tadi gak ada yang tau orang-orang sini,” Jawab Syahnaz. Syahnaz memang sudah bertanya beberapa kali pada orang-orang sini. Dan tak ada satu pun dari mereka yang kenal dengan Raymond. ‘Apa dia punya nama samaran ya?’ Batin Syahnaz menebak. “Pak berhenti di sini dulu, ya!” Titah Syahnaz. Meski sudah kesal karena sejak tadi muter-muter tak karuan, tukang ojek itu pun akhirnya menurut lagi. Syahnaz segera turun, kemudian menghampiri wanita yang sedang menyapu halaman. “Mbak, permisi... Apa Mbak kenal dengan orang ini?” Syahnaz memperlihatkan foto Raymond yang ada di ponselnya. Wanita
Pukul 16.00 wib_Fadil pulang dari sekolah dengan langkah riang. Wajahnya berseri-seri, seolah-olah hari ini adalah hari terbaik dalam hidupnya. Begitu sampai di rumah, ia langsung berlari masuk ke dalam, mencari sosok wanita yang selama ini selalu bersamanya.“Mbak Aisyah!!” Teriak Fadil, suaranya menggema di ruang tamu.Aisyah, yang sedang duduk santai di sofa dengan segelas air putih di tangannya, tersenyum melihat Fadil yang begitu bersemangat. “Iya, Fadil. Kenapa? Kok keliatannya kamu seneng banget??” Tanyanya.Fadil langsung menghampiri kakak semata wayangnya itu dan duduk di sebelah Aisyah, “Fadil denger dari Bang Galih tadi, katanya Mbak Aisyah hamil ya?! Dan Fadil bakal jadi Om??” Tanyanya penuh kegembiraan. Matanya berbinar-binar seolah tak percaya.Aisyah tersenyum lembut, lalu mengangguk. “Iya, Dil. Kamu bakalan jadi Om yang hebat deh nantinya.”“Fadil janji, Mbak. Fadil bakalan jagain Mbakdan calon keponakan Fadil seperti Mbak Aisyah selama ini jagain Fadil!!” Tegasnya.
“Selama Mas ada di samping aku, Rian gak akan berani deketin aku, Mas. Tadi aja dia deketin karena gak ada Mas kan?” Jelas Aisyah, masih berusaha menenangkan sang suami. Galih terdiam sejenak, kemudian mengangguk dengan pelan. “Sudah ya Mas... Tahan emosinya, sayang... Nanti dede bayinya sedih lagi,” Ungkap Aisyah membuat raut wajah Galih seketika berubah sumringah. “Ah iya, Mas sampai lupa ngabarin Mama. Mama pasti seneng banget denger kabar ini, Sayang.” Aisyah mengangguk, “Iya, Mas. Nanti kita kasih tau Mama ya kalau udah sampai rumah,” ia tak sabar mendengar respon mertuanya tentang kehamilannya ini. °°° Sesampainya di rumah, Galih langsung bergegas memberikan instruksi kepada asisten rumah tangganya. “Bi Ani, tolong bersihkan kamar tamu di lantai bawah sekarang juga ya. Hari ini kami akan pindah ke kamar itu. Saya gak mau istri saya naik turun tangga. Pastikan kamarnya nyaman, dan siapkan segala kebutuhan di kamar itu juga!” Titah Galih tegas, membuat Bi Ani segera bergera
Setelah memakan waktu yang cukup lama, kini akhirnya Aisyah sudah selesai di periksa. Raut wajah keduanya sama-sama bahagia saat keluar dari ruangan dokter spesialis kandungan. “Ingat kata dokter tadi ya, Sayang. Kamu harus banyak istirahat, banyak makan yang bergizi, gak boleh kecapean apalagi stress,” Jelas Galih, mengingatkan kembali pada pesan dokter tadi pada istrinya itu. Keduanya tengah duduk di ruang tunggu lobby. Vitamin untuk Aisyah sedang di siapkan oleh bagian apotik rumah sakit. “Iya, Mas.” Aisyah senang melihat suaminya ini cerewet sekali sejak di ruangan periksa tadi. Galih sangat aktif bertanya banyak hal pada dokter tadi. “Kamu tadi pingsan lama lho, Sayang. Mas udah khawatir banget,” Ungkap Galih dengan tampang serius. “Pokoknya mulai sekarang kamu gak boleh yang namanya nyiapin makanan. Sepertinya kamar kita juga nanti akan Mas pindahkan di bawah saja di kamar tamu. Nanti Mas akan renovasi dulu biar lebih bagus!” Galih terus mengeluarkan ide-idenya pada Aisya
Sementara itu, kini Fadil sudah pulang ke rumah dengan bersenandung ria. Merasa puas karena sudah mempermainkan Rina tadi. “Hey, kamu kenapa Dil? Senyam-senyum gitu, kayak orang jatuh cinta aja,” Ucap Aisyah terheran melihat adiknya masuk rumah dengan bersenandung. “Ini lebih dari jatuh cinta, Mbak.” Jawab Fadil. Aisyah mengerutkan kening, “Apa yang lebih dari jatuh cinta? Kamu sudah punya pacar, Dil??” Tanyanya dengan tatapan menyelidik. Fadil cepat-cepat menggeleng. “Enggak, Mbak. Fadil gak suka pacar-pacaran,” sahutnya. Aisyah mengangguk setuju sembari tersenyum. “Bagus! Jangan mainin hati perempuan ya,” Jelas Aisyah. Fadil tersenyum dengan menahan tawa, “Mbak tau gak?” “Ya gak tau, Fadil. Makanya tadi Mbak nanya sama kamu. Ada apa? Eh, malah kamu balik nanya.” “Tadi Fadil ketemu Tante Rina di sekolah, Mbak.” Jawab Fadil. “Hah? Tante Rina ngapain di sekolah kamu?” Tanya Aisyah sedikit terkejut. “Enggak tau juga sih. Tapi tadi Tante Rina jalan kaki dari arah utara, Mbak. K
