Waktu dan tempat memaki Brama dipersilakan 😅 Rumah tangga tidak ada yang sempurna adem ayem ye kan? Apalagi rumah tangga horang kaya 😂
“Saya ikut, Tuan.” Ida mendekat, lalu tergopoh-gopoh membuka pintu rumah.“Aku juga, Kak.” Stevie menyambar.“Cukup Mak Ida! Stevie, kau jangan ikut!” pekik Brama.Di luar, Gilang segera menyiapkan mobil. Nawa yang masih ada dalam gendongan Brama, lalu dimasukkan setelah mobil siap dan dibukakan Ida.Ida duduk di depan bersama Gilang. Sementara kepala Nawa dipangku Brama di kursi tengah.Mobil lantas melaju menuju rumah sakit.“Nyonya kenapa bisa pingsan, Tuan?” tanya Ida.“Entahlah. Tubuhnya menggigil. Bibirnya sudah agak biru. Mungkin dia sudah lama kedinginan.” Suara Brama bergetar. Ia sangat menyesal tidak langsung ke kamar dan tahu kondisi istrinya lebih awal.“Semoga Nyonya nggak kenapa-napa. Akhir-akhir ini Nyonya memang mengeluh capek, Tuan. Saya maklum karena habis liburan dan nunggu bapaknya di rumah sakit. Belum lagi ngurus pekerjaan. Sampai lupa dengan kondisi badannya sendiri.”Penjelasan Ida menjadi pukulan telak untuk Brama. Ia sibuk mendiamkan sang istri tanpa tahu kea
Brama mengepalkan tangan kuat-kuat. Ia maju mendekat ke kamar yang terdengar bising tersebut. Tangannya mengambang, ingin menggedor. Namun, suara selanjutnya membuatnya urung.“Ya, aku memang cinta sama kakakmu! Dia juga jauh lebih segalanya daripada kamu! Kalau kamu berpikir untuk tukar pasangan, ayo dengan senang hati! Aku malah bahagia!” Suara Stevie melengking.Bima tertawa. "Tapi kalau sampai Brama mau, dia bodoh mau menjadikanmu pengganti Nawa yang sempurna!""Aku muak sama kamu, sama pernikahan ini!"“Aku jauh lebih muak sama kamu! Kamu mau tinggal di sini terus silakan, Vie! Aku akan menempati rumah baru itu sendiri. Semalam aku nyenyak tidur di sana tanpa melihatmu yang buatku enek!”“Kalau bukan gara-gara anak sialan ini, aku nggak mau kamu nikahi, Bim! Aku nyesel nikah sama kamu!”“Sama! Aku menikahimu juga karena anak sialan itu! Mungkin ini hukuman karena dosa zina yang kulakukan sama kamu. Hidupku hancur! Hidupku berantakan! Katamu mumpung nggak ada orang di rumah, ayo k
“Ya, lebih baik kemasi barang lo dan segera pergi dari sini sebelum emosi gue kembali naik dan gue cincang kalian berdua! Bawa istrimu juga!” Brama lalu berderap meninggalkan Bima. Namun, ia berhenti di pintu dapur.“Tempati rumah baru itu. Kalau sampai lo kabur, gue cari sampai ke lubang semut sekalipun karena lo masih punya banyak utang ke gue.”Brama lantas benar-benar meninggalkan adiknya.“Gilang, jaga rumah kalau mereka sudah pergi!” titahnya pada Gilang yang berjalan mengekor.“Siap, Sir.”Brama mengambil tas berisi barang dan keperluan Nawa, lalu segera meninggalkan rumah dengan mengendarai mobil.Pria itu merasa kepalanya terasa mau pecah. Semalam tidak bisa tidur dengan benar, sekarang ditambahi masalah Bima. Ia pun akhirnya menepikan kendaraannya setelah agak jauh dari rumah.“Si*l!” umpat Brama sambil memukul setir.Brama sebenarnya tidak berniat membunuh Bima sungguhan. Semua hanya gertak sambal karena sakit hati dengan pemikiran adiknya yang ingin tukar pasangan. Ia juga
“Pisah?” tanya Brama memastikan.“Ya. Kita hidup di jalan masing-masing.” Nawa memutar posisi tidur.“Cerai maksudmu?” Brama kembali bertanya. Ia tertawa sumbang.“Ya.”Keduanya kini saling membelakangi. Nawa tidur membelakangi Brama. Sementara Brama ikut membelakangi. Pria itu memijat kening sambil menyembunyikan riak amarah.“Kenapa kamu minta pisah?”“Karena kamu sudah berubah! Aku capek tiap hari terus minta maaf, tapi kamu terus diam mengabaikanku. Mungkin itu juga kode halus darimu untukku kalau kamu sudah tidak menginginkanku lagi.” Suara Nawa terdengar bergetar, khas sedang memendam tangis.Jika biasanya Nawa jarang memanggil Brama dengan sebutan kamu, kini ia menggunakannya untuk menegaskan ia sedang marah besar.“Apa penyelesaian bertengkar harus dengan cara pisah?” Brama kembali tertawa. “Cetek sekali pemikiranmu. Kamu pikir kalau ada masalah sedikit jalan keluarnya cerai? Ck! Wanita macam apa yang kunikahi ini.”“Lalu apa? Aku sudah berusaha mengajak bicara, tapi kamu sela
