Sejak kejadian beberapa hari lalu, Farhana dan ibunya seolah terlibat perang dingin.
Dia ingin bercerita pada Sintya, sahabatnya.Namun, Sintya terlihat seperti sedang menghindarinya.
Farhana pun kebingungan, ia merasa tidak ada salah apa pun pada Sintya.
Isi kajian yang disampaikam Usman pun tidak ada satu pun yang memenuhi isi kepalanya. Seharian ini pikirannya terasa mumet. Kali ini ia harus menghadapi sikap dingin Sintya yang tiba-tiba.
Farhana berbisik di telinga Sarah, siapa tahu sahabat yang satu ini tahu sesuatu.
“Sarah, Sintya kenapa, ya? Kok aku ngerasa dihindari sejak tadi datang ke majelis ini.”
“Aku nggak tahu apa-apa, Han.” Sarah terlihat salah tingkah. Seolah tengah menyembunyikan sesuatu. Entah apa itu.
Farhana kembali terdiam. Gadis itu bermaksud menanyakan langsung pada Sintya sepulang kajian nanti. Baru saja ia merogoh saku gamisnya, Farhana menyadari bahwa ponselnya tertinggal di atas nakas tadi. Gadis itu tadinya ingin mengirimkan pesan supaya Sintya mau pulang bersama dan berbicara jujur padanya nanti.
Kajian selesai. Sintya terlihat tergesa-gesa keluar dari masjid.
“Siiin ... Tunggu aku.” Farhana mengejar dengan langkah terburu-buru hingga ia terjatuh. Seseorang membantunya berdiri. Ketika menoleh, Rey sudah berada di sampingnya sambil memegangi lengan Farhana.
“Ma-maaf. Nggak sengaja.” Rey melepas genggaman tangannya ketika menyadari tatapan mata Farhana yang terbelalak kaget karena disentuh oleh yang bukan mahram.
“Iya, Bang. Makasih, ya.” Jawaban singkat Farhana yang tidak seperti biasanya membuat rasa bersalah Rey semakin menyeruak.
“Maafkan Bang Rey, Hana. Karena abang, suasana hatimu hari ini jadi berantakan nggak karuan.”
Farhana menggeleng, “Bukan salah abang. Hana yang salah. Kenapa harus jatuh cinta di saat yang tidak tepat?”
“Nasib kita sama, Hana.”
Farhana menoleh. Ia tatap dalam-dalam kedua mata pemuda di hadapannya ini. “Bang, kalau cinta abang tidak direstui orang tua, apa yang abang lakukan?” Pertanyaan Farhana yang begitu tiba-tiba itu membuat Rey berpikir sejenak.
“Abang bermunajat di hadapan Allah, memohon petunjuk pada-Nya. Jika memang berjodoh, dekatkan kami. Jika tidak, jauhkan kami.”
Jawaban Rey membuat Farhana ingin menangis. Jujur, gadis itu merasa sudah jatuh cinta di waktu yang tidak tepat. Ia terlanjur merasa dekat dengan Rey. Seandainya dirinya bisa mengungkapkan perasaannya pada Rey saat itu juga ....
“Hana. Ada yang ingin abang sampaikan.” Rey yang biasa bercanda semenjak keduanya dekat, tiba-tiba berubah serius. Farhana semakin berdebar. Ia merasa takut Rey akan berkata sesuatu yang tidak ingin didengarnya. Gadis itu merasa yakin, banyak gadis yang mengagumi ketulusan hati pemuda itu. Saat kajian tadi, selintas ia dengar gadis-gadis di kampung ini membicarakan Rey. Bahkan mereka membandingkan Rey dengan Usman.
Dari obrolan yang ia curi dengar, sebagian dari para gadis itu begitu mengagumi Rey. Apalagi wajah pemuda itu mirip dengan aktor tampan pemeran Yoko. Meskipun kulitnya tidak sebersih kulit Usman yang putih.
“Apa, Bang? Jangan buat Hana takut, Bang.” Wajah polos memelas Farhana saat itu membuat hati kecil Rey ingin menyentuh ujung hidung mancung gadis pujaan hatinya.
“Hana mau tahu gadis pujaan hati yang abang ceritakan?” Farhana terlihat mengangguk.
“Kemari ikut abang.” Dada Farhana semakin berdebar ketika Rey meminta dirinya mengikuti. Pikiran negatif semakin menyeruak. Ternyata bukan dirinya yang dimaksud. Buktinya, Rey mengajaknya ke suatu tempat. Kalau dirinya yang dimaksud, cukup katakan ‘kamu’ itu sudah cukup, bukan?
Rey dan Farhana berhenti di sebuah toko berkaca besar yang sudah tutup. Itu toko boneka yang kacanya berwarna hitam. Farhana bisa melihat pantulan keduanya di kaca itu.
“Mana, Bang?” Farhana celingak-celinguk mencari gadis penjaga toko boneka itu yang lumayan cantik dan menarik. Reyhan terkekeh.
“Kamu cari siapa?”
