Share

3. Pintar Berkelit

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2024-12-06 11:16:12

Sebentar pun aku belum bisa memejamkan mata. Suara detak jam dinding tua di dinding kamarku seirama dengan detak jantungku saat ini. Kulirik Alfan yang sudah terlelap sejak sepulang dari Madrasah tadi.

Mas Haikal tak lagi memberi kabar bahkan WA-nya terakhir dilihat sepuluh menit setelah meneleponku. Iseng ku intip juga WA milik Arumi, aktif hanya beda beberapa menit dari Mas Haikal. Ada apa ini, kok aku jadi berpikiran negatif. Mereka on dan off bersamaan.

Dimana mereka? Apakah sudah pulang atau masih dalam perjalanan? Kuketik pesan untuk menanyakan keberadaannya Mas Haikal, tapi kemudian kuhapus lagi.

Untuk kesekian kalinya akhirnya aku memberanikan diri untuk mengirim pesan dan ternyata centang satu. Perasaanku makin tak terkendali, kucoba berkali-kali untuk berpikir positif tapi selalu kalah dengan pikiran kekhawatiranku.

Setengah jam kemudian aku mengecek kembali pesan yang kukirim tadi. Ternyata sudah terbaca namun Mas Haikal tidak membalasnya. Ya ampun Mas, apa yang terjadi?

***

[Mas belum pulang, ini masih di perjalanan. Tadi ada masalah dengan mobil Arumi jadi sekarang Mas tidur di mobil besok baru bisa nyari bengkel.]

Pesan itu masuk pukul 2 dini hari. Aku baru membacanya saat bangun tidur. Mobil Arumi bermasalah? Bukankah mobilnya bagus, keluaran terbaru tahun ini. Alasan yang tidak masuk akal.

Tak berniat membalas pesan Mas Haikal aku menyimpan kembali ponsel, tapi sesaat kemudian beberapa pesan masuk dan itu dari grup alumni SMA. Penasaran aku kembali membukanya. Arumi dan gengnya, pagi-pagi sudah rame membahas oleh-oleh.

Rupanya Arumi pamer sedang pergi ke Jakarta dan teman-teman dekatnya antusias dibawakan oleh-oleh.

[Ros, kamu cuma ngintip doang, nggak minta oleh-oleh?]

Pesan dari Santi, ternyata dia tahu kalau aku sedang menyimak.

[Nggak, aku lagi nggak pengen apa-apa.]

Balasku. Lalu kututup aplikasinya dan kembali meletakkan ponsel. Baru saja aku akan keluar kamar ponsel berdering, aku kira Mas Haikal tapi ternyata Arumi.

"Kamu yakin nggak mau aku bawakan sesuatu?" tanyanya.

"Nggak, Mi. Aku cuma ingin Mas Haikal cepat pulang. Itu saja."

Arumi tertawa keras saat mendengar jawabanku.

"Aku belum selesai meminjamnya, Ros. Nanti juga aku kembalikan kok."

Rupanya Arumi mengira aku sedang bercanda. Padahal aku berkata serius.

"Kalian tidur dimana?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirku.

"Di hotel."

"Apa? Di hotel."

"M-maksud aku, aku tidur di hotel Mas Haikal di mobil."

Tanpa berkata lagi aku menutup sambungan telepon, hatiku terlanjur bergemuruh mendengarnya. Aku yakin Arumi barusan keceplosan. Segera aku mencari kontak Mas Haikal dan melakukan panggilan video. Namun hingga panggilan berhenti dengan sendirinya Mas Haikal tidak menerimanya. Lalu kuulangi sekali lagi, tetap sama.

Sasaat kemudian dia menghubungiku melalui sambungan telepon biasa.

"Kenapa panggilan videonya nggak diangkat Mas?"

"Mas baru bangun, Ros. Ada apa pagi-pagi sudah minta vidio call? Kangen ya?"

"Iya, Mas." Aku berbohong, padahal sesungguhnya aku hanya ingin tahu Mas Haikal sedang berada di mana.

"Mas baru bangun, belum ganteng. Nanti saja ya panggilan videonya kalau Mas udah ganteng," elaknya.

"Ya nggak apa-apa, kan aku biasa lihat Mas bangun tidur."

"Nanti ya, Mas mau nyari kopi dulu. Dingin, tidur di mobil banyak nyamuk lagi."

"Ya udah, kirim poto ya Mas."

Setelah panggilan berakhir Mas Haikal mengirim sebuah poto, tapi entah poto kapan.

"Mas, aku mau poto kamu yang sekarang," protesku.