Sepulang dari menjenguk Herman di Lapas, Rina seakan mendapat vitamin kehidupan. la kini berjalan menyusuri jalanan untuk mencari pekerjaan. Tak apa, wanita itu rela untuk kembali bekerja agar bisa mengunjungi kembali suaminya di lapas. “Bu, Ibu butuh tenaga kerja gak?” Tanya Rina di sebuah toko campuran. “Kamu panggil saya Ibu? Ngaca dong! Situ kali yang Ibu-ibu!” sentak pemilik toko campuran yang seorang gadis. Rina tersentak. Pemilik toko campuran tersebut tak terima di panggil Ibu oleh dirinya. “Eh, maaf Mbak...” Ralat Rina cepat, “Butuh pekerja gak Mbak? Kebetulan saya lagi cari kerjaan.” sambungnya. “Nggak ada!!” Jawab gadis itu ketus bukan main. Rina menghela napas berat, tanpa banyak bicara lagi ia segera pergi meninggalkan toko itu. Kembali berjalan menyusuri jalanan dan masuk ke beberapa toko lainnya serta rumah makan untuk menanyakan info lowongan pekerjaan. “Jangankan lowongan kerja, Bu. Pegawai saya aja pada nganggur itu di belakang karena lagi sepi pembeli,” keluh
“Terus sekarang gimana, hah? Kenapa kamu malah minta tanggung jawab sama Arman kemarin?” Tanya Rina lagi, masih ingin tahu. “Karena Syahnaz gak cinta sama lelaki itu, Bu!” Jawabnya. “Gak cinta tapi sampai punya anak? Kamu jadi wanita bayaran? Dasar bodoh!!!” Umpat Rina, semakin menggeram. Ia mendorong kepala putrinya itu dengan jari telunjuknya, benar-benar muak bukan main dengan pernyataan Syahnaz kali ini. “Sstt!! Jangan keras-keras bicaranya, Bu!” Syahnaz kembali memperingati ibunya. “Pokoknya Ibu gak mau tau!! Kamu harus minta tanggung jawab sama lelaki yang sudah menghamili kamu itu!” Pinta Rina sedikit mendesak. “Gimana caranya Bu? Dia udah punya istri dan juga anak,” Jawab Syahnaz, tak bersemangat. “Ya kamu temui istrinya itu, mau gak mau kamu harus jadi istri keduanya!” Tambah Rina lagi. Syahnaz menggeleng, “Enggak, Bu!! Syahnaz gak mau jadi istri kedua?” Tolak Syahnaz. Tak pernah ada keinginan dalam dirinya untuk jadi istri kedua. “Kalau kamu gak mau jadi istri kedua,
Pukul 07.00 wib_ Aisyah sedang membuat dua cangkir minuman hangat untuk dirinya dan Galih. Gadis itu tersenyum manis menghirup aroma wangi dari cangkir berisi kopi susu panas itu. “Hmmm... Wangi!” Ucapnya sambil memejamkan mata. Galih diam-diam mengamati tingkah Aisyah sembari bersandar di dinding sambil bersidekap. Istrinya itu ternyata sedang memakai dress piyama yang oversize. Terlihat longgar di tubuh langsingnya. Namun tetap menampilkan betis indahnya yang bersih. “Cantik.” Gumamnya. Galih berjalan mendekati Aisyah yang membelakanginya. “Wangi banget aromanya sayang!” bisik Galih di telinga Aisyah sambil memeluk wanita itu dari belakang. Seperti biasa, selalu mengecup tengkuk istrinya yang beraroma cologne bayi. Aisyah sedikit kaget karena suaminya itu tiba-tiba datang memeluknya. “Eh Iya Mas, aku buat untuk kita berdua.” Aisyah tersenyum lembut sambil mengelus pipi Galih dengan sebelah tangannya. “Yuk Mas kita minum di meja makan. Enak nih dingin-dingin begini minum y
“Naz... Ibu kangen sama bapak. Ayo kita jenguk bapak ya, Nak.” Pinta Rina. Sudah sebulan Herman mendekam di Lapas, tetapi Rina dan Syahnaz tak pernah mengunjungi. Di karenakan tak ada biaya.“Apa sih, Bu? Jangan kayak anak kecil deh! Biarkan saja Bapak di sana sampai waktunya keluar! Salah Bapak sendiri karena sudah ceroboh!” Tanpa perlu berpikir, Syahnaz langsung menolak dengan jelas permintaan Ibunya itu.Rina terkejut mendengar jawaban Syahnaz yang tidak punya hati pada ayahnya sendiri.“Kurang ajar kamu, Syahnaz!!” Umpat Rina kesal.Bukannya kasihan dengan Ayahnya di penjara, Syahnaz malah justru menyalahkan Herman.“Apa, Bu? Memang nyatanya begitu kan?”Rina menggeleng, tak terima. “Pokoknya Ibu mau jenguk bapak kamu!” kekehnya keras kepala.“Memangnya Ibu ada uang? Ke Lapas gak akan cukup kalau bawa uang hanya lima puluh ribu, belum lagi nanti pasti bapak minta makananlah, cemilan lah! Di lapas itu kalau bawa makanan juga harus banyak biar bisa di bagi sama penghuni lainnya. Me