Bab 5
Enam bulan sudah usia perkawinanku dengan pak Badrun. Hatiku juga masih belum bisa menerima kehadirannya dan masih canggung jika berada di sampingnya, hari demi hari kulalui seperti biasa. Aku masih tinggal bersama keluargaku.
Pak Badrun tidak setiap hari pulang, hanya satu sampai dua hari dia pulang ke rumah kemudian pergi lagi. Jika pulang aku melayaninya dengan baik sebagaimana istri pada umumnya. Menyiapkan baju, memasak dan menyiapkan keperluan-keperluan lainnya. Dia juga tidak banyak menuntut jadi aku tidak terlalu tertekan.
Sejak pernikahan itu aku menjadi lebih pendiam dan banyak melamun.
Melihat aku tidak bahagia membuat bapak semakin tertekan dan semakin memperburuk penyakitnya. keadaan ini membuat kesehatannya terganggu apalagi ditambah omongan-omongan tetangga yang terus memojokkan bapak, di suatu pagi.
“aaargh ....!”
“Hueek ... huueek ....!”
Kulihat bapak muntah darah. Bapak kesakitan, penyakit livernya kambuh. Perutnya membesar, seluruh badannya membengkak dan kulitnya menghitam. Aku berlari ke kamar bapak, melihat keadaan bapak aku berteriak memangil ibu.
“Ibu ... ibuu ... ibuuu!” cepat kesini Bu, apa yang terjadi dengan, Bapak?”
Ibu dari dapur langsung berlari ke arahku, adik-adiku juga datang masuk ke kamar bapak.
“Astaghfirullaahal’azhiim” Pak ....!”
Ibu menjerit histeris, panik dan khawatir, lalu menarik selimut di samping bapak dan menyeka mulut bapak yang penuh darah. Anyir darah menyeruak di dalam kamar, aku menangis sambil memeluk adiku- adikku.
“Cepat!” telepon om Hadi, suruh datang kesini!” bentak Ibu.
Aku bergegas mengambil smartphone dan menelepon om Hadi dan mengatakan keadaan bapak. Mendengar ceritaku, om Hadi mengatakan akan segera datang ke rumah. Jarak rumahku dan om Hadi membutuhkan waktu lima belas menit.
“Pak,” kita nanti ke rumah sakit, ya?” kata ibu.
Bapak menggelengkan kepala.
“tidak usah, Bu!” sepertinya waktuku sudah tidak lama lagi, Kamu telepon mantu kita, Badrun!” aku mau bicara dengannya.
Keadaan bapak sudah lemas karena terus muntah darah. Lima belas menit kemudian om Hadi datang, turun dari mobil langsung berlari menuju kamar bapak. Dia terkejut melihat keadaan bapak.
“Mbak, kita harus bawa mas Rafi ke rumah sakit, keadaannya sudah parah sekali, ayo!”
Tapi bapak menolak, om Hadi tidak menghiraukannya langsung menggendong bapak dan memasukkan ke mobil. Langsung membawanya ke rumah sakit. Aku dan ibu turut serta. Setelah sepuluh menit perjalanan kami sampai di rumah sakit. Di sana bapak langsung dibawa ke ruang UGD. Setelah mengurus administrasi kami disuruh menunggu untuk hasil pemeriksaan. Di saat menunggu aku menelepon suamiku pak Badrun.
“Hallo ...!” Mas di mana?” tanyaku.
“Aku di perjalanan, ada apa?”
“Mas, ini bapak di rumah sakit, muntah darah, kalau bisa pulang, ya!”
Aku mengabari suamiku pak Badrun supaya pulang. Dan Dia mengatakan akan segera pulang.
“Ya, aku akan segera pulang.”
Setelah menunggu pemeriksaan bapak beberapa lama. Seorang dokter mendatangi kami dan memberikan penjelasan kalau bapak sudah tidak bisa ditolong lagi karena organ hati atau livernya telah pecah. Kami mendengarnya sock dan tidak percaya, apalagi ibu dia langsung lemas luruh di lantai, aku menangis histeris, om Hadi juga terdiam serta menangis. Setelah kami menata hati dan pikiran serta menenangkan diri.
“Bagaimana ini, Mbak?” apa yang harus kita lakukan?” tanya om Hadi.
“Kita bawa pulang saja, mas Rafi, di sini juga tidak ada gunanya, andainya mas Rafi meninggal, biarlah meninggal di rumah,” jawab Ibu.
Setelah menyelesaikan administrasi di rumah sakit, akhirnya bapak dibawa pulang. Sampai di rumah jam menunjukkan pulul lima sore. Bapak digendong om Hadi dan direbahkan di atas kasur ruang keluarga. Aku dan ibu, serta adik-adikku menungguinya. Sedangkan om Hadi mengabari saudara-saudara bapak dan nenek. Tidak lama mereka berdatangan. Melihat keadaan bapak yang penuh darah dimulutnya, nenek langsung memeluk bapak. Nenek menangis histeris.