"Nanti saja."

Mas Haikal tidak mau melakukan panggilan video dan mengirim poto terkini. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan?

***

Hingga matahari terbenam lagi tak ada kabar yang aku terima dari Mas Haikal. Begitu pun Arumi, tidak seperti biasanya dia tidak berbalas komen di grup. Aku bosan menghubungi Mas Haikal tapi beberapa kali tidak terjawab.

Ibu sudah berkali-kali bertanya begitu pun Alfan.

"Bu, Mas Haikal sedang kerja, dia itu sopir jadi kemanapun majikannya minta diantar harus siap." Aku mencoba membela suamiku.

"Tapi perasaan Ibu lain, Ros. Apalagi kalau mengingat kelakuan suamimu yang sudah-sudah."

"Iya tapi jangan suudzon dulu, Bu."

"Terserah kamu, Ibu hanya mengingatkan."

Sesungguhnya kekhawatiranku juga sama dengan Ibu, bahkan mungkin lebih besar. Tapi itu hanya menyiksa diri sendiri. Aku juga cemburu, tapi tidak bisa menuduh tanpa bukti.

***

Mas Haikal datang keesokan harinya, menjelang siang. Seperti janjinya dia membawa mainan sesuai keinginan Alfan. Anak itu nampak kegirangan melihat Ayahnya datang membawa mainan seperti yang dia inginkan.

"Ya udah, Alfan main dulu ya. Di teras saja jangan jauh-jauh."

"Bilang apa dulu sama Ayah?" Aku mengusap rambut Alfan.

"Terima kasih, Ayah."

"Alfan jangan lupa belajar yang rajin ya. Supaya Ayah lebih semangat lagi kerjanya." Alfan mengangguk kemudian bergegas ke teras sambil menirukan suara mobil.

"Kamu nggak kangen sama Mas? Tak seperti biasanya jadi pendiam begini?" tanya Mas Haikal.

Aku membuang nafas perlahan sambil meletakkan kopi di atas meja.

"Kangenku sudah bertumpuk Mas, sudah satu bulan ini Mas jarang pulang."

"Kebetulan bulan ini Arumi banyak bepergian. Kamu harus ngerti dong pekerjaan Mas."

"Tapi apa harus, supir dan majikan duduk berdampingan?" tanyaku ketus.

"Kamu jangan berlebihan Ros, jangan terlalu mengikuti perasaan. Apalagi suudzon, tidak baik?"

"Arumi itu punya suami dan Mas beristri, jadi seharusnya kalian bisa menjaga jarak," lanjutku seraya duduk dihadapannya.

"Jangan tambah ngawur ah, banyak berpikir baik dan positif."

"Aku lihat Arumi seneng banget berpoto sama kamu Mas."

Mas Haikal nampak berpikir sejenak lalu tersenyum.

"Oh itu, jadi istri Mas yang cantik dan soleha ini sedang cemburu? Masa cemburu sama teman sendiri?"

"Teman juga bisa makan teman, Mas,"

"Arumi itu teman kamu, masa kamu nggak percaya."

"Mau percaya bagaimana Mas? Dia kelihatan bahagia banget poto sama kamu."

"Ya biar saja, itu kan dia. Yang penting kan Mas nggak seperti itu. Mas menganggap dia hanya sebatas majikan saja, tidak lebih."

"Lebih baik Mas berhenti saja kerja di sana. Masih banyak pekerjaan lain."

Mas Haikal bangkit dan berjalan menuju kursi yang aku duduki lalu berjongkok di hadapanku. Kedua tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya.

"Dulu kamu kan yang meminta pekerjaan untuk Mas pada Arumi. Kenapa sekarang kamu jadi begini? Makanya kalau suami lagi kerja itu do'akan yang baik-baik. Jangan keseringan ngerumpi dengan orang lain apalagi mendengarkan ghibahan tetangga.

Jaman sekarang mencari pekerjaan itu susah. Mas sudah nyaman kerja di sana, uang belanja kamu juga tidak pernah kurang. Arumi sangat memperhatikan keluarga kita, jarang-jarang ada majikan sebaik dia."

Aku membuang pandangan mendengar ucapan Mas Haikal. Memang ada benarnya juga, tapi perasaanku terlanjur terkoyak. Kepercayaanku padanya sudah luntur sejak dulu, sejak aku tahu saat berjualan bakso dia malah asik menggoda Mbak penjual es buah.

Apakah aku jujur saja bahwa aku tahu tentang semua perilakunya di belakangku. Ah, Mas Haikal pasti akan dengan mudah mengelak. Dan masalahnya akan semakin runyam. Jangankan kejadian yang sudah bertahun-tahun, kejadian kemarin saja dia pintar membuat dalih.

