Hari ini aku mengajak Arumi jalan ke luar kota, sayang juga uang Arumi kalau tidak dipake berfoya-foya dari sekarang. Semalam aku tak pulang ke rumah karena memang Rizal suaminya Arumi tak ada di rumah.
Kami bebas menghabiskan malam bersama, hingga pagi ini Rosa meminta panggilan video. Gawat. Aku masih berada di kamar Arumi, bahaya kalau aku menerima panggilan video dari Rosa di sini. Semalam juga Rosa curiga ketika kami dengan berbicara lewat telepon tiba-tiba Arumi batuk-batuk. Untung saja aku cepat beralasan kalau itu suara Mumun pembantu Arumi yang baru saja mengantarkan kopi. Wanita sepolos Rosa pasti akan percaya. Bergegas aku berjalan ke luar menuju pekarangan di dekat pos satpam lalu menghubungi Rosa menggunakan panggilan video. Rupanya Alfan sepagi ini sudah bangun dan rewel katanya. Dia kangen sama aku dan meminta aku untuk membelikan mainan seperti punya temannya. Itu urusan gampang, nanti aku akan meminta Arumi membelikannya. Dia pasti akan dengan senang hati menuruti keinginanku setelah aku beri sedikit sanjungan. Pantas kalau Alfan kangen padaku, sebab sudah lebih dari satu bulan ini aku jarang pulang. Aku beralasan pada Rosa sibuk mengantar Arumi kesana kemari. Padahal aku hanya menemaninya di rumah seolah sudah menjadi suami istri dan sesekali memang keluar rumah untuk urusan pekerjaan Arumi dan juga bersenang-senang denganku. Segera aku akhiri panggilan videonya, khawatir ketahuan Arumi. Bisa-bisa dia cemburu dan jatah uang rokokku akan tersendat. Apesnya, Rosa melihat piyama yang aku kenakan dan bertanya ini punya siapa. Aku bilang saja punya Dimas, satpam di rumah Arumi. Padahal piyama ini baru saja kemarin Arumi belikan bersama beberapa potong baju lainnya. Pergi berdua dengan Arumi memang sudah biasa, hanya saja kali ini sudah diniatkan untuk bersenang-senang tanpa diselipkan urusan pekerjaan. Meski pun pada orang-orang alasannya untuk membeli keperluan salon kecantikan milik Arumi. Termasuk pada Rosa aku bilang seperti itu, lagi-lagi dia percaya. Selama ini aku selalu membuat Rosa tak bisa menuntut macam-macam. Berbagai dalih yang masuk akal aku berikan. Rosa adalah perempuan yang ta'at beribadah dan mengerti kewajibannya sebagai seorang istri. Itu yang membuat aku tak mau melepaskannya. Aku tidak mungkin selamanya muda dan kuat, suatu saat jika kharismaku sudah tidak bisa memikat lagi kaum bergincu, maka Rosa adalah tempatku menghabiskan masa tua. Aku juga ingin punya keturunan yang baik dan soleh, dan aku yakin Rosa bisa mendidik anak-anakku. Biarlah sekarang aku menikmati masa-masa mudaku dengan bersenang-senang. Berpetualang dari satu hati ke hati yang lain. Selain menghasilkan, ini sangat menyenangkan. Selama kebersamaanku dengan Arumi aku memberikan bermacam alasan agar Rosa tak curiga dan tak mengangguku dengan menghubungiku. Aku yakin alasan apapun yang aku berikan Rosa akan percaya. *** Cukuplah dua hari dua malam menghabiskan waktu bersama Arumi. Kapan lagi aku bisa merasakan tidur nyenyak di kamar hotel mewah dan makan di restoran mahal. Belum lagi memborong pakaian dan barang-barang branded lainnya dan berkeliling pusat perbelanjaan. Ternyata Arumi semudah itu aku manfaatkan hanya dengan terus menerus menyerangnya dengan kata-kata manis. Arumi sempat menahanku ketika aku akan pulang dulu. Sepertinya dia cemburu karena aku akan menemui Rosa. Tapi dengan rayuan yang aku keluarkan akhirnya dia luluh. "Kamu pasti kangen sama Rosa," rengeknya manja. "Aku mau ketemu Alfan, itu saja. Kamu nggak percaya? Ya sudah, ayo ikut aku pulang!" ajakku berbasa-basi. "Nggak lah, aku nggak mau ketemu