Brama menatap sayu istrinya. “Fitnahmu sangat menyakitkan! Aku nggak pernah meladeninya apalagi sampai mengajaknya ke ranjang! Kamu berubah, Nawa! Berani-beraninya menuduh suami berzina.”“Kamu yang berubah! Daripada bicara dari tadi nggak ada ujungnya, sekarang mari kita selesaikan semuanya. Sir, sejak awal nikah kita sepakat kalau selingkuh adalah zona merah bahkan zona hitam. Tapi apa? Kamu mengingkarinya.”“Apa bedanya sama kamu? Kamu juga selingkuh!”“Enggak! Video yang kamu lihat itu hanya sebatas bercanda. Bahkan niat selingkuh pun aku nggak punya! Nggak kayak kamu yang terang-terangan di depanku saling sentuh dengan Stevie!”“Lalu karena kamu menganggapku selingkuh yang sebenarnya salah paham itu kamu minta pisah?”Nawa tertawa sumbang. “Salah paham?”Ia sebenarnya tidak sungguh-sungguh meminta pisah. Semua yang diucapkannya karena pengaruh emosi. “Lalu apa ada jalan lain selain pisah? Kurasa itu keputusan tepat.”“Semua hanya salah paham, Sayang. Ayolah, cobalah mengerti. Bag
Brama mengucapkan salam ketika masuk, mengabaikan apa yang didengarnya tadi.“Pak, sudah lama di sini?” tanya Brama sambil mencium tangan mertuanya takzim.“Baru datang. Kamu juga kenapa nggak ngabari kalau Nawa sakit?”“Putri Bapak yang minta dan mengancam agar saya tidak mengabari Bapak. Saya bisa apa?” Brama tergelak. Ia lalu mendekati Zidan. Keduanya lantas saling jabat tangan.“Kukira adikku sakit karena kamu hajar,” kata Zidan. "Awas saja berani KDRT. Kita gelut."Brama kembali tertawa sambil menghampiri Nawa. Ia mengulurkan tangan. Meskipun masih marah, Nawa menerima dan mencium tangan itu. Brama lantas menyentuh pelan hidung istrinya. “Wanita manis kayak gini kok dihajar apalagi KDRT, Mas. Rugi dong.”Zidan tertawa, menepuk pundak adik iparnya.Brama duduk di bed pasien bersama Nawa. Sesekali ia merangkul istrinya yang tengah merajuk tersebut. Nawa diam dan menerima diperlakukan demikian. Jika berontak, ia takut akan ketahuan Heru dan Zidan. Sesuai prinsip pernikahan, keduanya
“Gue sedang kerja, Be*o! Lo nggak lihat? Urusan utang bisa nggak dibahas nanti!” bentak Bima kesal.“Gue maunya sekarang.” Brama lalu menatap rekan kerja sang adik. “Hei, kalian semua! Dengar! Pria ini breng*ek, punya utang banyak nggak ada niat bayar! Jadi, pecat saja dia!”“Bram, apa-apaan sih, lo!”“Sekarang biarkan saya membuat perhitungan sama pria breng*ek ini.”“Brama!”Brama hanya mengedikkan bahu. Pria itu lantas menyeret Bima menuju mobil. Dengan paksaan, akhirnya Bima duduk di kursi samping kemudi. Pria itu pasrah sebab Brama terus mengancam. Lantas, kendaraan roda empat tersebut melaju.“Lo mau menghancurkan hidup gue? Iya, gue tahu utang gue banyak, tapi nggak bisakah lo kasih gue kelonggaran, hah! Lo malah memutus rezeki gue!” Bima marah, tetapi suaranya bergetar. Perasaannya antara malu, marah, dan benci bercampur jadi satu saat melihat kakaknya.Brama masih memasang wajah datar tanpa ekspresi sambil mengemudi.“Dasar kakak gila! Harusnya gue pergi jauh dari kota ini!”
Nawa terpejam, menitikkan air mata di samping pusara Agung. Setelah dari makam sang ibu, seperti biasa ia menyempatkan diri singgah di makam abdi negara ini. “Aku tuh egois, Mas. Saat bahagia sama Sir Brama, aku nggak mikirin kamu. Tapi kalau lagi sedih gini, kamu orang pertama yang kuingat. Aku jahat banget ya.” Nawa tertawa sumbang.Dari belakang, Brama menatap cemburu. Meskipun Agung sudah tiada, Brama justru melihat dari sudut berbeda. Keduanya berhadapan, Agung sedang menatap dan menikmati kecantikan istrinya. Atau bahkan mengelus wajah cantik Nawa. Brama menggeleng, mengusir pikiran gila itu. Ia pun mendekat.“Aku kangen sama kamu.” Ucapan Nawa terlontar ketika Brama tepat berada di belakangnya.Pria itu ingin mengelus kepala Nawa, tetapi urung. Kata kangen yang diucapkan istrinya itu untuk siapa? Ah, jelas bukan untuknya.Nawa terisak-isak. Ia sampai tidak menyadari ada suami yang berdiri di belakangnya.“Saat sekarat kemarin, aku lihat kamu sama ibu. Aku berpikir, mungkin aku