Beranda / Romansa / Dilema Arini / Malam pertama

Share

Malam pertama

Penulis: Ayu Rahayu
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-08 14:41:00

Bab 4 

Aku tersadar dari pingsanku, lalu perlahan kubuka mataku dan sudah ada ibu di sampingku, ibu memijit-mijit kepalaku dan kakiku. Aku merintih kesakitan merasakan kepalaku yang terus berdenyut.

“Aaargh ....”

“Kamu kenapa, Rin?” tanya Ibu.

“Tidak apa-apa, Bu!” mungkin hanya kelelahan saja,” jawabku.

Ibu lalu berdiri melangkah keluar kamar, tidak lama kemudian ibu sudah kembali masuk ke kamar dengan membawa sepiring nasi beserta lauknya dan segelas teh manis hangat.

“Ayo makan dulu!” Ibu perhatikan dari pagi tadi Kayaknya kamu belum makan, Rin,” perintah Ibu.

Ibu menuju nakas mengambil obat.

“Setelah makan, minumlah obat ini,  pereda sakit kepala untuk meringankan sakitmu.”

Ibu lalu menyodorkan sepiring nasi yang dibawanya dan obat sakit kepala. Aku mengganti posisiku yang semula tidur lalu bangun dan duduk menyandarkan punggungku di sudut ranjang. Mengambil sepiring nasi dan obat dari tangan ibu lalu memakannya. Disela makanku, ibu lalu duduk dan mengajakku bicara.

“Kalau kamu sakit, kenapa diam saja!”  kalau ada apa-apa bilang! jangan kau pendam sendiri, Ibu semakin merasa bersalah, Rin.”

Suara ibu bergetar menahan tangisan, seolah-olah dia merasa semua ini karena akibat kebodohan dan kecerobohannya yang dengan mudah mempercayai saudaranya.

“Andainya,” aku lebih hati-hati dan tegas pada mas Karjo mungkin kejadian ini tidak akan terjadi,” sesal Ibu.

Setelah selesai makan aku menghibur ibu.

“Sudahlah, Bu!” tidak usah disesali terus, semua telah terjadi,” hiburku.

Lalu kupeluk ibu dengan erat,  lewat pelukan itu aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan sangat menyayangi ibu.

Setelah makan dan minum obat perlahan-lahan pusingku hilang.  Mengetahui aku sudah sadar dan sudah membaik nenek dan saudara-saudara bapak masuk bergantian untuk mengetahui keadaanku.

“Bagaimana, Rin keadaanmu? apakah sudah membaik?” tanya Nenek.

Nenek sangat kawatir saat melihat aku pingsan, dia langsung bergegas ke kamarku saat tahu aku pingsan dan menungguku sampai aku tersadar.

“sudah, Nek!” aku tidak apa-apa hanya kepalaku pusing.

“Oh, Nenek kira ada apa-apa, jaga kesehatanmu!”

 Mengetahui keadaanku yang sudah membaik mereka satu persatu mohon diri untuk pamit dan memberikan ucapan selamat kepadaku.

“Selamat ya, Rin!” semoga pernikahanmu bahagia, Kami semua mohon diri dan Kamu semoga diberi kekuatan dan kesabaran oleh Allah dalam melewati semua ini,” kata om Hadi.

“Ya om, terima kasih,” jawabku.

Sanak saudara semuanya sudah pamit pulang kini rumah sudah sepi. Kulihat pak Badrun duduk di teras bersama bapak sedang berbincang-bincang,  sedangkan ibu bersih-bersih membereskan kekacauan di pesta tadi. Adik-adiku turut membantu ibu membersihkannya.

Sedangkan aku terpaku duduk di halaman belakang, kupilih untuk menghindari bertemu dengan pak Badrun. Aku khawatir sekali bagaimana nanti kalau pak Badrun meminta haknya sebagai suami, padahal diriku belum siap dan belum bisa menerimanya.

Ini bagaikan mimpi buruk. Waktu terus berjalan dan malam pun tiba jantungku semakin berdetak kencang, apa yang harus aku lakukan kegelisahanku semakin mendera.

“Bagaimana ini?” apa yang harus aku lakukan?” batinku

Aku mondar-mandir ketakutan, pikiranku melayang-layang, saat sedang berpikir apa yang harus aku lakukan, tiba-tiba.