Mas Haikal terlalu pintar berkelit dan bersilat lidah. Mudah membuat alasan dan memberi penjelasan yang bisa diterima akal. Ujung-ujungnya aku selalu terpojok.

"Ros, kamu percaya sama Mas?" tanyanya sambil menggerak-gerakkan tanganku dalam genggamannya.

"Ya sudah kalau tidak percaya, lebih baik Mas pergi lagi. Percuma pulang juga malah didiamkan seperti ini." Dia bangkit dan berjalan menuju kamar lalu keluar lagi menenteng jaket.

Aku segera berdiri dan meraih tangannya.

"Mas, aku minta maaf. Aku salah telah berburuk sangka." Kupegang tangannya erat, dia berhenti dan membalikkan badan menjadi berhadapan denganku. Aku selalu kalah dalam setiap perselisihan dengannya.

"Mas itu cape, siang malam kerja untuk kalian. Mas pulang bukannya disambut, dipeluk, diberi senyuman, malah dituduh yang tidak-tidak."

"Aku cuma ketakutan Mas, takut kehilangan Mas."

"Kalau takut kehilangan, ya diperhatikan dong, dijaga, dimengerti. Mas juga berpikir dua kali untuk berkhianat kalau di rumah ada istri yang selalu memperhatikan Mas."

Rasanya ingin kubeberkan semua kelakuannya yang terdahulu. Kurang apa aku selama ini? Tapi tetap saja dia berani bermain di belakangku. Malahan dengan tanpa merasa berdosanya seolah-olah dia tidak pernah berbuat salah.

Ucapan yang keluar dari bibirnya sangat bijak dan benar, siapapun akan terpesona mendengar jika tidak tahu kelakuannya. Menasehati aku tapi kenyataannya ucapan itu lebih pantas untuk menasehati dirinya.

"Mas mau makan apa? Aku buatkan dulu ya." Aku mengalihkan pembicaraan untuk menghindari lebih banyak lagi pembelaannya.

"Apa saja, asal kamu yang masak, pasti enak."

"Mas mandi dulu ya, biar seger."

Aku bergegas ke dapur, mencari bahan makanan di kulkas dan segera mengolahnya. Sementara Mas Haikal mandi, namun ponselnya berkali-kali berbunyi, sepertinya itu panggilan telepon.

Penasaran aku mencari ponsel Mas Haikal yang sejak tadi berbunyi tapi tidak kelihatan bendanya. Rupanya dia letakkan diatas kursi dan ditutupi jaket. Mungkin tidak sengaja tertutup bukan ditutupi. Baru saja aku akan melihat siapa yang terus-terusan menghubungi dia tiba-tiba dia sudah berada di belakangku.

"Kamu ngapain di sini? Bukannya mau masak?"

"Eh, itu ... aku mau mengecek .... " jawabku gugup.

"Mengecek? Mengecek apa?" Mas Haikal menautkan alis.

"Mengecek Alfan .... "

"Lagi anteng dia," ucapnya seraya mendongak ke luar. Alfan memang anteng sejak tadi.

Aku kembali ke dapur dan menyelesaikan pekerjaanku. Sekilas kulirik Mas Haikal masuk kamar namun sebelumnya mengambil sesuatu dari balik jaket di atas kursi. Berarti benar, dia menyembunyikan ponselnya di sana.

Sambil menyiapkan makanan sesekali aku melirik ke arah pintu kamar yang memang terlihat dari dapur. Mas Haikal berpakaian lama sekali. Dari tadi pintunya masih tertutup rapat. Biasanya selepas mandi dia akan menemani Alfan bermain, melepas rindu karena sering ditinggal pergi bekerja.

Penasaran aku mendekati pintu kamar dan terdengar suara seperti orang bercakap-cakap. Mas Haikal berbicara dengan siapa? Suaranya terdengar lembut dan berbisik, apakah dia sedang menerima telepon?

Hingga selesai aku memasak Mas Haikal belum keluar dari kamar. Dia baru keluar ketika aku memintanya segera makan.

"Mas habis ngapain di kamar, pake baju kok lama amat?"

"Habis rebahan lama-lama ketiduran."

"Bukannya habis teleponan?"

"Nggak lah, teleponan sama siapa?"

"Tadi kedengaran seperti orang bercakap-cakap."

"Oh, itu Mas lagi buka grup teman-teman supir. Percakapannya pake voice note semua."

