Bab 3
Hari pernikahanku dengan pak Badrun akan ditentukan, hatiku semakin cemas dan khawatir mengingat akan diadakan berlangsungnya pernikahanku nanti. Untuk menenangkan hatiku aku berusaha untuk menghibur diri sendiri, dan berusaha mengingat kebaiakan-kebaikan pak Badrun. Sebenarnya pak Badrun itu tidak terlalu buruk, walaupun sudah berumur lumayan tampan, hidung mancung, berpostur tinggi, atletis dan hitam manis. Pak Badrun sering olah raga dan merawat diri, jadi walau sudah berumur tetap kelihatan lebih muda dari umurnya. Orangnya berpenampilan bersih dan rapi.
Hari ini pak Badrun dan keluarganya akan datang untuk melamarku. Ibu sibuk di dapur menyiapkan masakan yang akan disajikan. Kini lengkap sudah hidangan di meja makan dan meja tamu. Tinggal menunggu kedatangan calon suamiku yaitu pak Badrun dan keluarganya.
“tiin ... tiin ....”
Pak Badrun membunyikan klakson mobil ketika sudah sampai depan rumahku
Pak Badrun dan keluarganya turun dari mobil minibus berwarna hitam.
“Assalaamu’alaikum ...”keluarga pak Badrun menyapa.
“Walaikumsalam ... mari masuk.” Jawab Bapak.
Rombongan tamu itu ada tiga orang termasuk pak Badrun. semuanya laki-laki dan yang dua orang sudah berumur semuanya. Setelah berbincang-bincang dan berbasa-basi menanyakan kabar dan lain-lainya, mereka menyampaikan maksud kedatangan mereka.
“Begini, Pak. maksud kedatangan kami untuk sillaturahmi dan melamar anak Bapak serta menentukan hari pernikahan.”
“Baiklah, Saya terima lamaran ini.
Bapak menerima lamaran pak Badrun dan menentukan hari pernikahan. Seperangkat mahar diberikan kepadaku, setelah acara seserahan mahar (bayar tukon) mereka pun pulang.
Malam harinya, aku memohon petunjuk kepada Allah dengan melaksanakan sholat malam. Di malam yang sunyi ini aku meratap menangis di atas sajadahku. aku mengadu kepada-Nya, aku memohon ridho-Nya, aku meminta diberi kekuatan, ketenangan batin dan dimudahkan segala urusanku. Aku menyebut nama-Nya berkali-kali untuk merasakan kehadiran-Nya.
“Ya Allah ... ya Allaah ... ya Allaaah ....” terus kusebut-sebut nama-Nya.
Jauh direlung hatiku aku merasakan kehadiran-Nya, ada perasaan merambat hangat ke jiwa. Terasa hati yang sesak di dada bagai terhimpit bongkahan batu besar merambat hilang tak terasa.
Aku bermunajat, berpasrah kepada-Nya.
Aku mengangkat kedua tanganku memohon kepadanya dengan sepenuh jiwa.
“Ya Allaaah!” Aku pasrahkan semuanya kepada-Mu, berikanlah yang terbaik untukku, ampunilah dosa-dosaku, aku ikhlas ya Allah jika ini merupakan jalan terbukanya limpahan rahmat-Mu. Kututup doaku
Allahumma firghfirlii waliwaa lidhayya warham humaa kamaa rabbayaa nii shokhiroon.
Ya Allah, ampuilah aku dan kedua orang tuaku. Baik ibu maupun bapaku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil.
Amiiin ....”
Hari pernikahanku akan dilaksanakan hari minggu besok jam sembilan pagi dan digelar secara sederhana, hanya keluarga inti.
Aku menikah dengan pak Badrun tanpa rasa cinta, aku juga belum pernah mengenal apa itu cinta dan merasakan dicintai dengan orang yang kucintai.
Ibu selalu berpesan dan mengajarkan aku untuk tidak pacaran dulu. Untuk giat belajar dan membatu ibu. Karena ibu tidak ingin terjadi hal-hal buruk pada anak gadisnya dan lebih konsentrasi dalam belajar.
“jadilah anak gadis itu jangan liar, harus bisa jaga diri, jaga kehormatan,” kata ibu.
“Iya Bu, akan kuingat selalu nasehat Ibu,” jawabku
Itu yang ditanamkan ibu, selalu terngiang dalam ingatanku. Jadi aku tidak berani pacaran walau banyak laki-laki yang mendekatiku. Aku bertekat rajin belajar dan menjadi anak yang membanggakan orang tua. Aku tidak mau mengecewakan mereka, sekarang cita-citaku kandas gara-gara ulah pamanku yang tidak bertanggung jawab.
