LOGINLangit terbangun lebih awal pagi itu.
Suara notifikasi ponsel tidak berhenti sejak subuh — panjang, berulang, seperti alarm yang tidak bisa dimatikan.Ia meraih ponsel di nakas, menatap layar yang penuh pesan berantai dan tautan berita.“Lo udah denger rekamannya belum?”“Tanisha ngaku sendiri soal manipulasi tes DNA.”“Gila, keluarga Mahadewa udah busuk dari dulu.”Langit membuka tautan yang paling atas.Video berdurasi dua menit. Suara seorang perempuan terdengar di dalamnya — gugup, tergesa, tapi jelas.“Kita harus ubah hasilnya. Nanti ketahuan kalau bukan anaknya. Aku nggak sanggup kalau nama aku rusak.”Lalu disusul suara laki-laki samar: “Tenang, semua bisa diatur.”Langit memutar ulang. Sekali. Dua kali. Tiga kali.Wajahnya tidak berubah, tapi jemarinya mengepal di sisi paha.Ia tahu, suara itu mirip. Tapi bukan Tanisha.Nada suaranya datar, tanpa napas. Hasil potongan.Namun ia juga tahu — publiTanisha menunggu. Tapi Langit tidak mengatakan apa pun.Ia hanya berdiri di sana, mematung dengan ponsel masih dalam genggamannya. Cahaya layar memantul di wajahnya, membuat sorot matanya tampak semakin gelap. Tanisha mengenal lelaki itu cukup lama untuk tahu: Langit jarang terlihat kaget. Ia bisa saja marah, jijik, atau kecewa, tapi kaget? Hampir tidak pernah.Tapi malam ini, ia melihat itu—kejutan yang tidak sempat ditutupi.“Mas…” Tanisha mendekat perlahan, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ia lihat di layar itu. “Kenapa mukanya gitu? Itu… tentang apa?”Tanisha benar-benar ingin mengguncang lelaki itu agar berbicara. Tapi Langit tetap diam selama beberapa detik, beberapa detik yang terasa terlalu panjang.Akhirnya, ia menutup layar ponselnya dengan satu gerakan pelan namun tegas.“Kita nggak bahas ini di sini,” katanya.Hanya itu.Tanisha memandangnya dengan bingung. “Maksudnya apa? Mas dapat apa? Nama
Safe home keluarga Mahadewa tak pernah benar-benar sunyi, meski terlihat steril dan tertata sempurna. Para penjaga bergerak nyaris tanpa suara, CCTV tersebar di setiap sudut, dan kaca jendela yang tampak seperti cermin sebenarnya adalah lapisan perlindungan. Tapi malam ini, keheningan itu terasa lain—lebih tegang, lebih padat, seakan dindingnya menahan sesuatu yang tak ingin dibicarakan.Tanisha berdiri di tengah ruang keluarga, memandangi benda kecil yang sejak tadi menggantung di jari Langit. Kalung itu. Kalung yang pernah ia pikir hilang bertahun-tahun lalu, kalung yang tak pernah ia kira akan muncul kembali di tempat paling mengerikan—di lokasi ancaman mereka.Langit memutar kalung itu beberapa kali, wajahnya datar, tapi Tanisha bisa melihat ketegangan di garis rahangnya. “Ini bukan kebetulan,” ucapnya pelan. Suaranya rendah, tetapi dinginnya menusuk, seperti seseorang yang sudah memutuskan untuk tak lagi bertoleransi pada apa pun.Tanisha menelan luda
Tanisha tidak tidur malam itu. Bahkan setelah Langit mematikan lampu, mengunci semua pintu, dan memastikan seluruh sensor berfungsi, tubuh Tanisha tetap terasa seperti sedang berlari. Setiap kali ia memejamkan mata, pesan itu muncul lagi. “Kamu tetap cantik meski ketakutan.” Kata-kata itu lengket. Masuk ke dalam kepala, menempel di tulang. Ia tidak berani tidur, tidak berani mematikan lampu kamar, bahkan tidak berani berdiri terlalu jauh dari pintu. Pukul tiga lewat dua belas, suara langkah terdengar dari luar kamar. Tanisha menegang seketika. Pintu terbuka sedikit. Langit masuk. Ia tidak mengetuk, tidak tanya—langsung muncul seperti seseorang yang memastikan api kecil tidak jadi membesar. “Kamu belum tidur,” katanya. Tanisha menelan ludah. Ia duduk tegak, punggungnya menempel pada sandaran tempat tidur. “Aku… nggak bisa.” Langit tidak berkata apa pun selama beberapa detik. Ia hanya mengamati Tanisha dengan sorot mata dingin yang tidak pernah benar-benar bisa d
