INICIAR SESIÓNAngin dari reruntuhan rumah-rumah di pinggiran desa Sumatera itu berhembus dingin, membawa aroma debu dan lumpur. Langit berdiri di tepi jalan yang retak, menatap puncak bukit yang jadi satu-satunya tempat ia bisa mendapatkan sedikit sinyal.
Ia mengangkat ponsel, layar gelap tanpa bar sinyal.Ia menahan napas.Menunggu.Beberapa detik.Tidak ada apa-apa.Ia melangkah lagi, lebih tinggi, melewati bebatuan, melewati sisa-sisa papan rumah yang jatuh menghalangi jalur. Jaketnya dipenuhi debu, sepatu kotor, dan kulit tangannya lecet karena sejak pagi ia mengangkat karung bantuan bersama relawan.Malam semakin turun, tapi aktivitas di daerah bencana tidak berhenti. Orang-orang masih berlari, berseru, mengangkut bantuan, dan menangis mencari keluarga masing-masing. Sementara itu, Langit tetap mencari satu hal: sinyal.Ia tidak pernah merasa segelisah ini hanya karena sebuah ponsel tidak berfungsi.Biasanya ia tenang.BiasanyaKabar penangkapan Baskara Prameswara masih memenuhi semua layar. Televisi di ruang keluarga rumah Langit menayangkan ulang rekaman saat sang menteri keluar dari gedung Kementerian Kehutanan dengan wajah tegang, diapit penyidik yang menjawab rentetan pertanyaan wartawan. Beberapa stasiun swasta memasang tulisan tebal di bagian bawah layar:“Penangkapan Baskara Prameswara: Dugaan Keterlibatan dalam Proyek Ilegal Kayu Sumatera.”Tidak ada suara selain televisi dan detak jam dinding yang terdengar sangat kuat di telinga Tanisha. Ia duduk diam di sofa, tubuhnya terasa dingin meski ruangan ini hangat. Dadanya naik turun pelan, seperti sedang menahan sesuatu di dalam.Sejak semalam ia tidak tidur. Setiap kali memejamkan mata, ia kembali melihat wajah papanya dalam benaknya — wajah yang selama ini tegar, sekarang tercabik-cabik skandal. Wajah penuh bangga, kini berlumur berita buruk.Langit berdiri di sisi jendela, memegang ponselnya. Suaranya datar saat
Berita itu menabrak Tanisha seperti ombak hitam yang datang tanpa suara, tetapi mematikan. Baskara Prameswara ditangkap.Siaran televisi, portal berita, media sosial—semuanya menyebut nama ayahnya. Bukan lagi sekadar rumor, bukan lagi opini publik. Ini resmi. Polisi keluar dari gedung Kementerian Kehutanan sore itu membawa Baskara dengan tangan diborgol, wajahnya ditutup masker, diapit petugas.Tanisha terdiam lama di depan layar televisi ruang keluarga. Tubuhnya terasa kaku, seolah tulangnya tak lagi menempel pada daging. Jantungnya berdetak kacau, tenggorokannya kering, matanya panas.Ia ingin menyangkal. Ia ingin bilang ini cuma salah paham. Ia ingin bilang ini tidak nyata. Tapi bagaimana caranya, jika dunia di sekelilingnya jelas-jelas terbakar?Langit berdiri satu meter di belakangnya, diam. Tatapannya pada layar televisi tampak gelap, tapi wajahnya stabil. Dinginnya bukan ketidakpedulian. Itu cara dia bertahan.Suara reporter terden