“thok ... thok ... thok!”

Terdengar suara ketukan pintu mengagetkanku, aku semakin panik. Aku memikirkan kalau pasti sekarang Pak Badrun akan meminta haknya.

“Arini!” ini aku, bolehkah aku masuk?” tanya pak Badrun.

“I ... iya, masuk saja!” tidak dikunci kamarnya.

Aku semakin panik, berdebar jantungku. Pak Badrun masuk ke kamar, kami berdua sangat canggung. Untuk bicara pun tidak bisa memulai dari mana hanya saling pandang dan kikuk.

“Boleh, aku duduk?”

Pak Badrun memulai pembicaraan. Aku menjawabnya dengan ketakutan serta berdiri dengan siaga menjaga diri  kalau pak Badrun akan memaksaku.

“Bo ... bo ... boleh!”

Lalu pak Badrun duduk dan menyuruhku duduk di sampingnya dengan mengisyaratkan tangannya menepuk-nepuk kasur di sampingnya. Aku ragu akan duduk mengikuti perintahnya atau lari keluar kamar menyelamatkan diri, saat aku sibuk berpikir pak Badrun menarik tanganku dan mendudukkan aku di sampingnya, lalu berkata.

“Rin, bolehkah aku meminta hakku malam ini?”

“Deg ... deg ... deg ....”

Jantungku berdebar hebat, tubuhku bergetar menahan ketakutan.

 Aku panik dan menangis, memohon padanya agar tidak menyentuhku.

“ja ... jaa ... jangan Pak! kumohon?” aku belum siap, aku mau melakukannya kalau sudah siap dan jangan paksa, aku,” jawabku.

Mendengar jawabanku pak Badrun malah tertawa terbahak-bahak.

“Ha ... ha ...haaa ...” Arini, aku hanya menggodamu santai saja,  sini!” tidak usah takut, aku tidak akan memaksamu akan aku tunggu sampai, Kamu siap!”

Lega rasanya pak Badrun mengatakan itu, ternyata pak Badrun tidak sejahat yang aku kira.

“Maksud Pak Badrun? saya tidak harus melayani Bapak?” malam ini?” tanyaku.

Aku memastikan lagi omongan pak Badrun, mungkin kalau aku salah dengar.

“Ya, aku akan menunggumu sampai kau siap dan nyaman denganku,” jelas Pak Badrun.

Dan pak Badrun memintaku untuk memanggilnya dengan sebutan mas tidak bapak lagi.

“Rin, tolong!” kalau panggil aku, Mas saja ya, biar lebih nyaman dan mesra,” ucap pak Badrun.

Kemudian pak Badrun mengambil bantal serta meminta selimut dan mengatakan akan tidur di sofa.

“Karena kamu belum merasa nyaman denganku, aku akan tidur di sofa, sekarang tidurlah!” jangan takut, aku tidak akan macam-macam denganmu.”

Lalu pak Badrun menuju sofa dan merebahkan diri. Sedangkan aku menuju ke kamar mandi, mengambil air wudhu dan mengerjakan sholat isya’ yang belum aku kerjakan. Lalu setelah mengerjakan sholat aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku lihat pak Badrun sudah tidur dengan nafas yang teratur.

Aku tidak bisa memejamkan mata terus menerawang, membayangkan apa yang harus aku lakukan ke depannya. Tubuhku miring ke kanan dan ke kiri juga tak kunjung memejamkan mata. Sampai terdengar adzan subuh.

Aku turun dari kasur menuju dapur ikut membantu ibu memasak di dapur. Ibu mengarahkan pandangannya kepadaku, menghampiriku dan berbisik.

“Bagaimana?” Rin, tadi malam,” bisik Ibu.

Aku tersipu malu, dan mengatakan kepada ibu kalau tadi malam tidak terjadi apa-apa. Serta pak Badrun memberi aku waktu sampai aku siap. Ibu mengangguk-anggukan kepala.

“Oh begitu, Ibu kira ....?”

Di saat itu pak Badrun keluar dari kamar, segar tubuhnya selesai mandi. Ibu menyuruhnya sarapan karena hidangan sudah siap.

“Ayo, sarapan dulu, pak Badrun!”

