Selepas kepergian kedua orang tua Sarah dan juga papa Marlon dari rumah mereka beberapa menit yang lalu, akhirnya keduanya hanya terus bisa berdiam diri di tempat mereka masing-masing.
Mereka dengan pikirannya yang tidak menentu.
Marlon tidak mencintai Sarah, begitu juga sebaliknya. Sarah sama sekali tidak tertarik dengan pria tampan yang berada di hadapannya itu. Apalagi Marlon amat dingin terhadapnya, sikapnya sudah tidak Sarah suka sejak awal pertemuan mereka.
Hal itu sudah wajar karena keduanya sudah memiliki kekasih masing-masing. Meskipun begitu keduanya tidak membuka kartu satu sama lain di hadapan kedua orang tua mereka ataupun khalayak publik.
Marlon tidak tahu siapa cowok Sarah dan begitu juga dengan Sarah yang tidak tahu menahu siapa cewek Marlon.
Tanpa aba-aba keduanya memandang satu sama lain. Awal mulanya tatapan mereka memiliki sebuah arti walaupun itu tidak begitu jelas.
Lama-kelamaan mereka jadi teringat akan keberadaan mereka di rumah tersebut karena sebuah perjodohan yang amat tidak bisa mereka setujui dengan ikhlas.
"Apa!" ucap keduanya bersamaan. Marlon maupun Sarah sedikit kaget dengan apa yang mereka ucapkan. Mengapa bisa sama dan bersamaan?
"Awas aja ya kalau kamu sampai macam-macam sama aku, apalagi berfikir aku mau hamil dengan kamu. Aku tidak sudi!" ucap Sarah dengan ketus.
Marlon tidak percaya dengan apa yang Sarah ucapkan barusan. Memangnya siapa juga yang ingin memiliki anak dengannya? Sungguh harga diri Marlon seperti diinjak oleh Sarah.
"Gak, aku juga tidak mau memiliki anak bersamamu jadi jangan pernah berfikir aku mau menyentuhmu!" balas Marlon.
"Bagus deh, soal omongan mereka mendingan tidak usah kita pikirkan dan sekarang lebih baik kita urusi urusan kita masing-masing seperti sebelumnya karena mereka sudah tidak ada di sini. Kamu bukan levelku," kata Sarah.
Sarah pun berdiri dari tempat duduknya dan berniat hendak pergi ke kamarnya kembali.
"Wanita apaan itu, udah jelek sok cakep," gumam Marlon lirih.
Seketika Sarah langsung berbalik badan memandang Marlon yang kini sudah berbaring di atas sofa.
Marlon tidak sadar sama sekali jika Sarah tengah menatapnya dengan tajam dan justru Sarah kini mendekati Marlon yang sedang memainkan ponselnya.
"Ap-apa kamu bilang?" tanya Sarah dengan suara penuh tekanan.
Marlon baru menyadari bahwa ada perubahan dari Sarah. Bagaikan demit yang mau menerkamnya, Marlon menyimpan kembali ponselnya.
Marlon melihat Sarah tampak cantik dan seksi ketika sedang marah. Jalannya seperti sedikit berlenggok dengan kaki jenjangnya menuju ke arah Marlon.
Sialnya pikiran Marlon justru malah terganggu, wajah Sarah berubah menjadi wajah Natalia. Marlon langsung duduk dan menyambut kedatangan Natalia dengan mengulurkan kedua tangannya. Karena tidak ada respon, Marlon bangkit dan mulai menarik lalu mendorong pelan tubuh Natalia ke arah sofa.
Kini Natalia yang berada di atas sofa, berhasil berada di dalam kungkungan kedua tangan Marlon. Marlon tidak peduli dengan teriakan wanita yang saat ini sedang bersamanya itu.
Bibir Natalia yang merah seperti buah ceri amat menggoda, ingin rasanya segera beradu dengan bibir tersebut. Marlon pun menutup matanya dan pelan-pelan mendekati wajah Natalia untuk menciumnya.
Plak!
Belum sempat mencium, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Marlon.
"Aduh! Sakit, Natalia!" ujar Marlon refleks Marlon pun mundur, sedikit meringis merasakan pipinya panas.
Marlon baru menyadari siapa yang ada di hadapannya tersebut ternyata bukan kekasihnya---Natalia. Tapi malah Sarah.
Tentu saja membuat Marlon kaget bukan main. Ternyata Marlon terlalu berhalusinasi.
"Kurang ajar ya kamu ya, kamu berani-beraninya menyentuhku! Emang dasar kamu itu ingin berbuat macam-macam sama aku. Minggir!" Kali Sarah pun menendang perut Marlon.