“Rafii ... !” anakku, emak maafkan semua kesalahanmu, jika kau akan pergi, pergilah dengan tenang!” kami semua sudah ikhlas dengan kepergianmu, walau Kamu yang mendahuluiku,” tangis Nenek.
Bapak hanya bisa memandang nenek, bapak sudah tidak sanggup untuk bicara, bapak terus muntah darah.
Bude Narti dan bude Marwa juga berpamitan dengan bapak. Om Hadi juga. Sanak saudara membacakan surat yaasiin mengantarkan kepergian bapak agar dimudahkan.
Aku sendiri terpaku di sebelah bapak sambil mengucapkan kalimat-kalimat Allah menuntun bapak untuk mengucapkannya dan berbisik ke telinga bapak.
“laa ilaaha illallaah ... laa ilaaha illallaah ... laa ilaaha illallaah ....”
“Pak, aku ikhlas dengan kepergianmu, aku maafkan kesalahanmu, Pak, pergilah dengan tenang,” ucapku pada bapak.
Aku menangis tergugu tubuhku bergetar, Bapak tidak bisa mengatakan sesuatu hanya memandangku dan bapak menangis, tangannya menggenggam tanganku dengan erat. Aku tidak tahan melihat penderitaan bapak. Kami semua sudah pamit pada bapak tapi bapak masih bertahan, entah apa yang di tunggu.
Pukul sepuluh malam suamiku pak Badrun datang, setelah cuci tangan dan membasuh muka dia mendekat ke bapak. Bapak menatap suamiku lalu menggenggam tangan suamiku. Bapak menangis. Lalu pak Badrun mendekat dan berbisik ke telinga bapak.
“laa ilahaa illallaah ... laa ilahaa illallaah ... laa ilahaa illallaah ... “
“pergilah! Dengan tenang, Kami semua ikhlas dengan kepergianmu, aku akan mengurus semua keluargamu,” kata pak Badrun.
Setelah perkataan suamiku, bapak menghembuskan napas terakhir. Aku menjerit meraung-raung pak Badrun suamiku memelukku erat menenangkan diriku, ibu ambruk tak sadarkan diri. Nenek dan saudara-saudara lainya menangis tergugu.
Saat om Hadi menutupi ayah dengan kain jarik, aku marah.
“jangan ditutup!” bapak belum meninggaaaal!” raungku.
Aku langsung memeluk tubuh bapak, kuciumi jasad bapak yang penuh darah, aku menangis histeris meraung-raung dan akhirnya tubuhku ambruk tak sadarkan diri.
Saat tersadar kudengar lamat-lamat sanak saudara membaca surat yaasiin.
Pagi harinya para sanak saudara dan tetangga berdatangan untuk membantu acara pemakaman bapak, ibu-ibu sibuk membantu di dapur sedangkan bapak-bapak memasang tenda.
Pukul sepuluh pagi pemakaman bapak akan di mulai, aku duduk terdiam memandangi jasad bapak.
“Selamat jalan, Pak ... “ semoga arwahmu tenang di sana, aku akan selalu memegang nasehat-nasehatmu dan menjadi anak yang baik seperti keinginanmu,” janjiku pada diri sendiri.
Pelayat banyak berdatangan mengucapkan bela sungkawa, ibu tidak bisa menemui tamu karena berkali-kali tak sadarkan diri. Om Hadi dan pak Badrun suamiku sibuk menerima pelayat yang datang.
Acara pemakaman akan segera dimulai, mobil ambulans yang disewa om Hadi sudah datang dan siap mengantar jenazah. Setelah jenazah bapak dishalati lalu diusung ke mobil ambulans. Setelah sambutan dan permohonan maaf dari om Hadi, jenazah bapak diberangkatkan dengan diiringi kalimat Thoyibah.
“laa ilahaa illallaah ... laa ilahaa illallaah ... laa ilahaa illallaah ... muhammadur Rasuulullah.”
Ambulans pembawa jenazah bapak berada di depan, sedangkan mobil kami beriringan mengikuti di belakang dengan para pelayat lainya. Jarak antara rumah dan makam sekitar sepuluh menit perjalanan. sebenarnya tubuhku terasa lemas, suamiku pak Badrun dan om Hadi melarangku ikut mereka takut kalau-kalau aku pingsan di jalan tapi karena aku ingin mengantarkan bapak pada tempat istirahatnya yang terakhir, aku memaksakan diri. Usai pemakaman kami pulang, Aku terus menangis. Aku masih belum rela dengan kepergian bapak.
