Boby hanya menatap datar dengan kedatangan Arbi. “Kita bicara nanti. Untuk saat ini, saya hanya ingin berdiskusi sebentar dengan karyawan di sini.”“Tapi, Mr–““Kamu bisa keluar.” Boby mengkode dengan kepala pada anak buahnya untuk meminta agar Arbi dikeluarkan dari ruang rapat.Anak buah Boby mengangguk dan sedikit menyeret Arbi keluar ruangan. Ruangan kembali ditutup.“Setiap bulan ada laporan masuk ke saya. Entah itu laporan produksi, keuangan, ataupun marketing. Di antara tiga perusahaan yang ada dalam naungan Sunmond Grup, hanya perusahaan ini yang kacau. Saya bisa saja langsung memanggil Arbi, tapi tidak. Saya ingin tahu kinerja kalian dulu dan bagaimana Arbi memimpin kalian.”Boby membuka laptop dan membaca laporan data. Tiap kepala divisi diminta menjelaskan apa yang telah mereka laporkan dan kerjakan.Dari situ, bisa dilihat bagaimana para staf keuangan yang berbeda penjelasan. Mereka saling lempar kesalahan hingga ruangan ribut.Brama pun berdiri. “Mr, izinkan saya sebagai k
“A-apa? Ti-tiada gimana maksud Tante?” Nawa memastikan. Ia duduk di samping Nurul.Nurul menangis histeris. “Sebelum dioperasi, Agung sudah dulu mengembuskan napas terakhir. Dia meninggalkan kita semua, Wa. Agung meninggal.”Bahu Nawa terkulai. Ia terpaku di tempat. Tubuhnya terlalu lemas untuk digerakkan. Pandangannya kosong, mengarah pada satu titik. Lalu, tetes demi tetes air membasahi pipinya.“Tante, jangan bercanda.”Nurul menggeleng. Ia menyerahkan ponselnya pada Nawa. Di ponsel itu, masih tersambung panggilan video dengan ayahnya Agung. Wajah Lukman juga terlihat sangat terpukul.“Om, tolong katakan dengan jelas. A-apa yang terjadi dengan Mas Agung?”“Agung ... telah berpulang, Wa. Sudah satu jam lebih saya bersikukuh di sini, menunggu dia bernapas lagi, bangun lagi, hidup lagi. Tapi dia tetap diam. Baru saya menguatkan diri menghubungi ibu di rumah.”“Tolong bangunkan terus Mas Agung, Om. Dia pasti maunya dibangunkan dulu baru sadar. Atau biarkan saya yang bicara sama dia.” N
Antara bingung, bahagia, dan sedih, Nawa menatap bingung pada underware-nya yang bernoda darah. “Apa jangan-jangan waktu itu Brama kutu kupret itu membohongiku?” Nawa memang tidak bertanya macam-macam pada dokter atau perawat tentang sakitnya di rumah sakit. Sebab ia sudah terlalu terpukul dengan kabar dari Brama. Pun tidak pernah mengetes dengan testpack karena sudah cukup percaya pada apa yang dikatakan Brama. Obat dari dokter juga tidak pernah dicek itu obat untuk sakit apa. “Atau aku keguguran? Tapi kenapa perutku nggak sakit? Bukankah keguguran itu katanya sakit?” Nawa terus menepuk pelan perut sambil menebak-nebak sendiri sampai suara Heru menginterupsinya. “Nduk, ayo! Kamu kenapa lama sekali di kamar mandi?” “I-iya, Pak. Bentar!” Nawa membersihkan semuanya, lalu keluar. Setelahnya, ke kamar untuk sedikit berdandan dan menyiapkan diri. “Pak, maaf atas semua kesalahanku,” ujar Nawa ketika menghampiri Heru. “Iya, Bapak maafkan. Tapi kenapa tiba-tiba minta maaf?” Ah, Nawa
“Arbi, sejak pertama kali aku berani menantangmu, saat itulah aku sangat berhati-hati. Aku yakin kamu menyuruh seseorang untuk menyelidikiku. Tapi pasti mereka tidak menemukan informasi berarti tentang diriku. Karena aku totalitas dalam menyamar.” Brama duduk di meja, menatap Arbi tajam.“Dan Arbi, aku tahu skandalmu dengan sekretarismu itu. Kamu sering tidak ada di kantor dan check-in sama wanita ulat itu. Padahal kamu sudah punya anak dan istri,” lanjut Brama.“Ini surat pemberhentian dan pesangonmu. Sekarang kemasi barangmu dari sini. Kamu saya haramkan menginjak Sunmond Grup dan saya pastikan kamu tidak bisa lagi bekerja di perusahaan saya ” Boby menyerahkan amplop.“Tapi, Om–““Kalau kamu menolak, akan banyak pasal berlapis yang siap menyeretmu ke bui. Pertama penggelapan uang perusahaan. Kedua perselingkuhan. Ketiga penganiayaan terhadap Brama yang buktinya baru saja saya rekam. Keempat penyelewengan pajak. Dan masih banyak lagi.”“Berterima kasihlah pada daddy-ku karena dia tid
