"Ikuti saja kemauan kakakku."
Satu kalimat itu hampir membuat jantung Arga copot, tapi dia tak mau berlama-lama ada di sini.
Arga sekarang yakin apa yang dikatakan beberapa pelayan selama ini mengenai Maria itu– benar adanya. Nona muda ini sangat menakutkan!
"Baik Nona, kalau begitu saya permisi dulu," pamitnya lagi.
Arga pun buru-buru keluar dari perpustakaan tersebut.
Lalu, ia kembali menemui Tuan Askara untuk menceritakan semuanya.
Setelah menekankan pada Tuan Askara kalau dirinya terpaksa akan menerima tawaran ini, Arga pun memilih kembali ke kontrakannya.
Namun, matanya membulat sempurna ketika tiba di kontrakannya!
Orang yang tadi dia temui di Mall, sedang menunggu kedatangannya.
"Apalagi sih maunya mereka?" gumam Arga kesal.
Arga segera memarkirkan motor buntutnya di depan kontrakannya, lalu menghampiri orang-orang itu.
"Apalagi yang kalian inginkan?!" seru Arga dengan raut wajah masam.
Seharian ini, dia sangat lelah.
Ditambah dengan kedatangan orang-orang ini, tentunya akan membuat hati Arga semakin memanas.
"Papa yakin kau adalah anak Papa yang hilang," ucap Gavin yang kembali membuat kepala Arga pusing.
"Sudah saya katakan, Tuan. Kita hanya kebetulan mirip,” ucap Arga, “Berapa artis Ibukota yang mirip dengan orang biasa? Contohnya, Rapi Ahmed sama Dimes Romadon. Tapi, apa mereka sedarah?”
“Begitu juga yang terjadi dengan kita, Tuan. Jadi, jangan pernah berpikir saya yang orang miskin adalah anak anda," tambah Arga menahan kesal.
"Kalung yang kau gunakan itu adalah kalung yang sama–yang digunakan oleh anakku ketika dia diculik. Dalam kalung itu terukir namaku, namamu dan juga nama Mamamu," ucap pria itu mendadak.
Arga refleks menyentuh kalungnya.
Dia mengingat ada tiga nama di sana.
"Kalung itu sama persis seperti punyaku dan juga almarhum istriku, nama Arga adalah gabungan dari nama kami berdua, Ardila dan Gavin," ucap Tuan Gavin Dewantara.
Jantung Arga seakan berhenti berdetak.
Memang benar tulisan dalam kalung itu adalah Ardila, Gavin, dan Arga.
Selama ini, dia pun bingung karena kedua orang tuanya di kampung tidak satupun memiliki nama sesuai dengan yang ada dalam kalung itu. Namun, ia tak berani bertanya.
Perlahan, Tuan Gavin menyerahkan dua kalung itu kepada Arga untuk bisa dicek kebenarannya.
Arga pun membuka liontin kalung itu dengan tangan gemetar.
Benar saja, tulisannya sama seperti miliknya.
"Tidak! Ini pasti bohong. Ayah dan ibuku ada di kampung, mereka hanya seorang petani," ucap Arga dengan nada bergetar.
Tuan Gavin menggelengkan kepala, sedih.
"Arga kecil kami diculik saat dia sedang bermain di taman bersama almarhum istriku. Dan, istriku dibunuh saat itu juga.”
Mata Tuan Gavin berkaca-kaca.
“Dari kalung yang kau gunakan, serta kemiripan wajah kita, itu adalah suatu bukti kalau saya Papa kandungmu, dan kau anak yang selama puluhan tahun kami cari. Papa mohon pulanglah," ucapnya lagi.
"Lelucon macam apa ini? Mungkin, ini hanya kebetulan saja?" jawab Arga menolak fakta yang ada.
Ia merasa hidupnya seperti roller coaster saat ini. Padahal, ia benci kejutan berlebihan.