“Rin, sudahlah jangan menangis!” sabar,” hibur suamiku.
Pak Badrun mengusap air mataku dengan lembut dan mengatakan.
“Jangan bersedih, aku akan selalu di sampingmu dan menjagamu.
Menjadi anak perempuan sulung dengan dua adik, sungguh membuatku selalu memikirkan tentang kesuksesan, kemapanan dan kebahagiaan. Apalagi sejak bapak pergi untuk selamanya. Membuatku tidak henti-hentinya memikirkan masa depan. Terkadang hal itu membuatku menangis. Di malam hari ketika beranjak tidur, aku merasa tidak siap dan sangat takut, entah apa yang membuatku takut. Aku selalu tidak terima dengan pernikahanku, aku merasa pernikahanku dengan pak Badrun tidak adil bagiku.Hari ini akan diadakan selamatan untuk memperingati ke empat puluhhari kematian bapak, ibuku mengadakan acara tahlilan mengirim doa untuk almarhum bapak. Ibu sudah mulai menerima kepergian bapak. Kesedihannya berangsur-angsur hilang.Ibu mendatangkan tukang masak dan meminta bantuan para tetangga, ibu mengumpulkan para tetangga untuk membantu memasak. Dan menyiapkan hidangan untuk acara“Acaranya tahlil nanti jam berapa, Bu Ida?”Bu Yayah tukang
Suamiku pak Badrun menelepon mengabarkan, hari ini dia akan pulang. Dan di sini akan lama karena ada urusan bisnis di kota ini. lambat laun aku mulai menerima kehadiran suamiku. Suamiku selalu bersikap lembut dan penuh kesabaran kepadaku. Biasanya dia pulang sampai rumah pukul lima sore. Ibuku sibuk di dapur memasak untuk di hidangkan nanti kalau suamiku pulang.“Rin, ini masakan sudah siap, nanti kalau suami Kamu pulang, tinggal memanasi saja.”“Ya Bu! Jawabku.Ibu datang menghampiriku dan mengajaku berbicara.“Rin, apakah Kamu sudah bisa menerima, pak Badrun?Aku terdiam menanyakan pada hatiku, lalu mendesah.“Entahlah, Bu!“Cobalah untuk menerimanya, agar hatimu tidak terlalu tersiksa, pak Badrun itu juga baik serta bertanggung jawab.Aku memikirkan kata-kata ibu, yang ku rasa benar perkataannya. Suamiku pak Badrun selalu membahagiakanku, tidak menuntut dan memaksakan apa pun padaku.
“Rin, ini diminum dulu obatnya! Kata suamiku. Sambil menyodorkan obat penurun panas dan segelas air.“Nanti saja Mas, aku masih mual.”“Ayolah nanti malah tambah parah loh!”Aku terima obat dan segelas air yang di berikan suamiku kepadaku. Aku merasakan tubuhku demam, pusing dan mual. Aku tidak bisa bangun karena pusing dan mual yang kurasakan suamiku begitu sabar dan telaten merawatku. Aku terbayang kejadian waktu tenggelam kemarin. Suamiku dengan sigap menolongku. Entahlah setelah peristiwa itu membuat diriku serasa nyaman berada di dekatnya.“Aku keluar dulu ya, Rin?”“Mau ke mana mas?” ini kan masih pagi.“Aku mau membelikanmu bubur, untuk sarapanmu!”“Enggak usahlah Mas, ibu nanti memasak!Suamiku tindak mengindahkan perkataanku dia bergegas keluar. Sebenarnya tempat penjual bubur dari rumahku tidak jauh, tapi aku tidak mau merepotkan suamiku.