“Wait, wait. Memangnya Pak Arbi ke mana kok Presdir-nya ganti? Ini gimana sih maksudnya?” tanya Nawa.“Ceritanya panjang. Ada huru-hara selama tiga hari selama kamu nggak ada di kantor. Yang jelas, sepertinya sekarang Presdir di sini bukan lagi Pak Arbi,” jelas Frengki.“Huru-hara apa?”“Nona Nawa, dipanggil Mr. Boby dan Sir Brama ke ruangannya,” ujar seorang ajudan Boby.“I-iya. Sa-saya ke sana sekarang.” Nawa menatap sekilas pada Frengki. Pria itu hanya mengepalkan tangan untuk menyemangati.“Habislah aku. Untuk apa bos besar mencariku? Mana pagi-pagi pula,” gumam Nawa seraya berjalan menuju ruang Presdir. Sang ajudan tadi mengawalnya.Begitu sampai di depan ruangan Presdir, Nawa mengetuk pintu sambil harap-harap cemas. Lalu, pintu terbuka otomatis.“Selamat pagi, Mr. Mr. Memanggil saya?” tanya Nawa sopan.Di ruangan itu hanya ada Boby yang duduk di kursi kebesaran.“Ya. Duduklah.” Boby memberi titah.Nawa duduk dengan gemetar.“Kamu tahu kesalahan apa yang kamu perbuat sampai saya
“Hey, slow, Nawa. Ada apa ini?” tanya Brama sambil terus menahan senyum. Lengan bajunya diserat Nawa, entah akan dibawa ke mana ia.“Nawa, apa kamu terlalu berna*su denganku sampai segininya? Apa yang kamu inginkan dariku? Jangan-jangan kamu mau menodaiku." Brama kembali menggoda.“Diam!”Tiba di tempat sepi, Nawa berhenti. Ia melepaskan cekalan di lengan baju Brama sambil berkacak pinggang.“Kenapa kamu bohong?” tanya Nawa mengintimidasi.“Bohong masalah apa?”“Pas di rumah sakit, katamu aku hamil. Kenapa kamu ngomong gitu? Padahal aku nggak hamil. Keterlaluan kamu, ya!”Bukannya merasa bersalah, Brama malah terpingkal-pingkal. “Tapi nyatanya saat itu kamu percaya, kan? Aku jadi curiga kalau kamu pernah ‘itu’ sampai segitu takutnya dan percaya saat aku bilang kamu hamil. Kalau nggak pernah, kamu pasti akan menyangkal atau ngamuk dan nggak percaya sama yang aku ucapkan. Hayo ngaku?”“Ini bukan hal lucu yang pantas kamu tertawakan, Brama!” Bahkan Nawa tidak lagi memberi embel-embel mas
Bagaimana mungkin Nawa bisa lupa dengan wajah pria yang pernah menodainya? Ya, katakanlah saat itu ia tidak dalam kondisi dipaksa, tetapi jatuhnya tetap ternoda, bukan? Apalagi warna mata pria itu. Mata yang seumur hidup akan melekat kuat dalam memori otaknya.Banyak wartawan terutama pemburu berita bisnis dan paparazi yang mengambil gambar, sesekali mendekat, ingin mewawancarai Brama. Namun, dua orang asisten setia melindungi tubuh sang bos.“Nawa, dia ini manusia apa bidadari laki-laki, sih? Sumpah gantengnya sundul langit nggak ada cela.” Sari berbicara lirih, tetapi gelagatnya begitu gemas memandang Brama.Nawa masih membeku. Menghirup udara saja rasanya kepayahan. Seolah-olah paru-parunya diikat kuat sebuah tali tak kasat mata. Pertemuan pertama di Bali, lalu bagaimana mungkin bertemu lagi di Gresik ini?“Ini kayak cerita novel nggak sih? Dulu aku suka mem-bully penulisnya, kenapa bisa membuat plot sengawur itu. Lah, sekarang aku kayak kena tulah, malah ngalami sendiri.” Nawa mem
Wanita bekas, dua kata yang diucapkan Brama terasa menancap paksa seperti pedang yang dihunus di pikiran Nawa. Bagi pria itu, Nawa hanya sebatas apa yang diucapkan.Kaca-kaca di mata Nawa siap pecah. Ia ingin mengelak atau membalas ucapan pedas pria di hadapan, tetapi sadar diri. Brama benar, ia hanya bekas dan itulah kenyataannya. Secara tidak langsung, Brama menilai dirinya wanita murahan.“Oh, ya, apakah benih saya tumbuh di rahimmu setelah kejadian itu?” Brama menatap perut Nawa.“Saya nggak nyangka, seperti ini pria yang sudah merusak hidup saya. Tidak sadarkah Anda kalau Anda itu begitu breng*ek?”Brama tertawa, lalu kembali ke kursinya. Ia membuka laptop dan mulai mempelajari lebih detail data perusahaan.“Padahal kalau kamu hamil, saya bersedia bertanggung jawab. Lumayan, punya anak tanpa harus menikah. Itu pun kalau kamu melakukannya hanya dengan saya. Tapi kalau kamu lakukan dengan pria lain juga maka–““Stop!” Kaca-kaca di mata Nawa pecah. Ia menangis.“Hey, harusnya kamu b