"Kalau begitu,” ucap Tuan Gavin, “jalan terakhir yang harus kita tempuh adalah tes DNA."
Deg!
Seketika, Arga menjadi gugup.
Dia bingung harus seperti apa karena selama ini yang dia tahu Ibu Yuli dan Pak Imam itu adalah orang tuanya.
"Kita temui orang tuamu, untuk mencari kepastian, sembari menunggu hasil tes DNA," tambah Tuan Gavin lagi.
Kaki Arga seketika lemas.
Dia bahkan terpaksa duduk di kursi yang sudah lapuk di depan kontrakannya.
Entah dia harus lega atau sedih? Yang jelas, perasaannya campur aduk.
"Saya mohon Anda ikut kami ke rumah sakit untuk melakukan tes DNA. Kami akan mengabulkan apapun permintaan Anda asal anda mau ikut kami ke rumah sakit," ucap asisten Tuan Gavin menimpali sang atasan.
Mendengar kata apa pun, tiba-tiba terbesit ide dalam diri Arga untuk memanfaatkan keadaan. Ia lantas menatap ke arah pria itu.
"Apa Paman yakin akan mengabulkan semua permintaanku?” tanya Arga penasaran, “maksudku, kalau saya mau melakukan tes DNA?"
"Benar Tuan, apapun itu. Paman janji akan mengabulkannya," ucap asisten Tuan Gavin penuh kepastian.
Arga terdiam.
Ia pun berbisik kepada pria paruh baya itu untuk meminta uang sebesar dua miliar. Meski Arga yakin orang ini tidak akan mengabulkannya, entah kenapa jantungnya masih berdetak kencang.
Hanya saja, di luar dugaan, jawaban yang diterima Arga sungguh luar biasa mengejutkan!
"Dalam waktu 10 menit, saya akan siapkan uang tunai sebesar dua miliar rupiah untuk Anda, sekarang ikutlah dengan kami ke rumah sakit," pinta sang asisten sekali lagi.
"Benarkah itu? Paman akan memberiku uang sebanyak itu?" tanya Arga kaget menatap wajah pria yang mengakui sebagai ayahnya.
"Tentu saja, Nak. Apapun yang kau mau, akan Papa berikan. Lagi pula, dua miliar bukanlah nominal yang sangat besar karena kaulah satu-satunya pewaris keluarga Dewantara," tegas Tuan Gavin.
Arga pun mengangguk meski situasi ini di luar nalarnya.
"Baiklah. Setelah melakukan tes DNA, saya mau uang tunai itu sudah harus ada karena saya sangat membutuhkannya. Kita akan bertemu lagi setelah hasil tes DNA itu keluar," jawab Arga cepat.
Ia tidak mau orang-orang ini membatalkan niatnya untuk memberikannya uang sebesar dua miliar. Dengan tes ini, setidaknya Arga tidak perlu menikahi Maria.
Mereka pun menuju ke rumah sakit untuk melakukan tes DNA.
******
Esok paginya, Arga sudah tiba di kediaman keluarga Askara.
Dia harus segera menemui Tuan Askara.
"Ada apa kau pagi-pagi ingin menemuiku?" tanya Tuan Askara malas.
"Saya membawa uang ganti rugi sebesar dua miliar," ucap Arga, lalu menyerahkan uang tunai yang berada dalam tas kepada Tuan Askara.
Tuan Askara tertawa mengejek. "Hahahaha….Apaaaaaaa?"
"Kau punya uang dua miliar? Jangan bercanda kau Arga," ucapnya lagi
"Benar Tuan. Ini uangnya Anda bisa hitung jumlahnya," sahut Arga cepat. Ia tak peduli respons atasannya itu.
Seketika, tawa Tuan Askara terhenti. Ia pun menatap tajam Arga. "Dari mana kau bisa mendapatkan uang sebanyak ini?"
