MasukRaden Damar Soemitro, duda beranak satu, dipaksa orangtuanya menikah kembali. Dia bahkan dijodohkan dengan adik mendiang istrinya. Frustrasi, ia menawarkan kerjasama pura-pura pacaran pada mahasiswinya, Kinanti, yang kebetulan ingin pamer pada mantannya. Meski awalnya kaget, Kinanti setuju dengan kontrak enam bulan itu. Lantas, bagaimana kisah keduanya? Telebih, cinta perlahan tumbuh di tengah masa kontrak tanpa mereka sadari....
Lihat lebih banyak“Kapan sih, kamu mau menikah?!” pertanyaan itu sekonyong-konyong datang, saat seorang pria berusia tiga puluh empat tahun, baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumah.
Damar yang terlihat sudah lelah setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, dan ingin segera bertemu dengan putri kecilnya. Malah disambut dengan sebuah pertanyaan—yang bahkan ia sendiri sudah terlalu muak untuk menjawabnya.
Pria itu bergeming menatap sang ibu. Tidak ada niatan untuk membalas pertanyaan itu, karena ia sudah tahu jika hal itu tidak akan berakhir dengan satu pertanyaan jika dia menjawabnya.
“Damar …!” Bu Mustika menatap putranya lurus. “Kamu dengar Ibu nggak, sih?!” tanyanya dengan nada frustasi.
“Dengar Bu,” jawab Damar pelan mengalah. Kemudian ia duduk di salah satu sofa single di seberang sisi sang ibu berdiri, sambil melonggarkan dasinya dan melepas kancing lengannya serta menggulung lengan bajunya itu hingga ke siku.
“Ya terus kapan?” Bu Mustika ikut mengambil duduk, di sofa panjang dekat dengan tempat duduk Damar. “Kapan kamu nikah, Damar?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.
Menghela napas pelan, Damar menatap ibunya. “Aku kan sudah menikah, Bu? Apa Ibu lupa, kalau aku sudah punya istri?”
“Damar …” Bu Mustika tidak bisa berkata-kata, dia tidak menyangka dengan apa yang dipikirkan oleh anak semata wayangnya itu.
“Bu, aku sudah bukan anak kecil lagi! Aku cuma mau hidup bersama anakku. Aku nggak perlu untuk menikah lagi, karena aku sudah merasa cukup!” Damar mencoba meredam suaranya yang hampir meninggi.
Kini giliran sang ibu yang menghela napas. Rasanya sudah lelah sekali, menyuruh putranya itu untuk menikah. Entah apa yang membuat anaknya itu sulit untuk membuka hati bagi wanita lain.
Damar menyentuh punggung tangan sang ibu. “Sudah ya? Ibu nggak perlu khawatir lagi. Aku sudah bisa urus diri aku sendiri dan anak aku.”
“Kamu benar-benar keras kepala, Damar!” teriak Bu Mustika kesal.
“Bu—,” Damar mencoba menenangkan sang ibu.
“Ibu dan Bapakmu itu sudah tua, Damar. Setiap hari kami selalu memikirkan nasibmu dan juga anakmu. Bagaimana kalau kami sudah nggak ada, siapa yang bakal merawat kamu? Merawat anak kamu?!” ungkap Bu Mustika dengan sepenuh hati.
Damar terdiam, inginnya mengumpat tapi ia tahan. Sudah lelah bekerja seharian penuh, dan masih harus menghadapi ibunya yang lagi-lagi menanyakan hal yang sama—berulang kali.
“Sudah lima tahun berlalu, dan kamu masih betah menyendiri. Apa kamu tidak iri dengan teman-teman kamu?! Mereka semua sudah memiliki pasangan. Sedangkan kamu?”
Damar kembali menghembuskan napas kasar. “Aku juga sudah punya pasangan Bu!” sanggah Damar, yang membuat Bu Mustika menatap nanar ke arah sang anak.
“Astaga,” Bu Mustika menunduk. Kepalanya mendadak pening sekali. “Ini sudah lima tahun Damar. Kamu nggak seharusnya terus menerus berkabung. Istrimu juga di sana pasti akan mengerti, kalau kamu butuh seorang pendamping!”
“Ibu!” pekik Damar yang tidak suka dengan ucapan sang ibu.
“Kenapa? Yang Ibu katakan itu memang benar!” tantang Bu Mustika untuk menyadarkan anaknya.
“Damar lelah, Bu!” ucap Damar berusaha mengakhiri perdebatan itu.
“Ibu jauh lebih lelah, Damar. Apa kamu nggak memikirkan orang tua dan anak kamu? Mau sampai kapan kamu begini terus, Damar?” tanya Bu Mustika dengan suara tercekat.
Damar mengusap wajahnya menggunakan tangan kanannya. Rasa lelahnya kini bertambah menjadi dua kali lipat.
“Damar …,” Bu Mustika memegang lengan putranya. “Kalau kamu memang nggak mau melakukan ini demi Ibu, maka lakukanlah demi anakmu!”