Rosa." "Aku cuma sebentar kok." "Jangan nginep!" "Iya, tenang saja." Sengaja aku pulang agak siang untuk menghindari bertemu dengan Ibu mertuaku juga adik iparku, karena keduanya nampak kurang suka denganku. Ibu selalu banyak bertanya tentang pekerjaanku, entah dia mengetahuinya atau hanya menduga-duga dan sebatas firasat orang tua saja. Begitu pun Delia, gadis itu besar sekali rasa ingin tahunya. Dia tak hentinya bertanya dan banyak bicara. Kadang aku merasa sedikit tersindir, meski aku tahu mana mungkin Delia mengetahui kelakuanku di luar. Karena selama ini Rosa baik-baik saja tanpa curiga berlebihan. Tak seperti biasanya Rosa menyambutku dingin. Apakah dia curiga denganku? Tidak mungkin, sebab kemarin aku sudah memberikan alasan yang masuk akal padanya. Tentang kepergianku bersama Arumi. Bukankah masuk akal kalau aku bilang bahwa Arumi akan berbelanja untuk keperluan salonnya. Rupanya dia cemburu dengan poto-poto yang Arumi unggah kemarin. Padahal aku sudah meminta Arumi untuk menyembunyikan status WA-nya dari Rosa. Tapi sepertinya ada teman-teman mereka yang melapor. Bisa saja mereka mempengaruhi Rosa. Nanti aku akan menyuruh Arumi untuk lebih berhati-hati mengunggah poto bersamaku atau status WA tentang kami.Beberapa hari setelah itu aku pindah ke rumah yang tempo hari Mas Dika tunjukkan. Tempatnya tidak jauh dari sekolah Delia. Rumah lamaku, sekarang dijadikan sebagai tempat para penjahitku bekerja. Jadi aku masih harus sering ke sana untuk memantau pekerjaan mereka. Sementara Mas Dika juga masih bolak balik ke luar kota mengurusi tokonya. Meski hanya dua kali dalam seminggu. "Sayang, Mas ada ide nih. Tapi sepertinya kamu juga bakalan suka." Sore ini ketika kami berkumpul sambil menunggu adzan magrib, Mas Dika sepertinya berbicara agak serius. Aku pun menatapnya serius sebentar. "Ide apa, Mas?" tanyaku seraya menambahkan gula pada teh hangat yang baru saja kuseduh. "Bagiamana kalau uang yang tempo hari itu kita gunakan untuk membeli ruko di dekat pasar." "Ruko yang masih dalam proses pembangunan itu, Mas." "Iya, kebetulan tempatnya strategis, jadi bisa untuk mengembangkan usahamu. Siapa tahu kedepannya bisa menjadi butik yang besar." Aku berpikir sejenak, meski usahaku sekarang
Aku segera menggeser kursi yang sedang kududuki bermaksud hendak menyapanya. Lalu dengan isyarat aku mengajak Mas Dika untuk ikut berdiri. Meski terlihat bingung tapi Mas Dika akhirnya ikut berdiri dan mengikutiku melangkah mendekati lelaki itu. "Mas Rizal," sapaku. Merasa dipanggil namanya lelaki itu menoleh lalu terlihat sedikit bingung. Baru beberapa detik kemudian dia tersenyum. "Rosa!" serunya. "Iya, Mas. Maaf, mengganggu. Apa kabar Mas?" "Seperti yang kamu lihat Ros, alhamdulillah baik. Kamu sendiri?" "Alhamdulillah baik juga, Mas. Oh ya, kenalkan ini Mas Dika, suamiku." Aku menunjuk Mas Dika, lalu keduanya bersalaman. "Saya Rizal, mantan suaminya Arumi. Saya dan Rosa mungkin senasib." Mas Rizal tertawa kecil sambil mempersilahkan kami duduk. Awalnya aku menolak karena tak enak, tapi Mas Dika mengiyakan. Akhirnya kami bergabung ke meja Mas Rizal bersama wanita yang semula kusangka istrinya, tapi ternyata adiknya Mas Rizal. Sejak terjadi pengkhianatan itu, ba