Aku tak membalas lagi ucapannya, sudah jelas dia yang menelepon. Aku juga bisa membedakan suara dari voice note dan suara asli dia.

Baru saja makan beberapa suap ponsel Mas Haikal kembali bergetar di dalam saku celananya. Setelah memastikan siapa yang menghubunginya, Mas Haikal berjalan ke luar ke arah teras. Lalu terdengar menerima telepon sambil berbisik.

Aku fokus membantu Alfan makan sambil sesekali melirik ke luar. Tak lama Mas Haikal kembali namun tidak duduk lagi.

"Mas berangkat lagi ya, Arumi ada acara mendadak katanya jadi Mas harus segera ke sana."

Aku tak menjawab karena protes pun percuma. Berdiri lalu mengikutinya keluar kemudian mencium tangannya dan berusaha untuk tersenyum. Hilang sudah selera makanku berganti dengan air mata yang tak tertahan. Mas Haikal bahkan tidak menghabiskan makannya dan lupa pamitan pada Alfan yang sejak tadi menatapku heran.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dilamar Bos Muda Usai Dikhianati Suami    69. Menuai Hasil

    Beberapa hari setelah itu aku pindah ke rumah yang tempo hari Mas Dika tunjukkan. Tempatnya tidak jauh dari sekolah Delia. Rumah lamaku, sekarang dijadikan sebagai tempat para penjahitku bekerja. Jadi aku masih harus sering ke sana untuk memantau pekerjaan mereka. Sementara Mas Dika juga masih bolak balik ke luar kota mengurusi tokonya. Meski hanya dua kali dalam seminggu. "Sayang, Mas ada ide nih. Tapi sepertinya kamu juga bakalan suka." Sore ini ketika kami berkumpul sambil menunggu adzan magrib, Mas Dika sepertinya berbicara agak serius. Aku pun menatapnya serius sebentar. "Ide apa, Mas?" tanyaku seraya menambahkan gula pada teh hangat yang baru saja kuseduh. "Bagiamana kalau uang yang tempo hari itu kita gunakan untuk membeli ruko di dekat pasar." "Ruko yang masih dalam proses pembangunan itu, Mas." "Iya, kebetulan tempatnya strategis, jadi bisa untuk mengembangkan usahamu. Siapa tahu kedepannya bisa menjadi butik yang besar." Aku berpikir sejenak, meski usahaku sekarang

  • Dilamar Bos Muda Usai Dikhianati Suami    68. Berita Mengejutkan

    Aku segera menggeser kursi yang sedang kududuki bermaksud hendak menyapanya. Lalu dengan isyarat aku mengajak Mas Dika untuk ikut berdiri. Meski terlihat bingung tapi Mas Dika akhirnya ikut berdiri dan mengikutiku melangkah mendekati lelaki itu. "Mas Rizal," sapaku. Merasa dipanggil namanya lelaki itu menoleh lalu terlihat sedikit bingung. Baru beberapa detik kemudian dia tersenyum. "Rosa!" serunya. "Iya, Mas. Maaf, mengganggu. Apa kabar Mas?" "Seperti yang kamu lihat Ros, alhamdulillah baik. Kamu sendiri?" "Alhamdulillah baik juga, Mas. Oh ya, kenalkan ini Mas Dika, suamiku." Aku menunjuk Mas Dika, lalu keduanya bersalaman. "Saya Rizal, mantan suaminya Arumi. Saya dan Rosa mungkin senasib." Mas Rizal tertawa kecil sambil mempersilahkan kami duduk. Awalnya aku menolak karena tak enak, tapi Mas Dika mengiyakan. Akhirnya kami bergabung ke meja Mas Rizal bersama wanita yang semula kusangka istrinya, tapi ternyata adiknya Mas Rizal. Sejak terjadi pengkhianatan itu, ba

  • Dilamar Bos Muda Usai Dikhianati Suami    67. Kejutan lagi

    Aku tersenyum lebar mendengarnya. Jadi selama ini dia tidak pernah membahas Mas Haikal bukan karena menjaga perasaannya? Tapi karena untuk lebih menjaga perasaanku. "Loh, kita mau kemana Mas?" Aku merasa heran ketika Mas Dika mengambil jalur lurus sementara untuk menuju rumahku seharusnya belok kiri. "Mas mau nunjukin sesuatu," "Apa?" "Kejutan dong," "Baiklah, kalau begitu aku tutup mata." "Ide bagus," ucapnya kemudian. Aku menutup mataku dengan kedua telapak tangan. Terlihat lucu memang, karena dia yang akan memberi kejutan tapi aku yang punya inisiatif untuk menutup mata. Aku masih menutup mataku ketika aku merasa mobil berhenti. "Bentar." Mas Dika terdengar membuka pintu di sebelahnya lalu berjalan memutar untuk membukakan pintu disebelahku. "Ayah, ini rumah siapa?" tanya Alfan ketika aku baru saja turun. "Rumah?" Aku bergumam. "Iya," jawab Mas Dika. Lalu aku merasa dia meraih tanganku yang menutupi mata. "Sudah, buka saja. Toh Alfan sudah ngomong kita sedang berada