"Yang jelas, ini bukan uang haram. Orang tua saya terpaksa menggadaikan tanahnya di kampung untuk bisa memberikan saya uang sebagai ganti rugi atas kesalahan yang saya lakukan, sekaligus saya ingin berpamitan. Saya akan kembali ke kampung," jawab Arga tenang.
Mendengar itu, Tuan Askara mengepalkan tangannya.
Ternyata, Arga benar-benar tidak mau menikahi adiknya.
Apa ini sebagai pertanda kalau dirinyalah yang harus menikah lagi? Atau, mereka terpaksa tidak memiliki keturunan dari keluarga Askara? pikirnya bingung.
"Aku masih tidak percaya kau bisa menyiapkan uang sebanyak ini dalam waktu kurang dari satu hari," ujarnya menguji Arga lagi.
Namun, Arga tak terpengaruh. Dengan lugas, ia menjawab, “Tenang saja, Tuan. Uang ini uang halal, jadi setidaknya saya terlepas dari tuntutan Anda untuk menikahi Nona Maria."
"Apa karena aku seorang gadis yang dianggap memiliki kelainan mental hingga membuatmu tidak berani menikahiku?"
Suara Maria dari lantai dua membuat Arga dan Tuan Askara tersentak kaget.
"Kau sudah melamarku kemarin dan memintaku untuk menjadi istrimu, aku mau kau menikahiku hari ini juga," ucap Maria dengan nada mendominasi.
Kedua pria itu tersentak kaget.
Namun, perlahan Tuan Askara tersenyum penuh kemenangan.
Nasib baik ternyata masih berpihak padanya. Dia yakin saat ini Arga tidak memiliki kekuatan untuk menolak permintaan sang adik.
Terlebih, mendengar ucapan Maria selanjutnya yang membuat jantung siapapun dapat berdetak kencang. "Kalau kau laki-laki sejati, nikahi aku hari ini juga, tepati ucapanmu."
"Kau dengar sendiri kan apa yang dikatakan adikku? Kau bahkan sudah memintanya untuk menjadi istrimu, sekarang dengan gampangnya membatalkan semua yang sudah kami rencanakan," ujar Tuan Askara."Bukan begitu maksud saya, Tuan," ucap Arga berusaha menjelaskan diri."Ck!" Tuan Askara berdecak malas, "asal kau tahu saja, bahkan aku sudah mempersiapkan pernikahan kalian." "Tapi---"Arga tak melanjutkan ucapannya begitu melihat atasannya menatap tajam dirinya.Pandangan Arga lantas tertuju pada Maria yang berada di lantai dua. Netra pekat keduanya bertemu--saling tatap satu sama lain.Arga tak menyangka wanita ini bisa berbicara lantang. Dia pikir, Maria benar-benar tidak bisa berkomunikasi secara normal. Nyatanya, sekarang Maria paham apa yang sedang dia ributkan di bawah dengan Tuan Askara."Apa yang harus aku lakukan sekarang," gumam Arga di dalam hati.Dia benar-benar bimbang untuk mengambil keputusan."Aku tidak mau menerima uangmu ini karena aku yakin, uang ini tidak halal," tuduhn
"Baiklah Tuan, saya siap menikah dengan Nona Maria," ucap Arga mantap.Semua ini dia lakukan hanya demi membantu Maria untuk bisa hidup normal seperti orang kebanyakan.Tuan Askara tersenyum puas."Bagus! Memang harusnya kau memenuhi keinginanku, karena selama ini aku sudah memperkerjakanmu di sini dengan sangat baik. Malam ini, kau akan menikah dengan Maria, tapi hanya dihadiri oleh beberapa orang saja." "Pernikahannya tertutup! Dan siang ini, kau harus ikut denganku ke kantor pengacaraku," ucap Tuan Askara panjang lebar."Ke kantor pengacara?" Arga dibuat bingung oleh permintaan bosnya ini."Tentu saja kau harus ikut denganku ke kantor Pak Bima, pengacaraku. Kita harus membuat kontrak pernikahan sebelum pernikahan itu benar-benar terjadi," ucap Tuan Askara dengan enteng.Hal ini jelas membuat Arga tersentak kaget. "Maksud Anda bagaimana, Tuan?" "Iyalah! Kau harus menandatangani surat kontrak pernikahan. Mana tahu, di tengah jalan kau mengingkarinya, atau ketika anakmu lahir, terny