Tiga bulan telah berlalu sejak aku bisa menerima pak Badrun secara sepenuhnya sebagai suamiku, aku sudah mulai terbiasa menerima kehadiran suamiku yang jarang pulang karena mengurusi bisnisnya yang sering pindah-pindah kota, hal itu dikarenakan suamiku sering mendapatkan tender proyek di berbagai kota. Pagi-pagi seperti biasa ibuku sibuk di dapur mempersiapkan sarapan buat aku dan adik-adikku. “Rin ayo sarapan dulu! Ibu sudah siapkan makanan di meja.” “Iya, Bu, Lasmi dan Ratih mana? suda sarapan belum, tanyaku. “Nanti kalau mereka lapar dan mencium bau masakan ibu juga akan menyusul sendiri,” jawab ibu sambil mengambilkan piring untuk diriku. “Masak apa, Bu?” “Ini masak sayur kesukaanmu, Rin, ibu lihat kamu kok pucat tidak seperti biasanya. “Tidak tahu, rasanya tubuhku enggak enak, paling-paling masuk angin biasa. Saat aku akan makan dan mencium bau masakan, aku merasakan tiba-tiba perutku mual. “Huek ... hueek
Mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan halaman rumah, ibuku keluar untuk melihat siapa yang datang.“Oh, Nak Badrun,” kata ibu.“Iya Bu,” jawab suamiku sambil menenteng beberapa kantong plastik.“Rin, Rin, suamimu pulang,” teriak ibu dari depan rumah.Aku pun bergegas keluar menyambut kedatangan suamiku.“Kok mendadak mas pulangnya malam-malam, enggak kasih kabar dulu,” kataku sambil mencium punggung tangannya.“Iya aku mau memberi kejutan untukmu, setelah kamu memberi kabar kehamilanmu melalui telepon kemarin aku segera pulang dan sengaja tidak memberi tahumu,” jawab suamiku sambil menyodorkan beberapa kantong plastik yang berisi oleh-oleh. Aku menerimanya dan membawanya masuk.“Mas mandi dulu ya, aku siapkan makanan untukmu, Mas pasti lapar di perjalanan tadi.“Iya Rin, aku mandi, rasanya gerah dan lengket tubuhku, tolong ambilkan handuk dan s
Kehidupanku berjalan seperti biasa, hari-hari kulalui lebih banyak aku jalani sendiri bersama ibu dan Lasmi dan Ratih. Suamiku tidak selalu hadir menemani masa kehamilanku, dia pulang tidak tentu sebulan sekali bahkan kadang dua bulan sekali. Dia sibuk dengan urusan pekerjaannya. Aku berusaha mengerti dan menerimanya.Kini usia kehamilanku sudah menginjak delapan bulan, menurut perkiraan satu bulan lagi aku akan melahirkan. Aku duduk melamun di dalam kamar sambil menunggu Kedatangan suamiku. Hari ini suamiku mengatakan akan pulang, dia berjanji besok siang akan mengantarku periksa dan membeli baju dan perlengkapan bayi.Deru suara mesin mobil membuyarkan lamunanku. Aku bangun dari rebahanku, untuk melihat siapa yang datang. Saat akan berjalan adikku Lasmi mengatakan kalau suamiku sudah pulang.“Mbak, itu suami kamu sudah pulang,” kata Lasmi.Aku berjalan ke luar kamar menyambut kedatangan suamiku. Kulihat suamiku tampak letih. Aku mengha
Aku memikirkan suamiku yang nomornya tidak aktif, padahal hari perkiraan lahir tinggal satu hari lagi, aku ingin memberi tahunya kalau anaknya akan lahir. “Aduh, perutku rasanya mules, apa aku akan melahirkan sekarang, ya, tapi perkiraan lahirnya menurut dokter Hana besok tanggal dua puluh” batinku. Ibu masuk ke kamarku dan melihat keadaanku yang meringis kesakitan. “Kamu itu kenapa, Rin?” tanya ibuku. “Perutku mules, Bu,” jawabku. “Apa jangan-jangan kamu akan melahirkan, bukankah tanggal dua puluh besok perkiraannya, Rin!” bisa jadi maju, Rin,” kata ibuku. “Aku tidak tahu, Bu, mungkin saja,” kataku. “Ya sudah, ayo kita ke klinik sekarang, aku akan menyuruh Lasmi mengantarkanmu nanti ibu menyusul,” kata ibu. Ibu memanggil-manggil Lasmi. “Lasmi ... Lasmi ...!” “Iya, Bu, ada apa?” jawab Lasmi. “Ini antar kakakmu Arini ke klinik sekarang, kayaknya mau kelahiran.” “Oh, ya, ayo kak,” kat
Aku semakin gelisah, keberadaan suamiku belum ada titik terang, padahal dia seharusnya tahu kalau aku sekarang sudah melahirkan.“Apa mas Badrun, kenapa-napa ya,” batinku.Pikiranku terus melayang-layang.“Semoga dia di beri keselamatan dan tidak terjadi apa-apa,” doaku dalam hati.Hari ini ibuku berencana menemui adik iparnya yaitu om Hadi, dia sengaja tidak memberi tahuku.“Mau ke mana, Bu?”“Ini mau ke pasar, ada sesuatu yang ingin ibu beli, kamu mau titip apa?” jawab ibuku.“Enggak, Bu, Ibu pergi ke pasar sama siapa?” kataku.“Sama Lasmi,” kata ibuku.Ibu kemudian berangkat, sampai di perjalanan meminta Lasmi untuk mengganti arah.“Belok kanan, ya, Las! Pinta ibu.“Loh kok belok kanan, Bu, katanya mau ke pasar,” kata Lasmi.“Sudah Kamu nurut saja kata ibu!“Iya, Bu,” kata Lasmi.