“Gadis penjaga toko ini, Bang. Jadi dia yang abang maksud? Pilihan bang Rey bagus juga.” Farhana salah tingkah. Tergelak tawa dari mulut Rey. Pemuda itu menggelengkan kepalanya.
“Bukan dia yang kumaksud.” Rey lalu membalikkan tubuh Farhana hingga gadis itu melihat pantulan dirinya di cermin yang terdapat di salah satu dinding luar pangkas rambut di samping toko boneka tadi.
“Dialah gadis yang ingin abang persunting menjadi istri.” Reyhan tersenyum sangat manis sekali. Sementara Farhana sudah tidak mampu menebak perasaannya sendiri. Gadis itu menoleh ke belakang, Rey terlihat mengangguk meyakinkan. Tidak perlu menunggu jawaban Farhana, Rey sudah bisa menebak melalui tatapan mata gadis itu. Ia sangat yakin jika Farhana juga memiliki rasa yang sama.
Senyum dan semburat merah muncul di wajah keduanya.
Setelah percakapan itu, Rey hanya mampu mengantar Farhana hingga depan rumah Sintya.
Perempuan itu tidak mau hubungan keduanya diketahui orang lain.
Rey berjanji akan merahasiakan hubungan ini hingga Rey akan melamar Farhana menjadi pendamping hidup selamanya. Setelah memastikan kekasihnya sudah memasuki pagar rumahnya, pemuda itu berbalik arah menuju pulang ke rumahnya.
Di teras rumah, Razaq terlihat sudah menunggu adik perempuan semata wayangnya.
Sambil berbisik ia memanggil Farhana. Farhana mengendap-endap menghampiri sang kakak. Razaq terlihat celingukan ke dalam rumah.
“Dari tadi ibu nyariin kamu. Abang bilang kamu udah pulang kajian dan langsung tidur. Kamarnya abang kunci dari luar. Kamu masuk lewat jendela samping aja. Hati-hati ketahuan ibu. Ini kunci kamarmu.” Razaq berbisik sambil memeriksa sekitar. Khawatir ibunya tiba-tiba menongol di pintu.
Farhana terharu dengan kepedulian kakak pertamanya ini. Ia pun segera berjalan ke samping rumah dengan memelankan langkah. Perlahan, gadis itu mencongkel jendela. Syukurlah ia lupa mengunci jendela itu. Atau Razaq yang sengaja membuka kuncinya? Entahlah. Yang pasti saat itu Farhana merasa sangat bersyukur karena upayanya berhasil.
Setelah berada di dalam kamar dengan aman, segera gadis itu mencari ponselnya di atas nakas. Layar yang terkunci memunculkan notifijasi satu pesan masuk. Pesan dari Sintya.
Farhana bergegas membukanya.
Dia terkejut setengah mati saat membacanya. [DASAR PENGKHIANAT!]
"Hah?"
Farhana merenungi kejadian janggal yang dialaminya saat di rumah Pak RT tadi. Reyhan yang menyadari jika istrinya tengah memikirkan sesuatu itu pun mencolek hidung bangirnya.“Isengnya mulai keluar lagi deh.” Farhana merengut manja.“Lagian dari tadi bukannya tidur atau melayani suami, ini malah melamun.”Farhana yang tengah berbaring pun mengubah posisinya. Ia bangkit dan duduk di samping suami sambil memeluk bantal.“Bang ... ada kejadian aneh dan janggal yang Hana rasakan tadi di rumah Pak RT. Tepatnya di kamar Sarah.“Janggal bagaimana?” Reyhan membetulkan posisi sandarannya. Ia bersiap menyimak cerita istrinya saat itu.Lalu Farhana pun menceritakan kronologi kejadian mistis yang dialaminya tadi dengan lengkap tanpa terlewat satu adegan pun.“Kamu yakin, Dik, apa yang dilihat tadi itu penampakan?”“Yakin atuh, Bang. Otakku masih jernih, kok. Bisa bedakan mana kejadian nyata dan tidak nyata.”“Iya, abang percaya apa yang diceritakan olehmu itu nyata. Tapi ... ada maksud d
Area penemuan mayat Bu Ratna sudah diberi garis polisi. Polisi yang menyelidiki kasusnya menemukan banyak kejanggalan pada lokasi juga pada tubuh Bu Ratna. Pak RT dan Sarah langsung menuju lokasi setelah memastikan ke rumah sakit jika memang benar itu adalah mayat istri dan ibu mereka.Ayah dan anak itu masih menahan sakit, ketika mendapati mayat itu benar Bu Ratna. Tambah lagi ketika mereka tiba di lokasi di mana tubuh Bu Ratna ditemukan sudah membusuk.Ada rasa penyesalan mendalam di dalam hati Pak RT. Seandainya ia dari awal melaporkan hilangnya Bu Ratna, mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya. Namun saat itu ia hanya mengira jika Bu Ratna kabur entah ke mana. Sayang, nasi telah menjadi bubur. Waktu tak dapat diputar kembali.Berita duka ini sudah sampai ke telinga warga. Mereka kembali bahu-membahu membantu Pak RT menyiapkan segala keperluan. Seperti saat berita kematian Usman menyebar beberapa hari lalu.Usman yang ikut ke lokasi bersama ayahnya, mendekati Sarah yang masi
“Kudengar Usman sudah melamar Sarah saat masih di rumah sakit, Sin,” ujar Farhana saat saudara suaminya tengah membantu merapikan undangan pernikahan. Sekitar semingguan lagi resepsi Farhana dan Reyhan digelar, malam ini mereka akan menyebarkan undangan ke tetangga dan kerabat yang dekat. Untuk tamu undangan yang lokasinya sulit dijangkau, Farhana hanya mengirim undangan online melalui media sosialnya.“Iya, Hana. Alhamdulillah, aku senang sekali begitu mengetahui kabar itu langsung dari Sarah. Akhirnya mereka menikah juga.” Sintya tersenyum riang. Sama sekali tidak ada kecemburuan pada dirinya mengetahui berita itu.“Kamu nggak cemburu, Sin?” goda Farhana.“Apa?! Aku cemburu? Nggak lah, Hana.” Sintya menyikut lengan Farhana. “Lagian, aku sudah punya gebetan baru loh,” imbuh Sintya membuat Farhana menoleh cepat. Sepertinya kecurigaan Farhana akhir-akhir ini akan segera terjawab.“Siapa tuh? Kayaknya aku tahu deh,” ledek Farhana. Gadis itu melirik dengan tatapan meledek.“Apa aih?