Hari pernikahanku semakin dekat, orang tuaku ke rumah saudara-saudaranya untuk mengundang mereka datang ke rumah untuk menghadiri pernikahanku. Serta tak lupa juga ke rumah nenek dan om Hadi, om Hadi tinggal bersama nenek karena dia anak paling kecil sendiri. Saudara bapak ada empat orang termasuk bapak dan yang paling dekat dengan bapak adalah om Hadi. Bapakku anak nomor tiga jadi nyambung kalau mau berkeluh kesah dengan om Hadi. Sedangkan yang pertama dan kedua perempuan, bude Narti dan bude Marwa.
“Hadi, besok hari minggu datang ya! untuk menghadiri pernikahan Arini keponakanmu,” minta Bapak.
“insya Allah, Mas! Aku akan datang bersama, Emak,” jawab om Hadi.
“Usahakan ya, tanpa kehadiranmu kurang meriah.
Hari pernikahanku yang ditetapkan sudah tiba yaitu hari minggu. Sanak saudara berdatangan dan ikut membantu menyiapkan hidangan untuk menjamu tamu.
Aku dirias oleh seorang perias pengantin di kamar sedangkan pak Badrun tidak dirias karena tidak memakai baju pengantin hanya setelan jas saja. Pernikahanku digelar secara sederhana, hanya keluarga inti dan mengundang pak RT serta tetanggaku yang dekat rumah saja. Sebagai saksi dari tetangga kalau aku sudah resmi menikah.
Saat aku dirias di dalam kamar ibu menungguiku dan terus menatapku. Air matanya mengalir deras.
“Rin, maafkan ibu, ya!”
“Bu, Arini sudah mengambil keputusan ini dan ikhlas menerimanya, Ibu jangan merasa bersalah,” hiburku pada Ibu.
Terdengar ketukan dari luar pintu dan terdengar suara dari pak RT agar aku dan ibu keluar untuk menyambut pengantin pria dan mempersiapkan diri. Karena acara akan dimulai.
“thok ... thok ... thok ...!”
“Bu Ida, mbak Arini, apakah sudah siap? acara akan segera dimulai,” kata pak RT.
“Iya, kami sudah siap, akan segera keluar,” jawab Ibu.
Setelah kami keluar kamar pak RT menggiringku ke ruang tamu dan ibu menggandeng tanganku.
Di ruang tamu sudah disiapkan tempat aku untuk ijab qobul, di sana sudah menunggu penghulu dan pak Badrun. Serta saudara-saudaranya Bapak. Aku di dudukan di sebelah pak Badrun lalu kepalaku dan pak Badrun ditutup kerudung putih oleh perias pengantin. Saat itu aku merasakan sangat gugup, jantungku berdetak sangat cepat, hatiku bergemuruh tak terasa air mataku mengalir bagai menganak sungai. Kepalaku pusing, perutku mual, pandanganku kabur. Di dalam hati aku terus berdoa.
“Aku harus kuat.”
Pak Penghulu sebelum memulai menanyakan terlebih dahulu apakah kami sudah siap.
“Bagaimana pak Badrun dan mbak Arini apa sudah siap dimulai?”
Aku menjawabnya hanya dengan anggukan kepala dan pak Badrun menjawab dengan tegas.
“Saya sudah siap!”
Pak penghulu memandang sekitar memberi isyarat untuk tenang karena sedari tadi ramai suasananya. Setelah tenang pak penghulu memulai menikahkan kami. Menyuruh Bapak maju sebagai wali untukku.
“Aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu Arini Wulandari bin Rafi Hermawan dengan mahar seperangkat alat sholat dan uang sebesar sepuluh juta di bayar tunai.”
Pak Badrun mengucapkan qobiltu
“Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang telah disebutkan. Dan aku rela dengan hal itu dan semoga Allah selalu memberikan anugerah.”
“Bagaimana saudara-saudara sah?” tanya pak penghulu.
Serempak menjawab
“Saaah ....!”
