Agung justru tertawa. “Wa, ulang tahunku masih lama. Jangan nge-prank gini. Aku nggak suka.”Nawa mengambil napas panjang lalu mengembuskan pelan. Ia menguatkan diri untuk mengakhiri hubungannya dengan Agung. Ada halangan berupa janin yang telah bersemayam di rahimnya.“Mas, aku serius. Maaf, aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita menuju keseriusan. Aku nggak bisa. Kamu berhak dapat wanita yang jauh lebih baik dariku. Aku–“ Suara Nawa yang bergetar, terputus. Rasanya sulit melanjutkan kalimat.“Nawa, apa kamu salah minum obat?” Agung mencoba mengganti panggilan dengan panggilan video, tetapi Nawa enggan mengangkat.“Apa yang terjadi? Kenapa kamu ngelantur kayak gini? Ayo cerita,” tanya Agung. Ia mendengar suara isak tangis dari seberang.“Nggak ada apa-apa. Hanya saja, aku nggak siap berkomitmen. Carilah wanita lain."“Nggak masalah kalau kamu belum siap berkomitmen. Kita bisa menikah nanti. Bulan depan, tahun depan, atau depannya lagi. Atau lima tahun lagi. Asal kita punya status d
“Agung menjadi korban kerusuhan, Nduk,” ujar Heru.“Apa!” pekik Nawa. “Kejadiannya kapan, Pak? Apa parah?”“Kejadiannya tadi malam. Katanya, mendadak sekelompok orang menyerang pos tempat berjaga TNI. Agung sebenarnya tidak sedang bertugas, tapi dia datang untuk membantu rekan-rekannya. Rame diberitakan.”“Aku semalam masih ngobrol sama dia, lho, Pak. Tepatnya jam berapa kejadiannya?”“Bapak juga kurang tahu.”Nawa terpejam, menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. “Aku ini sedang perjalanan pulang, Pak. Aku sakit, dikasih cuti. Dan aku memutuskan untuk pulang buat istirahat di rumah.”“Owalah mau pulang? Hati-hati di jalan. Sudah sampai mana?”“Masih di tol.”“Bapak tunggu. Perlu dijemput nggak? Kamu naik apa?”“Nggak usah dijemput. Aku naik taksi online. Ribet mau naik kendaraan umum karena badanku lemes banget, Pak.”“Ya sudah. Nanti kalau sampai rumah Bapak panggilkan tukang urut. Kecapian kamu.”“Ya, Pak.”“Hati-hati.”Telepon pun dimatikan setelah bertukar salam.Air mata Nawa
Lukman mengarahkan kamera pada Agung yang berbaring tanpa pergerakan di ranjang pasien. Beberapa alat penunjang kesehatan dipasang di tubuh pria itu. Matanya terpejam. “Ya Allah, anakku!” Nurul menjerit histeris. Nawa memeluk tubuh Nurul sambil menahan diri agar tidak ikut meledak tangisnya. “Tante, yang tenang, sabar.” Bunyi suara mesin kehidupan di seberang sana membuat Nawa kian merinding. “Agung, Nak. Buka matamu. Sapa ibumu ini, panggil 'Buu' seperti kemarin.” Nurul kembali tergugu. Nawa menatap dalam Agung lewat layar ponsel Nurul. Suara pria itu masih bisa didengarnya tadi malam. Sekarang, hanya alat bantu yang mewakili suaranya. Tanda bahwa ia tidak berdaya. Sesekali air mata Nawa menitik, lekas diseka. “Agung kena tembakan dan pukulan di kepalanya. Dia kehilangan banyak darah dari tembakan itu. Sementara pukulan di kepalanya itu yang ditengarahi menjadi pemicu koma. Kepalanya memang tidak berdarah, tapi darah justru menggumpal di dalam, tidak bisa keluar. Dia akan segera
Boby hanya menatap datar dengan kedatangan Arbi. “Kita bicara nanti. Untuk saat ini, saya hanya ingin berdiskusi sebentar dengan karyawan di sini.”“Tapi, Mr–““Kamu bisa keluar.” Boby mengkode dengan kepala pada anak buahnya untuk meminta agar Arbi dikeluarkan dari ruang rapat.Anak buah Boby mengangguk dan sedikit menyeret Arbi keluar ruangan. Ruangan kembali ditutup.“Setiap bulan ada laporan masuk ke saya. Entah itu laporan produksi, keuangan, ataupun marketing. Di antara tiga perusahaan yang ada dalam naungan Sunmond Grup, hanya perusahaan ini yang kacau. Saya bisa saja langsung memanggil Arbi, tapi tidak. Saya ingin tahu kinerja kalian dulu dan bagaimana Arbi memimpin kalian.”Boby membuka laptop dan membaca laporan data. Tiap kepala divisi diminta menjelaskan apa yang telah mereka laporkan dan kerjakan.Dari situ, bisa dilihat bagaimana para staf keuangan yang berbeda penjelasan. Mereka saling lempar kesalahan hingga ruangan ribut.Brama pun berdiri. “Mr, izinkan saya sebagai k