  • Dilamar Bos Muda Usai Dikhianati Suami    66. Diam-diam suka

    "Ehem, kayaknya drama pelukannya diskip dulu, deh." Aku terkejut mendengar deheman Serly, lupa kalau kami sedang berada di rumah orang. "Makasih, ya, Ser. Karena kamu sudah bisa menjaga rahasia ini," kata Mas Dika." "Perjuangan banget, Mas. Aku sering hampir keceplosan ngomongin Mas Dika," kekeh Serly. Aku juga tak sadar ikut tertawa, begitupun Mas Dika dan Mas Helmi. "Oh ya, Mas. Berarti uang ini aku kembalikan sama Mas Dika ya?" Aku mengambil amplop yang sudah aku simpan di meja tadi lalu menyerahkannya pada Mas Dika. Tapi Mas Dika malah tertawa kecil membuat aku menautkan alis. Sementara tanganku masih terulur. "Baiklah, karena ini ijab qobulnya pinjaman, maka Mas akan terima uangnya." Akhirnya Mas Dika menerima amplop tersebut. "Terima kasih, Mas. Meski secara sembunyi-sembunyi tapi Mas Dika sudah sangat peduli sama aku. Sekarang utangku sudah lunas, ya." "Iya, sayang. Itulah enaknya punya penggemar rahasia," kekehnya lagi. "Apa pun namanya, aku sangat bersyukur diperte

  • Dilamar Bos Muda Usai Dikhianati Suami    65. Sebuah Rahasia

    "Yang ini 'kan?" tanya Mas Dika sambil memelankan laju mobil. "Iya." Kami bermaksud menemui Serly di rumah orang tuanya. Aku mendapat kabar kalau Serly baru tiba tadi pagi. Aku mengajak Mas Dika untuk menemuinya sekarang karena aku berniat mengembalikan uang Serly yang dulu aku gunakan untuk menebus surat tanah pada Arumi. Kebetulan jumlahnya baru terkumpul sekarang. Sebenarnya di awal pernikahan aku sudah membahas ini dengan Mas Dika dan beliau sudah berniat menambah uangnya agar cepat lunas katanya. Tapi aku menolak karena tidak ingin merepotkan dia. "Ya bukan merepotkan, dong. Mas kan suamimu. Kita selesaikan bersama masalah ini." "Aku mohon, tolong ridhoi aku, ya." Aku merajuk agar diizinkan untuk tidak menerima bantuannya. "Baiklah, terserah kamu saja." Seperti biasa, Mas Dika hanya mengiyakan tanpa protes lagi. "Paling juga satu bulan lagi jumlahnya akan genap," jawabku setelah menghitung dalam hati. "Oke, Mas ikut yang menurut kamu baik saja. Ternyata benar juga apa

  • Dilamar Bos Muda Usai Dikhianati Suami    64. Melindungi

    Mas Dika menatapku seakan bertanya siapa wanita yang berdiri tak jauh dari kami itu. "Arumi," bisikku pada Mas Dika, membuat lelaki itu mengangguk samar. Penampilan Arumi sangat jauh berbeda dengan dahulu sewaktu mengambil Mas Haikal dariku. Badannya terlihat agak kurus dan wajahnya penuh bintik hitam, sepertinya kurang terawat. Pakaiannya pun terlihat biasa saja, padahal dulu dia paling fashionable. Kami hanya diam menunggu reaksi wanita di hadapanku itu. Arumi berjalan perlahan mendekati kami dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Yang jelas dia tidak terlihat bersahabat atau pun baik-baik saja. "Hebat kamu Ros, setelah berhasil mengambil semua hartaku lewat Mas Haikal, sekarang kamu menikah dengan lelaki lain. Apakah aku harus bilang selamat atau justru menyebutmu payah?" Tanpa basa-basi dia langsung melontarkan kata-kata yang menurutku isinya fitnah semua. Mas Haikal hanya sekali mengajak Alfan jalan-jalan dan membelikan mainan serta makanan yang ternyata dijadikan alasan s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status