Kinanti tidak bisa menahan rasa harunya. Memangnya siapa yang tidak terharu, diberi hadiah sebuah kalung dengan hiasan batu safir dari merk ternama? Tapi yang terjadi pada Kinanti, bukan tentang perhiasannya. Melainkan siapa yang memberikan itu. Kinanti menatap Damar dengan mata yang berkaca. “Ini—berlebihan nggak sih, Mas?”“No,” kata Damar. “Ini sudah sangat cocok buat kamu, Sayang. Aku sengaja siapkan ini, dan kebetulan temanku di sana ada kenalan dengan designer ini.”Kinanti melipat bibirnya ke dalam. Perempuan itu menahan gejolak yang ada dalam dirinya.Rasa ingin menghambur ke pelukan Damar, begitu menggebu. Namun setengah mati ia tahan.Mengingat status dan hubungannya yang masih belum jelas dengan pria itu.Apakah ini saatnya ia meminta kejelasan dalam hubungan mereka?Damar beranjak dari duduknya, kemudian berjalan dan berdiri di belakang Kinanti.Pria itu meraih kalung itu, kemudian sedikit menyibakkan rambut Kinanti ke samping. Lalu mulai memakaikan benda itu di leher Ki
Tiba di kediaman keluarga Damar, mobil yang membawa mereka berhenti.Aidan langsung turun dari mobil, dan sigap membantu untuk membawakan barang-barang milik sang bos dan juga putrinya.Sementara di ambang pintu, Bu Mustika dan sang suami sudah menunggu kedatangan mereka semua.Wanita baya itu tersenyum, dan langsung memeluk cucu semata wayangnya.“Ya ampun, Cucu Eyang!” Bu Mustika menciumi seluruh sisi wajah sang cucu yang begitu dirindukannya itu.Sementara itu, Kinanti masih s etia berdiri di samping Damar. Pria itu sejak tadi terus menggenggam jemarinya. Bahkan tak sungkan, pria tampan itu mencium punggung tangan Kinanti.“Ekhem!” Pak Agung Soemitro—ayah Damar berdehem keras. Tujuannya jelas menyindir putranya yang sejak tadi bucin tidak ingat tempat dan waktu.Dan yang disindir jelas tidak peka sama sekali. Damar tetap menggenggam jemarinya.Sedangkan Kinanti tersenyum canggung. Menyadari jika sejak tadi dirinya menjadi pusat perhatian.Maka perempuan cantik itu pun berusaha untu
Kinanti tanpa sadar melonggarkan pelukannya kepada Ola. Ia menatap wanita yang baru saja datang itu. Perempuan itu tersenyum manis sekali, kemudian menatap ke arah Aidan. “Tolong bawakan koper saya sekalian juga ya, Dan?” pintanya. Sementara Aidan menatap sang bos, yang hanya menunjukkan ekspresi datar. Rasanya simalakama sekali, berada di tengah-tengah orang yang tidak disukai oleh bosnya. Bukan apa-apa, masalahnya barang bawaan sang bos saja sudah banyak. Lalu Aidan ketambahan harus membawa barang milik Mega juga? Kalau begini ceritanya, Aidan seperti ingin meminta bantuan Squidward yang punya banyak tangan. Tapi mana mau, Mega mengerti? Satu-satunya orang yang bisa menegur wanita itu, ya hanya bosnya saja. Lagian kenapa pula wanita itu ikut, sih? Mengerti dengan keberatan sang asisten, akhirnya Damar yang angkat bicara. “Jangan merepotkan Aidan, dia sudah banyak barang bawaan,” kata Damar—dingin.“Ya ampun Mas, cuma nitip satu koper aja masa nggak bisa?” kata Mega, sedikit
Kinanti tengah mematut dirinya di depan cermin. Sejak tadi, perempuan itu tak henti-hentinya mengulas senyum. Hari ini rencananya ia akan pergi ke bandara, untuk menjemput Damar dan juga putrinya. Kemungkinan mereka akan tiba di bandara sekitar pukul 10 pagi. Dan sekarang sudah pukul 8, Kinanti sedang bersiap untuk pergi ke bandara, dan menunggu Aidan datang menjemputnya. Perempuan it tersenyum saat menyemprotkan parfum ke beberapa titik, seperti leher dan juga pergelangan tangan.Dan tak berapa lama kemudian ponselnya berdenting, ada satu pesan masuk dari Aidan.[Saya sudah di depan kos ibu]Kinanti mencebik saat membaca pesan itu. “Udah dibilang, jangan panggil ibu. Masih aja!”Kemudian perempuan itu mengambil tas yang sudah ia siapkan sejak semalam, lalu beranjak dari duduknya.Saat membuka pintu ia heran dengan mobil yang dibawa oleh Aidan. Ini bukan mobil Damar, karena biasanya pria itu menggunakan sedan, tapi kali ini mobil yang dibawa oleh Aidan itu jenis mobil SUV. Yang ar
Hari ini adalah, hari di mana Damar dan juga putrinya bertolak ke Indonesia. Urusan mereka di Inggris sudah selesai. Hal yang ingin sekali pria itu lakukan adalah, menemui Kinanti. Rasanya sudah teramat rindu dengan perempuan itu. Begitu pula dengan Ola, sang putri. Gadis cilik itu rupanya sudah menyiapkan banyak buah tangan untuk Kinanti. Damar tersenyum lembut, kemudian ia membelai kepala gadis kecil itu. “Sudah siap semua?” tanya Damar pelan. Ola mengangguk mantap. “Sudah, Pa!” serunya. “Oleh-oleh buat Tante Kinan, juga sudah?” lagi, Damar bertanya. “Sudah, Papa,” jawab gadis kecil itu dengan senyuman lebar, yang menghiasi wajah cantiknya. “Kalau Papa, bawa apa untuk Tante Kinan?” tanyanya. Lagi, Damar tersenyum. “Ada, dan itu rahasia.”“Ih, Papa curang!” seru Ola. Damar tertawa, kemudian ia menggelitiki putrinya karena gemas. Mereka tertawa bersama di dalam kamar itu. Sementara di luar kamar, Mega mendenhar obrolan pasangan ayah dan anak itu. Hatinya panas, karena terbak
“Aku nggak mau!” seru Ola.Mega menghela napas, wanita itu berusaha untuk mengais sisa-sisa kesabarannya. Menghadapi keponakannya yang memang sejak dulu, tidak pernah dekat dengannya.Dan pada dasarnya memang Mega tidak pernah menyukai anak-anak. Bagi wanita itu, mereka sangat merepotkan.Ya, contohnya si Ola ini.Kalau bukan karena ingin mendekati Damar, mana mau Mega bersusah payah mendekatkan diri dengan Ola?Lebih baik ia habiskan saja waktunya di salon atau di kedai kopi.“Memangnya Ola nggak mau jalan-jalan, mumpung masih di sini?” tanya Mega. “Tante bisa ajak Ola, ke tempat favorit Mama Wulan. Hm?”Gadis kecil itu menatap Mega, matanya menyiratkan banyak tanya, tapi masih ada keraguan di sana.Mega tersenyum tipis. “Mama Wulan dulu juga suka pergi ke taman yang ada di dekat sini. Di sana ada banyak sekali bunga mawar, favorit Mama Wulan. Gimana?”Ola masih terdiam, berusaha untuk menimang tawaran Mega.Gadis cilik itu tidak menyukai sang tante, tapi ia juga penasaran dengan apa