Jenazah Usman yang terbangun tiba-tiba membuat warga di dalam rumah Ustaz Arfan yang sedang melayat kaget dan ketakutan. Sebagiannya keluar sambil lari terbirit-birit. Mereka berlarian tunggang langgang tak tentu arah.Usman keheranan melihat ke sekitarnya sudah ramai orang. Lalu pemuda itu memerhatikan dirinya sendiri. Tubuhnya sudah dikafani. Hidungnya pun disumbat kapas. Noda darah pada kain berwarna putih di bagian dadanya mengeluarkan bau yang cukup menyengat hingga membuat pemuda itu muntah.Keluarga Usman dan beberapa warga yang masih tinggal dalam ruangan membantu melepaskan kafan dan memakaikan pemuda itu pakaian. Ummi Yumna menangis terharu, melihat keajaiban anaknya hidup kembali. Wanita itu bersujud syukur atas kehidupan kedua untuk putranya.Farhana dan Sintya yang penasaran melongok ke dalam rumah. Keduanya terperangah menyaksikan Usman yang tengah duduk dan dilepaskan kain kafannya. Setelah Usman beres dipakaikan baju dan sarung, kedua gadis itu masuk dan menghampiri.
Berita kematian Usman sudah terdengar di seluruh penjuru. Pagi ini jenazahnya akan tiba di rumah duka dengan diantar ambulan. Desas-desus pun mencuat. Beberapa warga berbisik-bisik membicarakan kelakuan Usman semasa hidupnya.“Ela juga sering banget digangguin ustaz gadungan itu, Ibu-Ibu. Sering dichat, diajak jalan-jalan malam mingguan loh,” ujar Ela saat menjajakan jamu di depan warung Mpok Romlah.“Masak, sih, La? Bukannya Usman seleranya tinggi ya?” cibir Bu Eha, yang suaminya sering menggoda Ela di belakang dirinya. Bu Eha benci bukan main pada penjual jamu yang keganjenan itu. Apalagi kalau Ela sudah berlenggak-lenggok hingga membuat mata para bapak-bapak di kampung ini melotot. Bukan main kesalnya wanita itu hingga pernah suatu ketika kedua wanita itu bertengkar dan saling jambak.“Ih, Ela kan memang kesukaan para pria yang berselera tinggi, Bu Eha. Emangnya situ. Suaminya sendiri kepincut sama Ela, kan?” Gadis yang sudah tidak perawan itu balas menyindir.Sebelum terpancing
Pak RT kelimpungan. Sudah mencari ke seluruh penjuru kampung tapi tak juga menemukan putrinya. Pria itu begitu ketakutan, khawatir anak semata wayangnya itu berbuat nekat. Dalam kondisi seperti ini ia tak habis pikir pada sang istri yang sama sekali tidak peduli. Bahkan wanita itu kabur meninggalkan rumah dan keluarganya. Entah apa yang dipikirkan wanita itu. Pak RT merasa keluarganya selama ini begitu harmonis. Dirinya selalu menutup telinga dari perbincangan orang sekitar mengenai sikap istrinya di luar rumah.“Saya harus mencari kemana lagi, Kyai? Saya khawatir Sarah nekat melakukan hal membahayakan.” Pak RT mencoba meminta pendapat seseorang yang dianggapnya tetua itu. Berkali-kali ia mengusap wajahnya. Peluh mulai membanjiri. Air muka Kyai Subki begitu tenang dan teduh mendengarkan keluh kesah lelaki yang menjabat perangkat kampung itu.“Kita tetap akan melapor pada polisi. Tapi tenangkanlah dirimu, Roji. Dalam kondisi panik, kita tidak akan bisa berpikir jernih,” nasihat Kyai