Share

Rencana

Esoknya, Farhana keluar dari kamarnya sambil celingukan. Dia harus bertemu Rey untuk memastikan sesuatu.

Namun, ia khawatir dengan keberadaan sang ibu yang mungkin saja melarang pertemuan keduanya.

Saat melongok ke ruang makan yang langsung terhubung dengan dapur, sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya. Gadis itu menoleh cepat karena kaget.

“Ih, bang Raziq bikin kaget aja.” Farhana sewot. Lalu buru-buru berjalan menuju dapur.

“Ngapain, sih, Dek? Pakai celingak-celinguk segala.” Raziq terheran-heran dengan sikap adiknya. Gadis itu sibuk memasukkan beberapa potong pisang goreng lalu menyiapkam kopi instan yang ia seduh di dalam termos berbentuk cangkir. Pisang goreng dan kopi itu ia masukkam ke dalam tas bekal berbentuk kotak.

“Ssst! Abang jangn bilang-bilang, yah. Please ....” Wajah Farhana memelas. Berharap sang kakak bisa diajak kompromi. Sudut matanya masih mengawasi sekitar, khawatir jika ibunya tiba-tiba saja muncul dan menanyakan isi tas yang dibawanya itu.

“Oke. Tapi elu mau ke mana?” tanya Raziq dengan memelankan volume suaranya.

“Bang, panjang ceritanya. Ntar Hana ceritain di japrian W******p yah. Pokoknya pagi ini Hana harus ketemu Bang Rey. Nanti kalau ibu tanya, jawab aja Farhana ke rumah Rahma.” Farhana buru-buru ngeloyor keluar dapur. Langkah gadis itu tergesa-gesa menuju sepeda motor yang sudah siap terparkir di halaman. Razaq yang menyiapkannya tadi pagi. Kebetulan kakaknya itu habis dari pasar, membeli pakan burung piaraannya. Raziq hanya menggelengkan kepalanya.

Tepat saat Farhana sudah melajukan sepeda motor keluar halaman rumah, ibunya muncul dari halaman belakang. Wanita itu menghampiri Raziq yang baru mencomot sepotong pisang goreng. Pemuda itu langsung kena teguran Hajah Husna.

“Ya ampun, Raziq. Kebiasaan elu mah. Ini pisang goreng kenapa tinggal sedikit begini?” Hajah Husna yang terlihat belepotan lumpur di kedua tangan dan pakaiannya berdecak kesal. Wanita itu sepertinya habis mengurusi kebun di belakang rumah.

Raziq memang dikenal sebagai tukang makan dan tukang menghabiskan makanan di rumah itu. Meskipun kali ini bukan ulahnya. Demi janjinya melindungi sang adik, terpaksa ia dengan sukarela mendapat damprat dari ibunya. Syukurlah hajah Husna langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Bila tidak, bisa runyam urusan kalau wanita itu sudah berceramah panjang kali lebar nanti.

“Raziq, itu adikmu mana? Ibu belum lihat dari pagi. Biasanya udah sibuk nyari makanan jam segini.” Wanita itu bertanya dari dalam kamar mandi. Suara gayung bersambut air dari keran terdengar. Biasanya jam segini hajah Husna menunaikan salat Duha. Sebelum Raziq menjawab, ibunya sudah lebih dulu keluar dari kamar mandi. Wanita itu menghampiri Raziq yang sedang menyeruput kopi hitam.

“Tadi izin ada perlu sama temannya, Bu. Siapa tuh ya namanya? Raziq lupa. Alma, Zahra, apa siapa gitu. Banyak A-nya pokoknya.” Raziq menandaskan kopi dan melahap potongan terakhir pisang goreng.

“Rahma maksud elu?” tanya ibunya memastikan.

“Nah itu. Kok ibu hafal nama temannya Hana?”

“Ya gue kan emaknya. Wajib tahu anak-anak gue gaulnya sama siapa aja. Ah, elu ada-ada aja nanyanya.” Hajah Husna keluar dari dapur dan berjalan menuju kamarnya di ruang belakang. Kamar Haji Kipli dan Hajah Husna memang terpisah, bersebelahan dengan musala kecil yang biasa dipakai keluarga mereka berjamaah. Ketiga kamar anaknya berada di bagian depan rumah, dekat dengan ruang keluarga.

“Bu, ini emang nggak ada sarapan nasi?” tanya Raziq sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru dapur.