Aku tersenyum lebar mendengarnya. Jadi selama ini dia tidak pernah membahas Mas Haikal bukan karena menjaga perasaannya? Tapi karena untuk lebih menjaga perasaanku. "Loh, kita mau kemana Mas?" Aku merasa heran ketika Mas Dika mengambil jalur lurus sementara untuk menuju rumahku seharusnya belok kiri. "Mas mau nunjukin sesuatu," "Apa?" "Kejutan dong," "Baiklah, kalau begitu aku tutup mata." "Ide bagus," ucapnya kemudian. Aku menutup mataku dengan kedua telapak tangan. Terlihat lucu memang, karena dia yang akan memberi kejutan tapi aku yang punya inisiatif untuk menutup mata. Aku masih menutup mataku ketika aku merasa mobil berhenti. "Bentar." Mas Dika terdengar membuka pintu di sebelahnya lalu berjalan memutar untuk membukakan pintu disebelahku. "Ayah, ini rumah siapa?" tanya Alfan ketika aku baru saja turun. "Rumah?" Aku bergumam. "Iya," jawab Mas Dika. Lalu aku merasa dia meraih tanganku yang menutupi mata. "Sudah, buka saja. Toh Alfan sudah ngomong kita sedang berada
"Ehem, kayaknya drama pelukannya diskip dulu, deh." Aku terkejut mendengar deheman Serly, lupa kalau kami sedang berada di rumah orang. "Makasih, ya, Ser. Karena kamu sudah bisa menjaga rahasia ini," kata Mas Dika." "Perjuangan banget, Mas. Aku sering hampir keceplosan ngomongin Mas Dika," kekeh Serly. Aku juga tak sadar ikut tertawa, begitupun Mas Dika dan Mas Helmi. "Oh ya, Mas. Berarti uang ini aku kembalikan sama Mas Dika ya?" Aku mengambil amplop yang sudah aku simpan di meja tadi lalu menyerahkannya pada Mas Dika. Tapi Mas Dika malah tertawa kecil membuat aku menautkan alis. Sementara tanganku masih terulur. "Baiklah, karena ini ijab qobulnya pinjaman, maka Mas akan terima uangnya." Akhirnya Mas Dika menerima amplop tersebut. "Terima kasih, Mas. Meski secara sembunyi-sembunyi tapi Mas Dika sudah sangat peduli sama aku. Sekarang utangku sudah lunas, ya." "Iya, sayang. Itulah enaknya punya penggemar rahasia," kekehnya lagi. "Apa pun namanya, aku sangat bersyukur diperte
"Yang ini 'kan?" tanya Mas Dika sambil memelankan laju mobil. "Iya." Kami bermaksud menemui Serly di rumah orang tuanya. Aku mendapat kabar kalau Serly baru tiba tadi pagi. Aku mengajak Mas Dika untuk menemuinya sekarang karena aku berniat mengembalikan uang Serly yang dulu aku gunakan untuk menebus surat tanah pada Arumi. Kebetulan jumlahnya baru terkumpul sekarang. Sebenarnya di awal pernikahan aku sudah membahas ini dengan Mas Dika dan beliau sudah berniat menambah uangnya agar cepat lunas katanya. Tapi aku menolak karena tidak ingin merepotkan dia. "Ya bukan merepotkan, dong. Mas kan suamimu. Kita selesaikan bersama masalah ini." "Aku mohon, tolong ridhoi aku, ya." Aku merajuk agar diizinkan untuk tidak menerima bantuannya. "Baiklah, terserah kamu saja." Seperti biasa, Mas Dika hanya mengiyakan tanpa protes lagi. "Paling juga satu bulan lagi jumlahnya akan genap," jawabku setelah menghitung dalam hati. "Oke, Mas ikut yang menurut kamu baik saja. Ternyata benar juga apa
Mas Dika menatapku seakan bertanya siapa wanita yang berdiri tak jauh dari kami itu. "Arumi," bisikku pada Mas Dika, membuat lelaki itu mengangguk samar. Penampilan Arumi sangat jauh berbeda dengan dahulu sewaktu mengambil Mas Haikal dariku. Badannya terlihat agak kurus dan wajahnya penuh bintik hitam, sepertinya kurang terawat. Pakaiannya pun terlihat biasa saja, padahal dulu dia paling fashionable. Kami hanya diam menunggu reaksi wanita di hadapanku itu. Arumi berjalan perlahan mendekati kami dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Yang jelas dia tidak terlihat bersahabat atau pun baik-baik saja. "Hebat kamu Ros, setelah berhasil mengambil semua hartaku lewat Mas Haikal, sekarang kamu menikah dengan lelaki lain. Apakah aku harus bilang selamat atau justru menyebutmu payah?" Tanpa basa-basi dia langsung melontarkan kata-kata yang menurutku isinya fitnah semua. Mas Haikal hanya sekali mengajak Alfan jalan-jalan dan membelikan mainan serta makanan yang ternyata dijadikan alasan s