Setelah ijab qobul selesai aku, pingsan sudah tidak kuat menahan rasa kepalaku yang berat karena sangat pusing
Bab 4Aku tersadar dari pingsanku, lalu perlahan kubuka mataku dan sudah ada ibu di sampingku, ibu memijit-mijit kepalaku dan kakiku. Aku merintih kesakitan merasakan kepalaku yang terus berdenyut.“Aaargh ....”“Kamu kenapa, Rin?” tanya Ibu.“Tidak apa-apa, Bu!” mungkin hanya kelelahan saja,” jawabku.Ibu lalu berdiri melangkah keluar kamar, tidak lama kemudian ibu sudah kembali masuk ke kamar dengan membawa sepiring nasi beserta lauknya dan segelas teh manis hangat.“Ayo makan dulu!” Ibu perhatikan dari pagi tadi Kayaknya kamu belum makan, Rin,” perintah Ibu.Ibu menuju nakas mengambil obat.“Setelah makan, minumlah obat ini, pereda sakit kepala untuk meringankan sakitmu.”Ibu lalu menyodorkan sepiring nasi yang dibawanya dan obat sakit kepala. Aku mengganti posisiku yang semula tidur lalu bangun dan duduk menyandarkan punggungku di sud
Bab 5Enam bulan sudah usia perkawinanku dengan pak Badrun. Hatiku juga masih belum bisa menerima kehadirannya dan masih canggung jika berada di sampingnya, hari demi hari kulalui seperti biasa. Aku masih tinggal bersama keluargaku.Pak Badrun tidak setiap hari pulang, hanya satu sampai dua hari dia pulang ke rumah kemudian pergi lagi. Jika pulang aku melayaninya dengan baik sebagaimana istri pada umumnya. Menyiapkan baju, memasak dan menyiapkan keperluan-keperluan lainnya. Dia juga tidak banyak menuntut jadi aku tidak terlalu tertekan.Sejak pernikahan itu aku menjadi lebih pendiam dan banyak melamun.Melihat aku tidak bahagia membuat bapak semakin tertekan dan semakin memperburuk penyakitnya. keadaan ini membuat kesehatannya terganggu apalagi ditambah omongan-omongan tetangga yang terus memojokkan bapak, di suatu pagi.“aaargh ....!”“Hueek ... huueek ....!”Kulihat bapak muntah darah. Bapak kesakitan,
Menjadi anak perempuan sulung dengan dua adik, sungguh membuatku selalu memikirkan tentang kesuksesan, kemapanan dan kebahagiaan. Apalagi sejak bapak pergi untuk selamanya. Membuatku tidak henti-hentinya memikirkan masa depan. Terkadang hal itu membuatku menangis. Di malam hari ketika beranjak tidur, aku merasa tidak siap dan sangat takut, entah apa yang membuatku takut. Aku selalu tidak terima dengan pernikahanku, aku merasa pernikahanku dengan pak Badrun tidak adil bagiku.Hari ini akan diadakan selamatan untuk memperingati ke empat puluhhari kematian bapak, ibuku mengadakan acara tahlilan mengirim doa untuk almarhum bapak. Ibu sudah mulai menerima kepergian bapak. Kesedihannya berangsur-angsur hilang.Ibu mendatangkan tukang masak dan meminta bantuan para tetangga, ibu mengumpulkan para tetangga untuk membantu memasak. Dan menyiapkan hidangan untuk acara“Acaranya tahlil nanti jam berapa, Bu Ida?”Bu Yayah tukang
Suamiku pak Badrun menelepon mengabarkan, hari ini dia akan pulang. Dan di sini akan lama karena ada urusan bisnis di kota ini. lambat laun aku mulai menerima kehadiran suamiku. Suamiku selalu bersikap lembut dan penuh kesabaran kepadaku. Biasanya dia pulang sampai rumah pukul lima sore. Ibuku sibuk di dapur memasak untuk di hidangkan nanti kalau suamiku pulang.“Rin, ini masakan sudah siap, nanti kalau suami Kamu pulang, tinggal memanasi saja.”“Ya Bu! Jawabku.Ibu datang menghampiriku dan mengajaku berbicara.“Rin, apakah Kamu sudah bisa menerima, pak Badrun?Aku terdiam menanyakan pada hatiku, lalu mendesah.“Entahlah, Bu!“Cobalah untuk menerimanya, agar hatimu tidak terlalu tersiksa, pak Badrun itu juga baik serta bertanggung jawab.Aku memikirkan kata-kata ibu, yang ku rasa benar perkataannya. Suamiku pak Badrun selalu membahagiakanku, tidak menuntut dan memaksakan apa pun padaku.