Tanisha menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Pesan itu seakan menampar seluruh sisa ketenangan yang tadi ia miliki.“Halo, Tanisha. Senang akhirnya kamu ingat namaku.”Untuk sesaat, tubuhnya tidak merespons apa pun.Takut dan kaget menyatu, membuat kakinya seolah kehilangan tulang. Tangan yang memegang ponsel perlahan bergetar.“Tanisha.”Suara Langit terdengar pendek, tapi cukup untuk membuat Tanisha kembali sadar.Ia mencoba bicara, tapi suaranya nyaris tidak keluar. “Mas… dia… dia… tahu aku ingat.”Langit langsung mengambil ponsel dari tangannya. Tanpa permisi, tanpa tanya. Seolah benda itu berbahaya kalau terus berada di dekat Tanisha.“Mulai sekarang, kamu jangan pegang ponsel itu lagi,” ucapnya datar.Tanisha mengangguk kecil, meskipun dadanya masih naik turun cepat. Ia mencoba mengatur napas, tapi tubuhnya tak berhenti gemetar. Ada ketakutan yang tidak bisa ia jelaskan—ketakutan yang terasa seperti pernah dialami sebelumnya.Langit mengamati layar ponsel itu dengan rahang me
Hening di dalam safe house terasa seperti ruang air yang membeku.Setiap detik diam itu berdesakan, menekan dada Tanisha sampai ia sulit bernapas. Langit belum bergerak dari posisi terakhirnya—berdiri di sudut ruangan, memegang ponsel seperti memegang rahasia paling gelap yang pernah datang dalam hidup mereka.“Seseorang yang dekat sama aku…?” Tanisha mengulang pelan. Suaranya terdengar seperti suara orang yang kehilangan pijakan. “Dekat yang kayak gimana, Mas?”Langit menatapnya sebentar, kemudian mengalihkan pandangan. Ia tidak langsung menjawab. Sikap itu saja sudah cukup membuat jantung Tanisha berdegup lebih keras.“Mas…” Tanisha memanggil lagi. “Tolong jangan diem kayak gitu.”Langit berjalan mendekat. Tidak cepat, tapi setiap langkahnya memberi tekanan baru ke dalam ketegangan yang menggantung di udara.“Tadi aku bilang, dia dekat sama kamu.” Nada suaranya rendah, tapi bukan marah—lebih ke sesuatu yang sedang dipaksa tetap stabil. “Tapi aku nggak mau bilang sebelum aku yakin se
Tanisha menutup ponselnya dengan tangan gemetar. Pesan terakhir dari nomor tak dikenal itu terus berputar di kepalanya, seperti suara yang sengaja menggesek dinding pikirannya.“Kunci rumah kamu bagus. Tapi nggak sebagus ingatan yang kamu bilang kamu lupa.”Ingatannya.Ia bilang ia lupa.Tapi orang itu… tahu.Rasa dingin merayap dari tengkuknya sampai ke punggung. Tanisha menelan ludah, tapi tenggorokannya ikut terasa nyeri. Ia duduk di ujung sofa safe house itu, memegangi perutnya, berusaha menenangkan napas.Langit berdiri tak jauh darinya. Dua meter lebih, tapi Tanisha bisa merasakan dinginnya sorot mata itu, fokus dan tajam.“Ada pesan baru?” suara Langit rendah, seperti selalu—irit bicara, tapi tiap katanya memukul.Tanisha nggak langsung menjawab. Ia menunjukkannya saja, menyerahkan ponsel itu pelan. Langit mengambilnya, membaca tanpa ekspresi… tapi rahangnya terlihat mengeras.“Kamu takut?” tanyanya tanpa berusaha terdengar lembut.Tanisha mengangguk pelan. “Iya.”Langit menata