Pak Badrun terdiam menatap ibu.

“Aduh,” bagaimana ini, Bu? Panggil saya kok masih Pak?” sekarang saya kan mantunya Ibu.

Ibu tampak kikuk dan canggung

“sudahlah, tidak apa-apa, mungkin belum terbiasa,” kata pak Badrun.

Setelah sarapan pak Badrun pamit kepadaku dan ibu untuk berangkat bekerja.

Pak Badrun adalah seorang pengusaha bisnisnya dimana-mana, Dia mengatakan tidak setiap hari bisa pulang. Hari ini Dia mengatakan tidak pulang tiga hari, karena akan mengurus bisnisnya yang ada di luar kota. Itu membuatku lega karena tidak bertemu dengan pak Badrun setiap hari. Aku mengantarkannya sampai teras rumah.

“Saya mau berangkat kerja dulu, hati-hati di rumah ya, Rin,” pamit pak Badrun

“Hati-hati ya Pak!” eh ... Mas,” jawabku kikuk.

Pak Badrun memandangku dengan tersenyum. Lalu naik mobil dan pergi sambil melambaikan tangan

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dilema Arini   Mendapat kontrakan

    Lasmi dengan langkah cepat menuju kamar kakaknya. “Kak aku pergi dulu, ya! “Ya, hati-hati. Ingat jangan terlambat pulang nanti kalau mas Badrun melihatmu lagi pulang dengan seorang laki-laki!” Lasmi menganggukkan kepala dan bergegas keluar. “Maaf menunggu! “Enggak, ayo naik. Kita mau kemana sekarang? “Ke toko mesin jahit, Mas! “Iya, maksudku ke toko mana? “Aku tidak tahu daerah sini. Aku ikut saja sama mas Ridwan.” “Oke, kita berangkat sekarang! Pake helmnya dulu dan jangan lupa pegangan erat-erat.” Lasmi tersenyum mendengar kata-kata Ridwan, mereka saling berpandangan. “Sudah puas memandangku?” tanya Ridwan. Lasmi tertunduk tersipu malu mendengar kata-kata Ridwan. Ridwan melajukan motornya menyibak kemacetan kota. Tak berapa lama mereka tiba di sebuah toko peralatan menjahit yang sangat lengkap. Setelah memarkirkan motornya, Ridwan dan Lasmi berjalan masuk.

  • Dilema Arini   Rencana Arini

    Malamnya Lasmi tidak bisa memejamkan matanya, tubuhnya terus miring ke kanan dan miring ke kiri. Lasmi bingung harus bagaimana mengatakan yang sebenarnya pada kakaknya atau malah merahasiakan dengan apa yang dilihatnya kemarin siang. “Jika aku tidak mengatakan dan merahasiakan apa yang aku lihat tadi siang berarti aku mendukung perselingkuhan mas Badrun. “Sebaiknya besok aku katakan yang sebenarnya pada kakak” batin Lasmi. Keesokan harinya karena hari libur Lasmi tidak segera bangun masih bermalas-malasan di kamar. Arini membangunkan adiknya karena Lasmi tak kunjung keluar dari kamar. “Lasmi bangun sudah siang!” kata Arini melongok di pintu kamar. “Iya, Kak,” jawab Lasmi. Mendengar jawaban Lasmi sudah bangun Arini pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sedangkan Lasmi turun dari tempat tidur, membersihkan muka dan berjalan ke dapur menyusul kakaknya di dapur untuk membantunya. “Kak ada yang mau aku bicarakan,” kata La

  • Dilema Arini   Kontrak pertama Lasmi

    Hari ini Lasmi merasa cemas dan berdebar-debar hatinya karena akan bertemu klien yang akan menawarinya kerjasama menandatangani perjanjian kontrak. Dia terus mondar-mandir menunggu kedatangan Ridwan. Sesekali pandangannya melihat ke arah depan rumah. “Duduk dulu Lasmi! Dari tadi kakak lihat kamu terus mondar-mandir apa enggak lelah.” Lasmi melihat ke arah kakaknya. “Aku takut nanti melakukan kesalahan, Kak. Arini tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan adiknya. “Kak, apa kakak ikut saja untuk mendampingiku tanda tangan nanti?” “Apa sih yang kamu takutkan? Bukankah Ridwan nanti mendampingimu? Bukankah dia yang lebih berpengalaman?” “Iya, tapi kalau ada kakak mungkin aku akan lebih tenang.” “Belajarlah untuk mandiri! Kakak tidak bisa selalu ada di sampingmu,” ucap Arini. Terdengar klakson kendaraan di depan rumah. Lasmi beranjak dari tempat duduknya dan melihat keluar. “Itu R