“Bu, kami baik-baik saja. Hidup kami juga berjalan seperti biasanya. Ibu nggak perlu mengkhawatirkan apapun lagi, sekalipun aku memutuskan untuk tidak menikah lagi!” jawab Damar tegas, seakan tidak ada yang bisa merubah keputusannya.
“Tapi—”
“Sudah ya Bu, Damar ke kamar dulu!”
Pria itu memilih untuk beranjak dari duduknya, dan meninggalkan sang ibu. Ia tidak ingin terus menerus memperdebatkan hal yang sama dengan ibunya.
***
Di dalam kamarnya, Damar duduk di tepi ranjang. Ia menatap ranjang berukuran king size itu dengan nanar. Rasanya memang kosong dan hampa.
Hidupnya kini hanya ia pusatkan kepada putrinya saja. Damar merasa tidak ada salahnya hidup menduda, selama tidak merugikan orang lain.
Lagi pula, pintu hati Damar sudah tertutup untuk wanita manapun. Ia tidak ingin menyakiti hati perempuan lain, dengan masih menyimpan perasaan untuk mendiang sang istri.
Pria itu mengambil sebuah bingkai foto yang ada di atas nakas. Foto itu adalah, foto pertama yang ia ambil bersama mendiang istrinya. Saat itu mereka baru saja meresmikan hubungan mereka.
Damar mengusap gambar wanita yang sedang tersenyum cantik ke arah kamera. Dengan senyum getir, Damar menatap ke arah mata yang terlihat penuh cinta itu.
“Aku nggak harus nikah lagi kan, Sayang?” gumamnya lirih. “Aku cuma mau sehidup semati sama kamu. Anak kita juga baik-baik saja selama ini.”
“Kenapa semua orang menyuruhku untuk menikah? Nggak ada yang salah kan, kalau aku tetap seperti ini, sampai Tuhan menakdirkan kita untuk bertemu lagi? Iya kan, Sayang?”
Mata Damar mulai berkabut. Ada gejolak yang membuatnya semakin mendekap erat bingkai foto itu.
“Apa kamu nggak bisa balik lagi ke sini, Sayang? Temani aku dan anak kita. Kami sangat merindukan kamu. Terutama aku.”
Begitulah seorang Raden Damar Soemitro, yang selalu mengagungkan cintanya hanya untuk mendiang sang istri.
***
“Besok kamu kelas pagi?” tanya Damar, saat dalam perjalanan mengantar Kinanti pulang ke kosnya.“Jam 8 sih, Mas,” jawab perempuan cantik itu. “Mas besok ada jadwal di kampus juga?” tanyanya.“Ada, tapi cuma sebentar. Paling cuma sampai jam 10,” pria itu menjawab pelan. Fokusnya masih pada kemudi, meski sesekali ia melirik sang kekasih yang duduk di sampingnya. “Kamu nanti kabari saja selesai jam berapa, biar Aidan yang jemput kamu,” lanjutnya lagi.Kinanti yang tengah bermain ponsel, mengalihkan pandangannya sejenak. “Mas … nggak bisa jemput, ya?” tanyanya.“Iya,” Damar mengangguk kecil. “Aku harus cek berkas, dan juga ada lunch bareng klien siangnya.”Kinanti mengangguk-angguk paham. Ia tidak masalah dengan hal itu, dan mengerti akan kesibukan sang kekasih.Karena hanya diam, Damar melirik Kinanti. Ia khawatir, perempuan itu akan marah dengannya karena berhalangan untuk menjemput.“Ini … kamu nggak apa-apa kan, Sayang? bukan lagi ngambek?” tanya pria itu.“Hah?” kening Kinanti berker
Rangga ikut bangkit, saat wanita di depannya juga bangkit. Dengan gerakan seolah tanpa disengaja, ia sedikit menabrak wanita itu, hingga minumannya tumpah dan mengenai tas wanita itu. “Oh, maaf,” kata Rangga pelan. “Saya tidak sengaja. Saya bantu bersihkan?” tawarnya. Wanita itu mendongak menatap Rangga, yang kini tengah tersenyum manis padanya. Namun di balik itu semua, ia justru penasaran dengan tatapan Rangga, yang sepertinya menyimpan sesuatu. Maka wanita itu pun mengangguk kecil, menerima ajakan Rangga. Mereka keluar dari tempat itu, tentu saja dengan gerakan yang tidak sampai mencuri perhatian siapapun—terutama Damar dan Kinanti. Begitu merasa berada di tempat yang aman, barulah Mega melontarkan pertanyaan. “Kenapa kamu bawa saya ke sini? kita nggak saling kenal, kan?” tanyanya. Alih-alih langsung menjawab, Rangga justru tersenyum kecil. Ia kembali melihat sekitar, memastikan sekali lagi, jika mereka betul-betul sudah aman. “Kita memang nggak saling kenal,tapi saya yakin
