Share

Bimbang & Takut

"Nyonya Arumi Reisy Hussein Andirja, wow berarti Andirja ini marga keluarganya dong,"

Wulan membolak-balikkan kartu nama yang di berikan oleh nenek tua tadi pagi. 

"Terima saja pernikahan itu lagian kan Yogi sudah mau menikahi kamu jadi kamu itu jangan sok jual mahal gitu! Bukannya mimpi mu sudah terwujud terus masih mikirin apa lagi, ah?" tanya Wulan. 

Shayla merebahkan tubuhnya di atas kasur butut nya, ia masih bingung dengan tawaran nenek Arumi tentang menikah dengan cucu semata wayangnya. 

"Aku bingung Lan, aku harus bahagia atau aku harus bersedih karena di sini aku hanya tinggal berdua saja dengan kamu bahkan ke Jakarta ini pun kita hanya untuk cari kerja! Kalau nanti Emak dan Abah tau mendadak kalau aku menikah yang ada mereka akan bingung pinjem uang sama tetangga untuk hajatan di kampung dan untuk ke Jakarta," tutur Shayla. 

Wulan menaruh kartu nama itu di atas meja lalu dia menghampiri Shayla di atas kasur dan merebahkan tubuhnya juga di sana. 

"Kalau aku sih setuju jika kamu harus menikah dengan Yogi karena Yogi itu anak konglomerat dan pasti bisalah ngebantu perekonomian keluarga kamu, intinya kamu harus yakin dulu begitu."

Shayla menoleh ke arah Wulan yang berada di sebelah kanannya. 

"Aku gak tau! Tapi yang aku permasalahkan itu aku takut di ujung karena pernikahan ini tidak atas dasar cinta jadi aku takut. Nanti Yogi tidak menghargai aku sebagai istrinya." Shayla merubah posisi tidurnya menjadi duduk. "serta aku takut dia seenaknya terhadap keluarga aku karena dia adalah cucu konglomerat sedangkan aku hanya anak seorang petani."

Wulan langsung menggaruk kepalanya, dia ikut bingung dengan itu. Wulan ingin sekali Shayla menikah dengan Yogi sebab dia akan menerima uang yang lumayan banyak dan bisa di pergunakan untuk kebutuhan mereka berdua di Jakarta serta untuk di kirimkan kepada keluarga mereka yang berada di kampung. 

"Lalu bagaimana keputusannya? Bukannya nenek Arumi sangat menginginkan kamu untuk menjadi menantunya? Ayolah pikirkan lagi Shayla kapan lagi orang di kampung kita dapat menantu di kota, memangnya kamu mau di jodohkan kalau gak laku dengan orang kampung, ah?" tanya Wulan berhasil membuat Shayla menggelengkan kepala. 

"Gak mau lah, di kampung itu gak ada yang seperti cowok cowok ganteng di sini," jawabnya. 

"Terus bagaimana? Besok loh kita harus ketemu lagi sama nenek Arumi jam delapan pagi," kata Wulan mengingatkan. 

Shayla diam beberapa detik, dia masih ingin memikirkan jalan keluar agar tidak terus bimbang. 

"Wulan kalau seumpama aku jadi menikah apa aku harus bilang ke Emak Abah ya? Tapi aku takut mereka akan meminjam uang ke tetangga yang ujung-ujungnya harus bayar bunga, pasti itu sangat memberatkan mereka." 

Wulan langsung bangun. "Kita diem diem aja sama orang orang di kampung, bagaimana? Lagian kita kan hanya berdua di Jakarta nanti kita kirimin mereka uang dari hasil hadiah sayembara itu, kita juga sudah di pecat kan dari kerjaan kita di toko minggu lalu hingga sekarang kita belum dapat kerja! Terus apa yang mau di kirim kepada mereka di kampung?" ucapnya. 

Shayla langsung malas sekali, ingin rasanya dia menangis dan berteriak bahwa dia sudah merasa tidak kuat. Shayla merebahkan tubuhnya lagi lalu menutup kedua matanya dengan kedua lengannya.

"Aku gak kuat aku bingung! Aku juga adalah tulang punggung keluarga dan sekarang aku sudah di pecat dari kerjaan di tokoh, sudah dua minggu aku gak kirimi mereka uang," ucap Shayla lalu kembali duduk. 

"Yaudah terima saja pernikahan itu." Wulan tersenyum ke arah Shayla sambil menaik turunkan kedua alisnya. 

"Bagaimana dengan restu Emak Abah? Tidak mungkin aku menikah tanpa restu mereka berdua." 

"Pilihan kamu cuman ini, kamu menikah dengan cucu nenek Arumi agar bisa mengirim orang tua kamu di kampung uang atau menolak menikah dan menjadi pengangguran di sini hingga kita di usir karena gak ada uang untuk bayar kosan? Kamu tinggal pilih saja, keputusan ada di kamu sekarang."

Shayla meneteskan air mata, ia bingung untuk pilihan itu. Shayla memang mencintai Yogi namun tidak mungkin jika dia menikah tanpa restu bahkan tanpa kehadiran Emak Abah Shayla di Jakarta. 

[Hamba memang mencintai dia Ya Allah. Tapi hamba tidak mungkin menikah tanpa restu kedua orang tua hamba,] batin Shayla. 

Wulan langsung kasihan dengan sahabat kecilnya itu, ia juga merasakan bagaimana bingungnya Shayla saat ini. Shayla adalah anak sulung di keluarganya bahkan dia selalu berjuang sendirian untuk mencukupi kebutuhan orang tuanya. 

"Lah kok nangis? Jangan menangis dong harus kuat! Bukannya kamu selalu bilang kalau kita gak boleh menyerah di kota orang jadi gak boleh bersedih, ada aku di sini jika kamu tidak kuat aku akan ada untuk kamu! Aku ada dengan siap di belakang kamu." Wulan mengelus lembut bahu Shayla. 

Shayla mengusap bersih air mata di kedua pipinya. Dia tersenyum ke arah Wulan. 

"Aku akan kuat demi Emak Abah dan semuanya yang ada di rumah! Bukannya aku adalah tulang punggung mereka, iya kan?" tanya Shayla dan Wulan langsung mengiyakan itu. 

"InsyaAllah aku akan menerima tawaran untuk menjadi istri cucu nenek arumi itu. Tapi aku masih belum sepenuhnya mengiyakan karena aku masih ingin sholat Istikhoroh untuk meminta petunjuk kepada yang Maha Tau agar aku tidak ragu ragu mengambil keputusan," ujarnya. 

Wulan tersenyum. "Kamu sudah sangat yakin?" tanyanya untuk memastikan. 

"InsyaAllah. Yasudah ayo istirahat besok kita masih berjuang untuk masa depan yang cerah." 

*

Di kamar yang begitu terkesan sangat megah dan tertata begitu rapi Yogi diam melamun di atas ranjang. Penyesalan kini telah dia rasakan, sebelumnya dia tidak ingin memilih untuk menyetujui menikahi gadis berkerudung yang tidak ia kenali sama sekali. 

[Kenapa bisa aku mengiyakan rencana nenek itu? Sudah tau kalau aku masih belum siap untuk menikah apalagi menikah dengan orang yang tidak aku kenal sama sekali,] batinnya. 

Yogi mengusap kasar wajahnya lalu dia memejamkan matanya sebentar. 

"Ah! Aku gak bisa tidur kalau terus terusan mikirin pernikahan ini! Lagian nenek Arum sok tau aja pakai ngancem ngancem aku lagi kalau seperti ini aku yang kalah." gerutunya. 

"Aku harus bagaimana? Masalahnya ini adalah menyangkut masa dapan aku semua. Warisan sudah pasti harus aku dapat tapi kalau syaratnya begini kan lumayan ruet!"

Clek. 

Tiba-tiba seseorang membuka pintu kamar Yogi membuat Yogi sedikit terkejut dan langsung menatap ke arah pintu yang ternyata orang itu adalah nenek Arumi. 

"Ada apalagi?" tanya Yogi langsung. 

Nenek Arumi tersenyum ke arah Yogi lalu dia menggelengkan kepalanya. "Tidak! Tidak ada apa apa," jawabnya. 

"Lalu mau ngapain lagi ke sini kalau memang tidak ada perlu?" 

"Nenek hanya ingin melihat kamu memangnya nenek tidak boleh bertemu dengan kamu, ah?" tanya nenek Arumi. 

"Iya boleh," cuek Yogi. 

Nenek mendekat ke arah ranjang Yogi, ia duduk di sana dan tersenyum manis ke arah sang cucu kesayangan. 

"Nenek berharap besok pernikahan ini benar terjadi karena nenek berharap banget pada perempuan itu. Dia sangat beda dari yang lain, nenek menemukan sosok yang berbeda, dia seperti ibu kamu dari cara berpakaiannya bahkan model kerudungnya juga," tutur nenek Arumi. 

"Aku gak mau nek meskipun dia mirip seperti Mama sekalipun aku gak akan pernah bisa mencintai dia!" bantah Yogi. 

"Bukannya kamu kemarin sudah menyetujui jadi sekarang gak boleh di ubah lagi, tetap dengan keputusan di awal."

Yogi geram, jika boleh dia ingin sekali menghajar sang nenek agar tidak menikah dengan perempuan itu. 

"Lalu bagaimana dengan Farah? Aku gak mau dia tau tentang pernikahan ini, iya aku menikah dengan wanita pilihan nenek itu tapi dengan syarat jangan pernah umbar pernikahan ini ke siapapun termasuk Farah."

"Kenapa?" tanya nenek Arumi. 

"Iya karena aku gak mau dia kecewa dan menjauhi aku, aku sayang banget sama Farah sampai kapanpun itu dan juga besok setelah pernikahan aku langsung ke makam Mama dan Ayah tapi aku maunya sendiri! Nenek sama perempuan itu pulang pakai mobil lain." Yogi langsung memiringkan badannya dan menutup wajahnya mengunakan selimut. 

"Iya sayang, selamat tidur cucuku tersayang." nenek Arumi mengelus lembut bahu Yogi yang tertutup selimut lalu dia pergi dari dalam kamar Yogi. 

[Semoga saja besok perempuan itu gak mau menikah dengan aku tapi kalau dia benar benar mau, awas saja akan aku larang dia untuk mencintai aku begitu pula dengan aku,] batin Yogi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status