Dengan sedikit dalih aku menyerang Rosa terlebih dahulu, bahwa tidak baik berburuk sangka kepada suami yang sedang mencari nafkah. Sehingga seolah-olah aku tak bersalah apa-apa dan Rosa telah salah menilai kami. Sehingga Rosa merasa tersudut dan tak lagi bicara.
Arumi terus menerus menghubungiku, aku terpaksa menerima panggilannya di dalam kamar sementara Rosa sedang memasak di dapur. "Kamu lama banget, Mas? Kapan kembali ke sini?" "Aku baru saja sampai, Rumi. Tadi mampir ke toko mainan dulu." "Jangan lama-lama, Mas! Nanti kamu lupa pulang ke sini." Ya ampun ternyata seposesif ini Arumi? Sangat berbeda dengan Rosa yang penurut dan tak banyak protes. "Iya, sayang. Sabar ya!" Obrolan kami terhenti ketika pintu kamar diketuk oleh Rosa, dia memintaku segera sarapan. Sebenarnya aku sudah sarapan di rumahnya Arumi tadi pagi. Tapi tak enak juga menolak makan di sini, aku harus tetap menghargai Rosa sebagai istri. Supaya dia tidak tambah curiga. Karena aku belum bisa menguasai Arumi sepenuhnya. Tak ada percakapan antara aku dan Rosa di meja makan. Hanya sesekali mengomentari Alfan yang makannya masih berantakan. Tapi Arumi rupanya sudah diliputi rasa cemburu yang berlebihan. Bagus sih, itu artinya di sudah cinta mati kepadaku. Hanya sedikit merepotkan saja kalau sedang seperti ini. Baru saja beberapa suap aku makan, ponsel di saku celanaku kembali bergetar. Segera aku memeriksanya, dan benar saja Arumi kembali menghubungiku. "Ada apa lagi, Mi?" tanyaku sambil berbisik setelah berada di teras. "Mas cepat ke sini lagi!" "Iya, nanti. Sebentar ya, aku masih menemani Alfan bermain." "Baiklah, kalau begitu sekarang aku kirimkan poto-poto kita kemarin kepada Rosa dan bilang apa yang terjadi diantara kita." Ya ampun. Kenapa Arumi jadi seperti ini. Aku harus segera kembali sebelum dia berbuat nekad. Belum saatnya Rosa tahu tentang ini. "Mas berangkat lagi ya, Arumi ada acara mendadak katanya, jadi Mas harus segera ke sana," pamitku pada Rosa. Rosa tak menjawab, aku tahu dia kecewa tapi aku harus segera menemui Arumi. Tujuanku belum tercapai, saat ini aku harus tetap berlagak menurut para Arumi. *** Tiba di rumah Arumi aku mendapati lelaki bertubuh gemuk dan rambut sedikit tipis di bagian depannya, sudah menungguku di ruang tengah, dengan wajah tak bersahabat. Rizal, lelaki yang jauh lebih tua dari Arumi memandangku tajam. Apakah dia sudah mengetahui bahwa istrinya telah bertekuk lutut kepadaku? Pantas saja Arumi tergila-gila padaku, rupanya aku jauh lebih muda dan lebih menarik dari suaminya. "Aku sudah tahu kelakuan kalian di belakangku. Bagiku tidak masalah jika harus melepaskan Arumi saat ini pun juga. Hanya disayangkan, Arumi jatuh ke tangan lelaki sepertimu. Tapi percuma juga jiga aku berusaha menghalang-halangi kalian, Arumi sudah dibutakan oleh cinta." Rizal berkata panjang lebar sedang aku tak berniat menjawab sedikitpun. "Mas, sebenarnya aku .... " Entah apa yang akan dijelaskan oleh Arumi karena Rizal dengan cepat memotong kalimatnya. "Tidak usah menjelaskan apa pun atau pun membela diri. Itu hanya akan semakin membeberkan borok kalian. Aku tahu pernikahan kita karena perjodohan orang tua dan aku kira kamu faham semuanya, Arumi!" Rizal menatap Arumi yang semakin menunduk. Kemudian dia beralih padaku. "Dan kamu, jangan berharap bisa hidup enak menikmati hasil kerja kerasku! Aku akan melepaskan dia supaya kalian tidak terus-menerus menumpuk dosa. Dan aku sudah tidak mau bersabar lagi menghadapi kelakuan dia." Apa maksudnya? Bukankah pabrik roti itu warisan orang tua Arumi? Tentu saja menjadi hak Arumi. Dia hanya berhak pada toko bangunan yang memang sudah menjadi usahanya sebelum menikah dengan Arumi. Aku tetap diam, karena tak ada yang perlu aku katakan. Jika ikut berbicarapun hanya akan menambah