Rumah Langit terasa lebih sunyi dari biasanya malam itu. Bukan sunyi yang nyaman—melainkan sunyi yang seperti menahan napas panjang, menunggu sesuatu pecah kapan saja.Di ruang tengah, Tanisha duduk di sofa dengan punggung tegak, namun kedua tangannya saling menggenggam begitu erat hingga buku jarinya memucat. Televisi di depannya menyala, tapi suaranya dimatikan—yang terdengar hanyalah bunyi jam dinding yang berdetak perlahan, menusuk.Di layar, acara berita menampilkan potongan gambar Baskara Prameswara keluar dari ruang pemeriksaan resmi Kementerian. Wajahnya tampak tegang, namun tetap berwibawa—seolah tak satu pun tuduhan bisa membuatnya runtuh.Namun Tanisha tahu, apa pun itu… papanya sedang diserang dari segala arah.Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Langit muncul dengan segelas air dan sepiring kecil roti panggang. Pria itu menaruhnya di meja, lalu duduk di sebelah Tanisha. Ia diam. Seperti biasa, tak banyak kata dari bibirnya. Tapi s
Panggilan resmi itu tiba tanpa suara. Tanpa aba-aba. Tanpa tanda. Tanpa jeda untuk bernapas.Naskah panggilan tertutup dengan lambang kenegaraan yang tercetak tebal di bagian atasnya—diserahkan langsung oleh petugas khusus berseragam gelap yang datang ke rumah Baskara dengan langkah berat dan sorot mata kaku.Sementara itu, di ruang keluarga rumah Langit, Tanisha sedang membaca ulang artikel berita yang hari ini meledak di sosial media:“Baskara Prameswara Diduga Terlibat Proyek Kayu Ilegal – Pemerintah Siapkan Pemanggilan Resmi.”Mulut Tanisha terasa getir. Tangannya gemetar ketika ia meletakkan ponsel ke meja. Langit duduk di seberangnya, masih memakai kemeja kerja, lengan digulung ke siku, wajahnya dingin tapi tegang.“Saya baru dapat kabar,” ucap Langit pelan, matanya tak lepas dari layar ponsel. “Pemanggilannya resmi. Papa kamu diminta hadir hari Jumat.”Tanisha menelan napas. Terlalu cepat. Terlalu mendadak. Terlalu besar untuk dicerna dalam satu tarikan napas.“Papa…” Suaranya
“Beritanya sudah naik semua.”Kalimat itu jatuh di ruang rapat seperti palu yang menghantam meja. Layar besar di dinding menampilkan potongan headline dari berbagai portal daring—judulnya berbeda, nadanya sama.MENHUT DIDUGA TERKAIT PROYEK ILEGAL KAYU GELONDONGAN.JEJAK POLITIK MENGARAH KE LINGKARAN KEKUASAAN.Langit berdiri dengan tangan bertumpu di sandaran kursi, punggungnya lurus, rahangnya mengeras. Matanya tidak berkedip, menatap satu per satu paragraf yang menyebut nama Baskara Prameswara—mertuanya—tanpa ragu, tanpa basa-basi.Ramdan menoleh ke arah Langit. “Mereka nggak pakai kata ‘dugaan’ lagi, Pak. Narasinya udah diarahkan. Opini publik digiring.”Langit menarik napas perlahan. “Siapa yang pertama kali dorong isu ini?”“Anonim. Tapi setelah kami telusuri, sumber awalnya dari akun-akun yang terhubung ke dua perusahaan logging besar. Mereka nggak muncul di depan, tapi polanya kelihatan.”Langit tersenyum tipi
Berita itu muncul pertama kali bukan dari media arus utama.Bukan dari konferensi pers.Bukan dari rilis resmi kementerian.Melainkan dari sebuah unggahan akun anonim di media sosial, dengan narasi panjang, potongan data mentah, dan satu kalimat pembuka yang langsung menusuk:“Kalau kita bicara soal banjir dan kebakaran, jangan lupa siapa yang selama ini mengatur hutan.”Nama Baskara Prameswara disebut di sana.Tidak frontal. Tidak menuduh langsung. Tapi cukup untuk membuat siapa pun yang membaca mengernyit dan mulai mengaitkan potongan-potongan yang selama ini tercecer.Langit membaca berita itu dalam diam, duduk di ruang kerjanya dengan ponsel tergeletak di atas meja. Layar memperlihatkan unggahan yang sudah dibagikan ribuan kali hanya dalam hitungan jam.Ada tangkapan layar dokumen proyek.Ada potongan pidato lama.Ada foto-foto yang diambil dari sudut jauh, entah kapan, entah di mana.Dan ada sat