"Enam?" tanya Pak Bima melihat berkasnya kembali.Dalam poin itu tertulis bahwa Arga baru boleh pergi dari kehidupan keluarga Askara setelah dirinya berhasil memberikan satu orang anak laki-laki.[ Bila anak pertama, kedua, dan ketiga perempuan, maka itu menjadi tanggung jawab Arga. ][ Karena Tuan Askara hanya menginginkan anak laki-laki, dan setelah yang diinginkan terwujud Arga beserta anak perempuannya, harus pergi dari kediaman Askara tanpa mengajak Maria.]Ini seakan Arga adalah sapi jantan yang harus siap membuahi demi keinginan majikannya!"Bagaimana Tuan?" tanya Pak Bima kepada Tuan Askara."Biarkan saja seperti itu Pak Bima. Dia tidak punya kesempatan untuk mengatakan kalau dirinya tidak setuju, semua sudah menjadi keputusan saya!" serunya.Pak Bima pun mengangguk. "Ya sudah, kalau seperti itu silahkan tanda tangani Arga," ucap Pak Bima dengan penuh wibawa.Sejujurnya, pengacara itu pun sangat kasihan pada sopir pribadi Tuan Askara ini. Siapa pun dapat melihat bahwa Arga pa
"Nona tidurlah di ranjang. Saya akan tidur di sofa. Saya tidak akan memaksa Anda kalau Anda belum siap Nona," ucap Arga dengan tatapan keraguan.Setelah pernikahan ekpress itu, kini keduanya berada di dalam kamar dengan status pengantin baru.Maria lantas menatap lekat wajah Arga. 'Sepertinya, pria ini tidak jahat,' pikirnya. Perempuan itu pun tersenyum dan berucap pelan, "Terima kasih." Seketika Arga merasa iba dengan calon istrinya itu. Perlahan, ia pun tersenyum. "Anda jangan takut, Nona. Saya tidak akan menyakiti Anda. Saya akan menjaga Anda dengan sangat baik. Maaf kalau saya belum bisa membawa Anda pergi dari rumah ini karena Tuan Askara tidak mengizinkan kita pergi," ucap Arga.Maria mengangguk lemah, wanita itu pun memilih untuk masuk ke dalam selimut, sedang Arga menuju ke sofa. Tubuhnya sudah sangat lelah dengan drama hari ini.****Esok harinya, Arga yang sudah rapi bersiap untuk menjalankan aktivitasnya.Namun, dia dibuat kaget karena ada orang asing di rumah itu, dan s
Setelah menyelesaikan urusannya dengan pria yang "ternyata" merupakan Papa kandungnya, kini Arga pun kembali ke kediaman keluarga Askara. Rencananya, ia akan meminta izin kepada sang majikan, sekaligus kakak ipar tersebut untuk diizinkan pulang menemui kedua orang tuanya.Meski sudah melihat video pengakuan keduanya, Arga merasa harus bertemu langsung dengan kedua orang tua itu dan mendengarnya secara langsung mengenai rahasia ini.Entah mengapa, alam bawah sadar Arga masih menolak fakta yang ada. Namun, begitu tiba di kediaman keluarga Askara, ia justru disambut oleh sang kepala pelayan dengan wajah penuh rasa khawatir."Kau lagi ngapain sih di luaran sana? Kenapa lama sekali angkat telepon dari Nyonya? Beliau sampai lelah menghubungimu!""Aku tadi ada urusan, Bi. Lagi pula, aku sudah dipecat. Kira-kira disuruh ngapain ya, Bi?" tanya Arga.Ia tak habis pikir mengapa wanita super sombong itu masih membutuhkannya sampai memarahi mantan atasannya ini.Bukankah baru tadi pagi dirinya d