“A-apa? Ti-tiada gimana maksud Tante?” Nawa memastikan. Ia duduk di samping Nurul.Nurul menangis histeris. “Sebelum dioperasi, Agung sudah dulu mengembuskan napas terakhir. Dia meninggalkan kita semua, Wa. Agung meninggal.”Bahu Nawa terkulai. Ia terpaku di tempat. Tubuhnya terlalu lemas untuk digerakkan. Pandangannya kosong, mengarah pada satu titik. Lalu, tetes demi tetes air membasahi pipinya.“Tante, jangan bercanda.”Nurul menggeleng. Ia menyerahkan ponselnya pada Nawa. Di ponsel itu, masih tersambung panggilan video dengan ayahnya Agung. Wajah Lukman juga terlihat sangat terpukul.“Om, tolong katakan dengan jelas. A-apa yang terjadi dengan Mas Agung?”“Agung ... telah berpulang, Wa. Sudah satu jam lebih saya bersikukuh di sini, menunggu dia bernapas lagi, bangun lagi, hidup lagi. Tapi dia tetap diam. Baru saya menguatkan diri menghubungi ibu di rumah.”“Tolong bangunkan terus Mas Agung, Om. Dia pasti maunya dibangunkan dulu baru sadar. Atau biarkan saya yang bicara sama dia.” N
Antara bingung, bahagia, dan sedih, Nawa menatap bingung pada underware-nya yang bernoda darah. “Apa jangan-jangan waktu itu Brama kutu kupret itu membohongiku?” Nawa memang tidak bertanya macam-macam pada dokter atau perawat tentang sakitnya di rumah sakit. Sebab ia sudah terlalu terpukul dengan kabar dari Brama. Pun tidak pernah mengetes dengan testpack karena sudah cukup percaya pada apa yang dikatakan Brama. Obat dari dokter juga tidak pernah dicek itu obat untuk sakit apa. “Atau aku keguguran? Tapi kenapa perutku nggak sakit? Bukankah keguguran itu katanya sakit?” Nawa terus menepuk pelan perut sambil menebak-nebak sendiri sampai suara Heru menginterupsinya. “Nduk, ayo! Kamu kenapa lama sekali di kamar mandi?” “I-iya, Pak. Bentar!” Nawa membersihkan semuanya, lalu keluar. Setelahnya, ke kamar untuk sedikit berdandan dan menyiapkan diri. “Pak, maaf atas semua kesalahanku,” ujar Nawa ketika menghampiri Heru. “Iya, Bapak maafkan. Tapi kenapa tiba-tiba minta maaf?” Ah, Nawa
“Arbi, sejak pertama kali aku berani menantangmu, saat itulah aku sangat berhati-hati. Aku yakin kamu menyuruh seseorang untuk menyelidikiku. Tapi pasti mereka tidak menemukan informasi berarti tentang diriku. Karena aku totalitas dalam menyamar.” Brama duduk di meja, menatap Arbi tajam.“Dan Arbi, aku tahu skandalmu dengan sekretarismu itu. Kamu sering tidak ada di kantor dan check-in sama wanita ulat itu. Padahal kamu sudah punya anak dan istri,” lanjut Brama.“Ini surat pemberhentian dan pesangonmu. Sekarang kemasi barangmu dari sini. Kamu saya haramkan menginjak Sunmond Grup dan saya pastikan kamu tidak bisa lagi bekerja di perusahaan saya ” Boby menyerahkan amplop.“Tapi, Om–““Kalau kamu menolak, akan banyak pasal berlapis yang siap menyeretmu ke bui. Pertama penggelapan uang perusahaan. Kedua perselingkuhan. Ketiga penganiayaan terhadap Brama yang buktinya baru saja saya rekam. Keempat penyelewengan pajak. Dan masih banyak lagi.”“Berterima kasihlah pada daddy-ku karena dia tid
“Wait, wait. Memangnya Pak Arbi ke mana kok Presdir-nya ganti? Ini gimana sih maksudnya?” tanya Nawa.“Ceritanya panjang. Ada huru-hara selama tiga hari selama kamu nggak ada di kantor. Yang jelas, sepertinya sekarang Presdir di sini bukan lagi Pak Arbi,” jelas Frengki.“Huru-hara apa?”“Nona Nawa, dipanggil Mr. Boby dan Sir Brama ke ruangannya,” ujar seorang ajudan Boby.“I-iya. Sa-saya ke sana sekarang.” Nawa menatap sekilas pada Frengki. Pria itu hanya mengepalkan tangan untuk menyemangati.“Habislah aku. Untuk apa bos besar mencariku? Mana pagi-pagi pula,” gumam Nawa seraya berjalan menuju ruang Presdir. Sang ajudan tadi mengawalnya.Begitu sampai di depan ruangan Presdir, Nawa mengetuk pintu sambil harap-harap cemas. Lalu, pintu terbuka otomatis.“Selamat pagi, Mr. Mr. Memanggil saya?” tanya Nawa sopan.Di ruangan itu hanya ada Boby yang duduk di kursi kebesaran.“Ya. Duduklah.” Boby memberi titah.Nawa duduk dengan gemetar.“Kamu tahu kesalahan apa yang kamu perbuat sampai saya