“Rin, ini diminum dulu obatnya! Kata suamiku. Sambil menyodorkan obat penurun panas dan segelas air.“Nanti saja Mas, aku masih mual.”“Ayolah nanti malah tambah parah loh!”Aku terima obat dan segelas air yang di berikan suamiku kepadaku. Aku merasakan tubuhku demam, pusing dan mual. Aku tidak bisa bangun karena pusing dan mual yang kurasakan suamiku begitu sabar dan telaten merawatku. Aku terbayang kejadian waktu tenggelam kemarin. Suamiku dengan sigap menolongku. Entahlah setelah peristiwa itu membuat diriku serasa nyaman berada di dekatnya.“Aku keluar dulu ya, Rin?”“Mau ke mana mas?” ini kan masih pagi.“Aku mau membelikanmu bubur, untuk sarapanmu!”“Enggak usahlah Mas, ibu nanti memasak!Suamiku tindak mengindahkan perkataanku dia bergegas keluar. Sebenarnya tempat penjual bubur dari rumahku tidak jauh, tapi aku tidak mau merepotkan suamiku.
Tiga bulan telah berlalu sejak aku bisa menerima pak Badrun secara sepenuhnya sebagai suamiku, aku sudah mulai terbiasa menerima kehadiran suamiku yang jarang pulang karena mengurusi bisnisnya yang sering pindah-pindah kota, hal itu dikarenakan suamiku sering mendapatkan tender proyek di berbagai kota. Pagi-pagi seperti biasa ibuku sibuk di dapur mempersiapkan sarapan buat aku dan adik-adikku. “Rin ayo sarapan dulu! Ibu sudah siapkan makanan di meja.” “Iya, Bu, Lasmi dan Ratih mana? suda sarapan belum, tanyaku. “Nanti kalau mereka lapar dan mencium bau masakan ibu juga akan menyusul sendiri,” jawab ibu sambil mengambilkan piring untuk diriku. “Masak apa, Bu?” “Ini masak sayur kesukaanmu, Rin, ibu lihat kamu kok pucat tidak seperti biasanya. “Tidak tahu, rasanya tubuhku enggak enak, paling-paling masuk angin biasa. Saat aku akan makan dan mencium bau masakan, aku merasakan tiba-tiba perutku mual. “Huek ... hueek
Mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan halaman rumah, ibuku keluar untuk melihat siapa yang datang.“Oh, Nak Badrun,” kata ibu.“Iya Bu,” jawab suamiku sambil menenteng beberapa kantong plastik.“Rin, Rin, suamimu pulang,” teriak ibu dari depan rumah.Aku pun bergegas keluar menyambut kedatangan suamiku.“Kok mendadak mas pulangnya malam-malam, enggak kasih kabar dulu,” kataku sambil mencium punggung tangannya.“Iya aku mau memberi kejutan untukmu, setelah kamu memberi kabar kehamilanmu melalui telepon kemarin aku segera pulang dan sengaja tidak memberi tahumu,” jawab suamiku sambil menyodorkan beberapa kantong plastik yang berisi oleh-oleh. Aku menerimanya dan membawanya masuk.“Mas mandi dulu ya, aku siapkan makanan untukmu, Mas pasti lapar di perjalanan tadi.“Iya Rin, aku mandi, rasanya gerah dan lengket tubuhku, tolong ambilkan handuk dan s
Kehidupanku berjalan seperti biasa, hari-hari kulalui lebih banyak aku jalani sendiri bersama ibu dan Lasmi dan Ratih. Suamiku tidak selalu hadir menemani masa kehamilanku, dia pulang tidak tentu sebulan sekali bahkan kadang dua bulan sekali. Dia sibuk dengan urusan pekerjaannya. Aku berusaha mengerti dan menerimanya.Kini usia kehamilanku sudah menginjak delapan bulan, menurut perkiraan satu bulan lagi aku akan melahirkan. Aku duduk melamun di dalam kamar sambil menunggu Kedatangan suamiku. Hari ini suamiku mengatakan akan pulang, dia berjanji besok siang akan mengantarku periksa dan membeli baju dan perlengkapan bayi.Deru suara mesin mobil membuyarkan lamunanku. Aku bangun dari rebahanku, untuk melihat siapa yang datang. Saat akan berjalan adikku Lasmi mengatakan kalau suamiku sudah pulang.“Mbak, itu suami kamu sudah pulang,” kata Lasmi.Aku berjalan ke luar kamar menyambut kedatangan suamiku. Kulihat suamiku tampak letih. Aku mengha