“Udah lah, ikhlasin aja itu si Kinanti.”Kalimat itu berasal dari salah seorang sahabat Rangga. Tentu saja, membuat pemuda itu langsung menoleh, dan memberikan tatapan tajamnya. “Ikhlasin?” ulang Rangga. “Enak aja, gue susah payah dapatkan dia. Masa ujungnya dia sama orang tua itu?”Kedua sahabat Rangga saling melempar pandangan. Mereka merasa, jika Rangga ini sepertinya sudah gila. Masalahnya, penyebab putusnya hubungan Rangga dan Kinanti, ya karena ulah pemuda itu sendiri. Dan sekarang, tiba-tiba merasa tak senang, Kinanti berhubungan dengan laki-laki lain. Aneh betul memang si Rangga ini. “Ya, lo juga bego, anjir!” salah satu teman Rangga yang lain, ikut menyahut. “Udah tahu susah dapatinnya, malah selingkuh. Kan, goblok!”Rangga berdecak kesal. Apalagi jika diingatkan kembali, tentang alasan hubungannya dengan Kinanti berakhir.Ya, memang betul salah dirinya, tapi bisakah untuk tidak mengingatkannya? Rangga paham betul, jika dirinya salah. Tapi tetap saja ia tidak mau mengak
Rangga tersenyum miring, menatap pria yang ada di hadapannya. Meski begitu, dalam hatinya mengumpati pria itu—Damar.Bisa-bisanya, pria yang dari segi usia saja, jauh di atasnya. Apalagi dari segi status. Jelas Rangga lebih unggul. Rangga lebih muda, dan mungkin hanya satu tahun di atas Kinanti. Secara status jelas, ia adalah seorang pria lajang—lebih tepatnya bujangan. Sedangkan Damar? pria itu dilihat dari perbedaan usia saja, jauh di atas Kinanti. Dan lagi, pria itu berstatus duda dengan satu anak. Artinya, sangat tidak cocok dengan Kinanti, yang masih gadis. Meski dari segi finansial, Damar jelas jauh lebih unggul dibanding Rangga. Tapi tetap saja, itu semua tidak bisa menjadi landasan untuk keduanya menjalin hubungan asmara. Apalagi mengingat Damar yang juga berprofesi sebagai dosen, di kampus yang sama dengannya. Rasanya sangat tidak etis, jika ada hubungan asmara antara mahasiswi dan dosennya. Dan Rangga sangat yakin, jika ada sesuatu yang mendasari hubungan mereka. Kare
“Kangen nggak sama Tante?” Kinanti tersenyum lembut, kepada gadis kecil yang sejak tadi memeluk lehernya. “Kangen!” sahut gadis cilik itu. Matanya berbinar, saat menatap Kinanti. “Tante jarang banget main ke sini. Kan, Ola jadi kangen?” Kinanti tertawa kecil, saat melihat wajah Ola yang sedikit memberengut. Ditambah lagi, bibir gadis kecil itu yang sedikit mengerucut dengan pipi yang menggembung. Sangat menggemaskan! Dan Kinanti tidak tahan, untuk tidak mencium pipi Ola. “Aduh, anak Tante gemesin banget, sih?” kata perempuan itu. “Maaf, ya? akhir-akhir ini Tante memang lagi sibuk banget di kampus. Kuliah Tante lagi banyak tugas.”Ola menghela napas pelan. “Tapi hari ini kita beneran main kan, Tante?” tanyanya. “Iya, dong,” Kinanti mencubit pelan. “Pokoknya, hari ini kita main sampai puas. Oke?”Ola mengangguk senang, kemudian tatapannya beralih kepada sang ayah yang ikut tersenyum. “Papa ikut nggak?” tanya gadis kecil itu. Damar tersenyum tipis. “Nanti Papa nyusul aja, ya? soa
“Kinan, Sayang? kok malah ngelamun?”Kinanti mengerjap cepat, kemudian menggeleng pelan dan tersenyum kecil pada Damar. Ia baru tersadar, jika sejak tadi tengah melamun. Sampai akhirnya mendengar suara Damar. “Eh? enggak, aku nggak melamun kok, Mas,” elaknya. “Tadi cuma kepikiran tugas kuliah aja.”Damar menghela napas pelan. “Pelan-pelan saja, nggak perlu terlalu diforsir. Kalau butuh bantuan, bilang sama aku. Hm?”Kinanti mengangguk cepat, karena tak ingin membuat pria tampan itu semakin khawatir kepadanya. Sementara Damar, diam-diam menghubungi asistennya. [Tolong suruh Eric, mengawasi Rangga. Dia tampak mencurigakan][Siap, Pak]Pria tampan itu menghela napas pelan. Ia menatap Kinanti yang kini tengah mencuci piring, bekas makan mereka.Ia berderap pelan, kemudian memeluk perempuannya dari belakang. “Kenapa kamu cuci piringnya, hm?”Kinanti meringis, karena suara Damar terasa seperti menggelitiki tengkuknya. “Mas, geli, ih!”Bukannya berhenti, Dama malah semakin menggelitiki






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen