Share

Malam pertama

Bab 4 

Aku tersadar dari pingsanku, lalu perlahan kubuka mataku dan sudah ada ibu di sampingku, ibu memijit-mijit kepalaku dan kakiku. Aku merintih kesakitan merasakan kepalaku yang terus berdenyut.

“Aaargh ....”

“Kamu kenapa, Rin?” tanya Ibu.

“Tidak apa-apa, Bu!” mungkin hanya kelelahan saja,” jawabku.

Ibu lalu berdiri melangkah keluar kamar, tidak lama kemudian ibu sudah kembali masuk ke kamar dengan membawa sepiring nasi beserta lauknya dan segelas teh manis hangat.

“Ayo makan dulu!” Ibu perhatikan dari pagi tadi Kayaknya kamu belum makan, Rin,” perintah Ibu.

Ibu menuju nakas mengambil obat.

“Setelah makan, minumlah obat ini,  pereda sakit kepala untuk meringankan sakitmu.”

Ibu lalu menyodorkan sepiring nasi yang dibawanya dan obat sakit kepala. Aku mengganti posisiku yang semula tidur lalu bangun dan duduk menyandarkan punggungku di sudut ranjang. Mengambil sepiring nasi dan obat dari tangan ibu lalu memakannya. Disela makanku, ibu lalu duduk dan mengajakku bicara.

“Kalau kamu sakit, kenapa diam saja!”  kalau ada apa-apa bilang! jangan kau pendam sendiri, Ibu semakin merasa bersalah, Rin.”

Suara ibu bergetar menahan tangisan, seolah-olah dia merasa semua ini karena akibat kebodohan dan kecerobohannya yang dengan mudah mempercayai saudaranya.

“Andainya,” aku lebih hati-hati dan tegas pada mas Karjo mungkin kejadian ini tidak akan terjadi,” sesal Ibu.

Setelah selesai makan aku menghibur ibu.

“Sudahlah, Bu!” tidak usah disesali terus, semua telah terjadi,” hiburku.

Lalu kupeluk ibu dengan erat,  lewat pelukan itu aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan sangat menyayangi ibu.

Setelah makan dan minum obat perlahan-lahan pusingku hilang.  Mengetahui aku sudah sadar dan sudah membaik nenek dan saudara-saudara bapak masuk bergantian untuk mengetahui keadaanku.

“Bagaimana, Rin keadaanmu? apakah sudah membaik?” tanya Nenek.

Nenek sangat kawatir saat melihat aku pingsan, dia langsung bergegas ke kamarku saat tahu aku pingsan dan menungguku sampai aku tersadar.

“sudah, Nek!” aku tidak apa-apa hanya kepalaku pusing.

“Oh, Nenek kira ada apa-apa, jaga kesehatanmu!”

 Mengetahui keadaanku yang sudah membaik mereka satu persatu mohon diri untuk pamit dan memberikan ucapan selamat kepadaku.

“Selamat ya, Rin!” semoga pernikahanmu bahagia, Kami semua mohon diri dan Kamu semoga diberi kekuatan dan kesabaran oleh Allah dalam melewati semua ini,” kata om Hadi.

“Ya om, terima kasih,” jawabku.

Sanak saudara semuanya sudah pamit pulang kini rumah sudah sepi. Kulihat pak Badrun duduk di teras bersama bapak sedang berbincang-bincang,  sedangkan ibu bersih-bersih membereskan kekacauan di pesta tadi. Adik-adiku turut membantu ibu membersihkannya.

Sedangkan aku terpaku duduk di halaman belakang, kupilih untuk menghindari bertemu dengan pak Badrun. Aku khawatir sekali bagaimana nanti kalau pak Badrun meminta haknya sebagai suami, padahal diriku belum siap dan belum bisa menerimanya.

Ini bagaikan mimpi buruk. Waktu terus berjalan dan malam pun tiba jantungku semakin berdetak kencang, apa yang harus aku lakukan kegelisahanku semakin mendera.

“Bagaimana ini?” apa yang harus aku lakukan?” batinku

Aku mondar-mandir ketakutan, pikiranku melayang-layang, saat sedang berpikir apa yang harus aku lakukan, tiba-tiba.

“thok ... thok ... thok!”

Terdengar suara ketukan pintu mengagetkanku, aku semakin panik. Aku memikirkan kalau pasti sekarang Pak Badrun akan meminta haknya.

“Arini!” ini aku, bolehkah aku masuk?” tanya pak Badrun.

“I ... iya, masuk saja!” tidak dikunci kamarnya.

Aku semakin panik, berdebar jantungku. Pak Badrun masuk ke kamar, kami berdua sangat canggung. Untuk bicara pun tidak bisa memulai dari mana hanya saling pandang dan kikuk.

“Boleh, aku duduk?”

Pak Badrun memulai pembicaraan. Aku menjawabnya dengan ketakutan serta berdiri dengan siaga menjaga diri  kalau pak Badrun akan memaksaku.

“Bo ... bo ... boleh!”

Lalu pak Badrun duduk dan menyuruhku duduk di sampingnya dengan mengisyaratkan tangannya menepuk-nepuk kasur di sampingnya. Aku ragu akan duduk mengikuti perintahnya atau lari keluar kamar menyelamatkan diri, saat aku sibuk berpikir pak Badrun menarik tanganku dan mendudukkan aku di sampingnya, lalu berkata.

“Rin, bolehkah aku meminta hakku malam ini?”

“Deg ... deg ... deg ....”

Jantungku berdebar hebat, tubuhku bergetar menahan ketakutan.

 Aku panik dan menangis, memohon padanya agar tidak menyentuhku.

“ja ... jaa ... jangan Pak! kumohon?” aku belum siap, aku mau melakukannya kalau sudah siap dan jangan paksa, aku,” jawabku.

Mendengar jawabanku pak Badrun malah tertawa terbahak-bahak.

“Ha ... ha ...haaa ...” Arini, aku hanya menggodamu santai saja,  sini!” tidak usah takut, aku tidak akan memaksamu akan aku tunggu sampai, Kamu siap!”

Lega rasanya pak Badrun mengatakan itu, ternyata pak Badrun tidak sejahat yang aku kira.

“Maksud Pak Badrun? saya tidak harus melayani Bapak?” malam ini?” tanyaku.

Aku memastikan lagi omongan pak Badrun, mungkin kalau aku salah dengar.

“Ya, aku akan menunggumu sampai kau siap dan nyaman denganku,” jelas Pak Badrun.

Dan pak Badrun memintaku untuk memanggilnya dengan sebutan mas tidak bapak lagi.

“Rin, tolong!” kalau panggil aku, Mas saja ya, biar lebih nyaman dan mesra,” ucap pak Badrun.

Kemudian pak Badrun mengambil bantal serta meminta selimut dan mengatakan akan tidur di sofa.

“Karena kamu belum merasa nyaman denganku, aku akan tidur di sofa, sekarang tidurlah!” jangan takut, aku tidak akan macam-macam denganmu.”

Lalu pak Badrun menuju sofa dan merebahkan diri. Sedangkan aku menuju ke kamar mandi, mengambil air wudhu dan mengerjakan sholat isya’ yang belum aku kerjakan. Lalu setelah mengerjakan sholat aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku lihat pak Badrun sudah tidur dengan nafas yang teratur.

Aku tidak bisa memejamkan mata terus menerawang, membayangkan apa yang harus aku lakukan ke depannya. Tubuhku miring ke kanan dan ke kiri juga tak kunjung memejamkan mata. Sampai terdengar adzan subuh.

Aku turun dari kasur menuju dapur ikut membantu ibu memasak di dapur. Ibu mengarahkan pandangannya kepadaku, menghampiriku dan berbisik.

“Bagaimana?” Rin, tadi malam,” bisik Ibu.

Aku tersipu malu, dan mengatakan kepada ibu kalau tadi malam tidak terjadi apa-apa. Serta pak Badrun memberi aku waktu sampai aku siap. Ibu mengangguk-anggukan kepala.

“Oh begitu, Ibu kira ....?”

Di saat itu pak Badrun keluar dari kamar, segar tubuhnya selesai mandi. Ibu menyuruhnya sarapan karena hidangan sudah siap.

“Ayo, sarapan dulu, pak Badrun!”

Pak Badrun terdiam menatap ibu.

“Aduh,” bagaimana ini, Bu? Panggil saya kok masih Pak?” sekarang saya kan mantunya Ibu.

Ibu tampak kikuk dan canggung

“sudahlah, tidak apa-apa, mungkin belum terbiasa,” kata pak Badrun.

Setelah sarapan pak Badrun pamit kepadaku dan ibu untuk berangkat bekerja.

Pak Badrun adalah seorang pengusaha bisnisnya dimana-mana, Dia mengatakan tidak setiap hari bisa pulang. Hari ini Dia mengatakan tidak pulang tiga hari, karena akan mengurus bisnisnya yang ada di luar kota. Itu membuatku lega karena tidak bertemu dengan pak Badrun setiap hari. Aku mengantarkannya sampai teras rumah.

“Saya mau berangkat kerja dulu, hati-hati di rumah ya, Rin,” pamit pak Badrun

“Hati-hati ya Pak!” eh ... Mas,” jawabku kikuk.

Pak Badrun memandangku dengan tersenyum. Lalu naik mobil dan pergi sambil melambaikan tangan

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status