masalah, dalam hal ini aku memang yang bersalah. Aku bukan mencari ribut, tapi mencari kehidupan yang layak. Jika Rizal secara sukarela menyerahkannya maka apalagi yang perlu diributkan? Rizal pergi setelah mengatakan menyetujui perceraian mereka. Sebenarnya aku sempat bingung, kok bisa segampang itu dia melepaskan Arumi? Apakah karena mereka tidak saling mencintai? Atau karena masing-masing punya perusahaan sendiri, hingga tak jadi masalah jika berpisah pun tak akan kekurangan materi? Atau karena tidak ada keturunan sebagai pengikat? Ah, kenapa aku malah memikirkannya? Seharusnya aku berbahagia karena sebentar lagi Arumi dan semua kekayaannya akan menjadi milikku. Aku akan bebas membeli apapun yang aku inginkan tanpa harus cape-cape bekerja. Rizal pergi dengan membawa semua barang-barangnya termasuk satu mobil dan dua buah moge yang kukira itu milik Arumi. Namun nyatanya tiga buah kendaraan itu adalah milik Rizal dari sebelum mereka menikah. "Jadi moge itu milik Rizal?" tanyaku sedikit kecewa. "Iya, Mas. Dari sebelum kami menikah dia sudah punya koleksi motor gede seperti itu. Setelah menikah denganku mana mau aku mengizinkan dia membeli kendaraan seperti itu." "Padahal aku suka, loh. Dan belum sempat mencoba keburu dibawa sama yang punya," ucapku sambil memasang wajah kecewa. "Mending naik mobil, Mas. Adem dan tidak kepanasan." "Tapi kan sensasinya beda, sayang. Nanti kalau kita sudah menikah aku mau punya motor seperti itu," bujukku. "Nggak ah." Saat ini dia boleh bilang seperti itu, tapi nanti aku pastikan dia tak akan bisa menolak semua keinginanku. Aku yakin.Beberapa hari setelah itu aku pindah ke rumah yang tempo hari Mas Dika tunjukkan. Tempatnya tidak jauh dari sekolah Delia. Rumah lamaku, sekarang dijadikan sebagai tempat para penjahitku bekerja. Jadi aku masih harus sering ke sana untuk memantau pekerjaan mereka. Sementara Mas Dika juga masih bolak balik ke luar kota mengurusi tokonya. Meski hanya dua kali dalam seminggu. "Sayang, Mas ada ide nih. Tapi sepertinya kamu juga bakalan suka." Sore ini ketika kami berkumpul sambil menunggu adzan magrib, Mas Dika sepertinya berbicara agak serius. Aku pun menatapnya serius sebentar. "Ide apa, Mas?" tanyaku seraya menambahkan gula pada teh hangat yang baru saja kuseduh. "Bagiamana kalau uang yang tempo hari itu kita gunakan untuk membeli ruko di dekat pasar." "Ruko yang masih dalam proses pembangunan itu, Mas." "Iya, kebetulan tempatnya strategis, jadi bisa untuk mengembangkan usahamu. Siapa tahu kedepannya bisa menjadi butik yang besar." Aku berpikir sejenak, meski usahaku sekarang
Aku segera menggeser kursi yang sedang kududuki bermaksud hendak menyapanya. Lalu dengan isyarat aku mengajak Mas Dika untuk ikut berdiri. Meski terlihat bingung tapi Mas Dika akhirnya ikut berdiri dan mengikutiku melangkah mendekati lelaki itu. "Mas Rizal," sapaku. Merasa dipanggil namanya lelaki itu menoleh lalu terlihat sedikit bingung. Baru beberapa detik kemudian dia tersenyum. "Rosa!" serunya. "Iya, Mas. Maaf, mengganggu. Apa kabar Mas?" "Seperti yang kamu lihat Ros, alhamdulillah baik. Kamu sendiri?" "Alhamdulillah baik juga, Mas. Oh ya, kenalkan ini Mas Dika, suamiku." Aku menunjuk Mas Dika, lalu keduanya bersalaman. "Saya Rizal, mantan suaminya Arumi. Saya dan Rosa mungkin senasib." Mas Rizal tertawa kecil sambil mempersilahkan kami duduk. Awalnya aku menolak karena tak enak, tapi Mas Dika mengiyakan. Akhirnya kami bergabung ke meja Mas Rizal bersama wanita yang semula kusangka istrinya, tapi ternyata adiknya Mas Rizal. Sejak terjadi pengkhianatan itu, ba