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Kini, genap dua bulan sudah Arga menjadi suami dari Maria. Hanya saja, sampai detik ini, Arga belum berani menyentuh istrinya itu. Entah mengapa pria itu, khawatir dalam prosesnya akan menyakiti Maria. Jadi, Arga lebih memilih setiap hari dimaki-maki oleh Tuan Askara yang mulai menganggapnya "tidak mampu" memberi keturunan di keluarga itu.Dalam periode yang sama, Arga juga sudah sempat pulang ke kampung halamannya untuk mengonfirmasi pada kedua orangtua angkatnya mengenai jati diri Arga yang sebenarnya.Mereka pun menceritakan semua yang terjadi, sehingga Arga harus menerima fakta kalau dirinya memang benar-benar keturunan dari keluarga Dewantara.Namun, Arga tidak bisa melupakan jasa kedua orang tua angkatnya itu. Jadi, pria juga meminta pengertian Gavin Dewantara sebagai Papa Kandungnya untuk membiarkan pria itu tetap menganggap mereka sebagai orang tuanya juga. Dan hari ini .... Tuan Gavin Dewantara kembali ke Indonesia hanya untu
"Kalau benar seperti yang dikatakan oleh istriku, maka aku tak segan-segan akan membunuhmu karena sudah mencoba mempermainkanku!" seru Tuan Askara penuh penekanan."Itu semua tidak benar Nyonya," jawab Arga.Ia sangat kesal pada wanita bermulut kejam ini, yang selalu menganggap orang miskin seperti penyakit yang bisa menular kepadanya."Mana mungkin ada maling ngaku, kau keenakan kan tinggal di tempat ini? Kau pikir kami tidak tahu rencana licikmu huh? Kau selalu saja membuat alasan agar tetap bisa berada di sini," ucap sang nyonya lagi.Arga mengepalkan tangan, menahan emosi. Ia benar-benar tak habis pikir apa sebenarnya maunya wanita ini. "Kalau memang Tuan dan Nyonya mengizinkan saya untuk tinggal di tempat lain, dengan senang hati akan saya lakukan agar saya tidak sampai minta makan di sini, bahkan asal anda tahu saja selama saya tinggal di sini dan menikahi Nona Maria." "Saya baru tiga kali minta makan di kediaman Anda. Selebihnya, saya selalu membeli makanan secara online, dan
Arga menghela nafas kasar lalu menuju ke dalam kamarnya. Ia berniat untuk berbicara dengan Maria. Siapa tahu, istrinya mau diajak pergi dari rumah ini olehnya.Namun, setelah tiba di dalam kamar, Arga tak menemukan Maria di sana."Ke mana dia? Apa mungkin dia di perpustakaan?" tanya Arga pada diri sendiri, "aku mandi dulu deh," gumamnya lagi.Lalu, ia pun masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian rumahan.Hanya saja, Maria belum juga kembali ke kamar."Apa Maria ke perpusatakaan?" gumamnya. Tak menunggu lama, pria itu pun berjalan menuju ke ruang perpustakaan.Hanya saja, saat Arga hendak membuka handle pintu, ia mendengar suara bentakan dari dalam ruang perpustakaan. "Kau hanya seorang gadis yang memiliki penyakit kelainan mental, bisa dibilang Kau adalah orang gila yang saat ini masih berusaha dirawat di rumah oleh kakakmu! Jangan banyak tingkah, karena aku yakin kau dan kakakmu lah yang mandul!"Suara itu terdengar begitu menyakitkan di telinga Arg