  • Dilema Arini   Kemarahan Badrun

    Badrun terus menghujani pertanyaan-pertanyaan pada Arini. “Siapa laki-laki yang mengantarkan Lasmi? Berarti seperti ini setiap hari kamu membiarkan laki-laki lain masuk ke rumah selagi aku tidak ada?” kata Badrun marah. “Ya ampun, Mas! Itu yang kamu maksud? Dia itu teman kursus Lasmi. Selama ini Lasmi belajar jahit di tempat kursus karena aku belum bisa membelikan mesin jahit,” jawab Arini. “Tapi bukan berarti kamu membolehkan laki-laki lain keluar masuk rumah ini,” kata Badrun. “Dia itu tidak masuk rumah hanya di halaman rumah saja mengantar dan menjemput Lasmi. Kalau Mas tidak menginginkan hal itu Mas bisa membelikan Lasmi mesin jahit.” “Apa membelikan mesin jahit? Kamu itu tahu diri kalau kamu minta-minta, sekarang proyekku kalah terus,” kata Badrun. “Bukan tidak tahu diri, tapi mas Badrun yang memulai kan tadi. Sudah dua bulan mas Badrun tidak memberiku uang bulanan aku juga diam tidak menuntut.” “Aku enggak mau tahu!

  • Dilema Arini   Akibat Lasmi terlambat pulang

    Di malam hari Arini tidak bisa tidur dia terus membolak-balikkan tubuhnya ingatannya tertuju pada perkataan adiknya Lasmi, Arini mengerti walaupun Lasmi berkata tidak memaksa untuk membeli mesin jahit. Tetapi sebenarnya dia tahu betul watak adiknya yang sebenarnya menginginkan mesin jahit sendiri. Arini memikirkan bagaimana cara mengabulkan keinginan Lasmi. Dia sebenarnya bisa membelikan dengan uang tabungannya, tapi mengingat suaminya yang akhir-akhir ini tidak tentu memberikan nafkah. Kalaupun suaminya memberi jumlahnya tidak seperti dulu waktu awal menikah. Membuatnya bimbang atau ragu untuk membelikan dengan uang ditabungannya. “Aku sebenarnya kawatir membiarkan Lasmi sering pulang terlambat apalagi dia bersama lelaki yang baru dikenalnya tiga Minggu,” batin Arini. Angan-angan Arini teringat dengan Wahyu. “Apa mungkin aku minta tolong Wahyu lagi ya? Sedangkan aku sekarang bukan siapa-siapanya dia lagi. Aku sekarang suda

  • Dilema Arini   Gambar desain Lasmi

    “Aku pulang, Kak! Lasmi berjalan masuk ke dalam rumah. “Kak-kak! Panggil Lasmi kembali karena kakaknya tidak menjawab. Lasmi melongok ke dalam kamar kakaknya. “Ssssst! Sebentar Arsy lagi tidur,” jawab Arini beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar menghampiri Lasmi. “Ada apa sih, Lasmi?” Tanya Arini. “Enggak ada apa-apa! Tadi aku panggil-panggil kok kakak enggak menjawab. Aku kira tadi kakak enggak ada di rumah,” jawab Lasmi yang kemudian duduk di kursi. “Lasmi aku mau menanyakan sesuatu,” kata Arini yang mendekati adiknya dan duduk di sampingnya. Lasmi hanya diam dia memandang wajah kakaknya dan sudah tahu ke mana arah pertanyaan kakaknya. “Siapa teman kamu yang menjemput dan mengantarkanmu pulang tadi? Kamu kan belum ada sebulan di sini tapi kamu kok sudah punya teman cowok, siapa dia?” tanya Arini. “Itu, kak. Kakak ingat kan dengan orang yang ditempat kursusan waktu kita mendaftar yang namanya Ridwan,” kata

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status