Aku tersenyum lebar mendengarnya. Jadi selama ini dia tidak pernah membahas Mas Haikal bukan karena menjaga perasaannya? Tapi karena untuk lebih menjaga perasaanku. "Loh, kita mau kemana Mas?" Aku merasa heran ketika Mas Dika mengambil jalur lurus sementara untuk menuju rumahku seharusnya belok kiri. "Mas mau nunjukin sesuatu," "Apa?" "Kejutan dong," "Baiklah, kalau begitu aku tutup mata." "Ide bagus," ucapnya kemudian. Aku menutup mataku dengan kedua telapak tangan. Terlihat lucu memang, karena dia yang akan memberi kejutan tapi aku yang punya inisiatif untuk menutup mata. Aku masih menutup mataku ketika aku merasa mobil berhenti. "Bentar." Mas Dika terdengar membuka pintu di sebelahnya lalu berjalan memutar untuk membukakan pintu disebelahku. "Ayah, ini rumah siapa?" tanya Alfan ketika aku baru saja turun. "Rumah?" Aku bergumam. "Iya," jawab Mas Dika. Lalu aku merasa dia meraih tanganku yang menutupi mata. "Sudah, buka saja. Toh Alfan sudah ngomong kita sedang berada
"Ehem, kayaknya drama pelukannya diskip dulu, deh." Aku terkejut mendengar deheman Serly, lupa kalau kami sedang berada di rumah orang. "Makasih, ya, Ser. Karena kamu sudah bisa menjaga rahasia ini," kata Mas Dika." "Perjuangan banget, Mas. Aku sering hampir keceplosan ngomongin Mas Dika," kekeh Serly. Aku juga tak sadar ikut tertawa, begitupun Mas Dika dan Mas Helmi. "Oh ya, Mas. Berarti uang ini aku kembalikan sama Mas Dika ya?" Aku mengambil amplop yang sudah aku simpan di meja tadi lalu menyerahkannya pada Mas Dika. Tapi Mas Dika malah tertawa kecil membuat aku menautkan alis. Sementara tanganku masih terulur. "Baiklah, karena ini ijab qobulnya pinjaman, maka Mas akan terima uangnya." Akhirnya Mas Dika menerima amplop tersebut. "Terima kasih, Mas. Meski secara sembunyi-sembunyi tapi Mas Dika sudah sangat peduli sama aku. Sekarang utangku sudah lunas, ya." "Iya, sayang. Itulah enaknya punya penggemar rahasia," kekehnya lagi. "Apa pun namanya, aku sangat bersyukur diperte
"Yang ini 'kan?" tanya Mas Dika sambil memelankan laju mobil. "Iya." Kami bermaksud menemui Serly di rumah orang tuanya. Aku mendapat kabar kalau Serly baru tiba tadi pagi. Aku mengajak Mas Dika untuk menemuinya sekarang karena aku berniat mengembalikan uang Serly yang dulu aku gunakan untuk menebus surat tanah pada Arumi. Kebetulan jumlahnya baru terkumpul sekarang. Sebenarnya di awal pernikahan aku sudah membahas ini dengan Mas Dika dan beliau sudah berniat menambah uangnya agar cepat lunas katanya. Tapi aku menolak karena tidak ingin merepotkan dia. "Ya bukan merepotkan, dong. Mas kan suamimu. Kita selesaikan bersama masalah ini." "Aku mohon, tolong ridhoi aku, ya." Aku merajuk agar diizinkan untuk tidak menerima bantuannya. "Baiklah, terserah kamu saja." Seperti biasa, Mas Dika hanya mengiyakan tanpa protes lagi. "Paling juga satu bulan lagi jumlahnya akan genap," jawabku setelah menghitung dalam hati. "Oke, Mas ikut yang menurut kamu baik saja. Ternyata benar juga apa
Mas Dika menatapku seakan bertanya siapa wanita yang berdiri tak jauh dari kami itu. "Arumi," bisikku pada Mas Dika, membuat lelaki itu mengangguk samar. Penampilan Arumi sangat jauh berbeda dengan dahulu sewaktu mengambil Mas Haikal dariku. Badannya terlihat agak kurus dan wajahnya penuh bintik hitam, sepertinya kurang terawat. Pakaiannya pun terlihat biasa saja, padahal dulu dia paling fashionable. Kami hanya diam menunggu reaksi wanita di hadapanku itu. Arumi berjalan perlahan mendekati kami dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Yang jelas dia tidak terlihat bersahabat atau pun baik-baik saja. "Hebat kamu Ros, setelah berhasil mengambil semua hartaku lewat Mas Haikal, sekarang kamu menikah dengan lelaki lain. Apakah aku harus bilang selamat atau justru menyebutmu payah?" Tanpa basa-basi dia langsung melontarkan kata-kata yang menurutku isinya fitnah semua. Mas Haikal hanya sekali mengajak Alfan jalan-jalan dan membelikan mainan serta makanan yang ternyata dijadikan alasan s