“Nggak ada. Nggak sempat masak sarapan tadi. Elu lapar mah beli nasi uduk Mpok Romlah aja ya. Sekalian ibu nitip 2 bungkus. Beliin juga buat abang elu. Jadi 3 bungkus. Duitnya di wadah bawang sebelah kompor, dekat minyak goreng. Awas kesenggol minyak gorengnya. Ibu belum beli lagi.” Suara ibunya mencerocos dari dalam musala. Rupanya sudah siap-siap untuk salat Duha.

Akhirnya Raziq memutuskan pergi menuju warung Mpok Romlah dan memesan nasi uduk sejumlah pesanan. Syukurnya, ia tak kehabisan nasi uduk yang paling nikmat seantero kampung itu.

###

“Tumben Hana ajak abang ketemuan. Sepertinya ada hal penting yang Hana ingin sampaikam ke abang,” ujar Reyhan sesaat setelah memesan makanan dan minuman. Farhana dan Reyhan janji bertemu di kolam pemancingan yang beberapa hari lalu dikunjungi keduanya.

Farhana merogoh saku jaketnya lalu mengeluarkan ponsel di dalamnya. Gadis itu membuka kunci layar lalu memasuki sebuah pesan. Ditunjukkannya pesan yang semalam ia terima dari sahabat terdekatnya kepada lelaki yang kini menjadi kekasihnya.

“Sintya?” tanya Reyhan. Farhana mengangguk. “Kenapa dia bisa berkata begitu?”

“Entahlah, Bang. Hana sendiri kebingungan.”

“Apa Sintya mencintai seseorang hingga membuatnya cemburu?” selidik Reyhan. Mendengar pertanyaan Reyhan, kedua mata Farhana terbelalak. Kenapa ia tidak berpikir tentang itu?

“Sintya pernah menunjukkan isi chatnya dengan Usman, Bang. Dari sorot matanya, Hana tahu kalau Sintya menyukai Usman.”

“Oh, iya. Abang pernah dengar beritanya. Tapi abang nggak tahu kalau mereka suka chattingan.”

“Parah, Bang. Jijik Hana membaca isi chatnya. Anehnya, Sintya merasa bangga.” Farhana bergidik jika mengingat isi chat mereka berdua yang berbau mesum.

“Abang hanya tahu jika Usman memiliki hubungan dengan seorang gadis.” Farhana menoleh. Ekspresi wajahnya terlihat kebingungan. “Maksud abang?”

“Abang pernah memergoki Usman dan Sarah keluar dari gubuk di kebun milik Pak RT. Keduanya terlihat gugup ketika melihat abang sedang memperhatikan.”

“Astaghfirullah. Ngapain mereka di gubuk itu? Aku tahu lokasi gubuk itu. Sangat sepi. Buat apa mereka di sana?” Pikiran Farhana menduga yang tidak-tidak kepada dua pemuda itu.

“Entah. Abang tidak berani menegur. Karena fokus abang saat itu hanya bantu Pak RT menebang pohon bambu di pinggir kali dekat kebunnya. Pak RT butuh untuk menghias kampung waktu itu. Dalam rangka lomba kampung sehat. Tapi pakaian Usman terlihat berantakan. Pecinya miring dan sarungnya terlihat berantakan.”

“Astagfirullah. Hana nggak menyangka mereka berani berbuat sangat jauh.” Farhana menutup mulutnya.

“Tapi kita nggak boleh suuzan dulu sebelum ada bukti yang kuat.”

Keduanya lalu terdiam dan hening. Larut dalam pikiran masing-masing. Hingga pelayan restoran pemancingan ini datang membawakan pesanan mereka.

“Apa yang bisa abang bantu buat Hana?” Reyhan menawarkan bantuan.

“Hana ingin berbicara langsung dengan Sintya, Bang. Tapi chat Hana nggak pernah dibuka sejak semalam. Telpon pun nggak diangkat. Hana nggak tahu letak kesalahan Hana di mana.” Isak tangis Hana mulai pecah.

Sintya adalah sahabat karibnya sejak Farhana dan keluarganya menjadi warga kampung Sukacai. Keluarganya adalah pindahan dari kota. Haji Kipli mengalami kebangkrutan hingga harus menjual kekayaannya di kota dan pindah ke kampung itu. Dengan sisa kekayaannya, ia memulai kembali bisnisnya di kampung itu. Saat itu Farhana dan kedua abangnya tetap dipertahankan sekolah sambil menuntut ilmu agama di sebuah pesantren.

“Abang punya ide.”

Ucapannya yang tiba-tiba membuat Farhana terkejut. “Apa itu, Bang?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status