Hampir saja Marlon jatuh dari sofa tapi untungnya Marlon dapat menyeimbangkan badannya yang kekar itu dengan baik, sehingga tidak jatuh ke lantai.
Dilihatnya Sarah sudah berlari menaiki anakan tangga.
"Hey jangan lari-lari. Nanti kamu jatuh!" teriak Marlon.
"Jangan urus aku, jangan ganggu aku! Aku membencimu!" balas Sarah sambil terus berjalan sedikit berlari dengan amat acuh.
Marlon terbengong untuk sesaat, lalu tertawa sendiri seperti orang gila.
"Sepertinya keadaan ini sudah membuatku gila. Masa iya aku sampai mengira Sarah itu Natalia. Pantas saja dia bertingkah seperti itu, padahal semua itu terjadi karena aku salah mengira dia yang kupikir dia itu Natalia. Tapi percuma juga aku nyusul lalu jelasin, gak penting juga," gumam Marlon.
Marlon merasa tiba-tiba rindu dengan Natalia. Padahal baru semalam mereka bersenang-senang tapi entahlah mengapa Marlon ingin sekali mendengar suara Natalia yang merdu.
***
Sarah telah berada di dalam kamarnya sekarang. Sarah uring-uringan tidak jelas, dia benar-benar tidak habis pikir mengapa dirinya tadi bisa beradegan tidak senonoh dengan Marlon. Padahal sama sekali Sarah tidak menginginkan hal tersebut.
"Gawat, aku tidak bisa jika harus hamil dengan Marlon. Dia benar-benar pria mesum, tapi papa dan mama pasti mengancam ingin menyerahkan semua warisan pada Tania, lalu aku?"
Sarah menggelengkan kepalanya dengan cepat, rasanya dia tidak sanggup lagi memikirkan hal yang akan terjadi selanjutnya. Yang jelas dirinya tidak sanggup jika harus menuruti keinginan kedua orang tuanya yang kebelet ingin memiliki cucu.
"Aku tidak bisa jika harus hidup menjadi gembel di luar sana tanpa apapun yang aku punyai. Masa iya aku sebagai anak pertama harus mengalah pada adikku sendiri dan semua yang papa mama miliki selama ini akan menjadi milik Tania semua? Bagaimana dengan masa depanku sama Evan kelak? Ya, mungkin bisa saja Evan saat ini mengerti keadaanku, tapi nanti bagaimana?"
Sarah menjatuhkan diri di atas kursi menghadap meja rias. Di pandangannya wajahnya yang cantik.
Sarah jadi kesal sendiri melihat dirinya di pantulan cermin karena wajahnya cantik mirip mamanya. Setiap Sarah mengingat ancaman kedua orang tuanya termasuk mamanya membuat Sarah selalu takut menghadapi hari-hari esok yang mungkin saat ini begitu cerah dan akan berubah menjadi begitu kelam dan suram.
Sarah merasa tidak merdeka, kadang Sarah suka iri dengan teman-temannya dan juga orang lain yang bisa menentukan pilihannya sendiri. Sarah juga tidak habis pikir mengapa kedua orang tuanya memilih Marlon yang sangat menyebalkan tersebut sebagai jodohnya.
"Sebaiknya aku adukan saja bahwa Marlon selama ini tidak pernah mengurusiku dengan baik. Maka setelah itu pasti papa dan mama akan menyuruhku bercerai dengan Marlon dan akhirnya aku akan bebas lalu menikah dengan Evan. Ya, sebaiknya begitu," gumam Sarah.
Sarah mulai tersenyum senang membayangkan dirinya dan Marlon berpisah lalu Sarah juga mulai memimpikan dirinya nanti bisa hidup bahagia bersama Evan---kekasihnya.
"Lihat aja, aku akan segera bebas dari belenggu ini. Aku tidak mau terus menerus hidup begini." Sarah mulai mencari keberadaan ponselnya tapi tidak ketemu di kamarnya.
"Aduh, kemana ponselku?" tanya Sarah pada diri sendiri setelah yakin di kamarnya tidak ada.
Mau tak mau Sarah keluar kamar, dia ingin bertanya pada pembantunya. Siapa tahu pembantunya itu melihatnya atau justru menemukannya.
"Iya, Sayang. Iya, aku juga gak mau kamu terus tertekan di sana. Percayalah aku akan selalu ada untukmu, tidak ada yang lain di hidupku selain kamu," ucap Marlon sambil tiduran di atas sofa ruang tamu.
Sarah yang merasa penasaran dengan siapa Marlon berbicara mesra, akhirnya hanya bisa diam di tempatnya berdiri.
Entah angin apa yang membuat Sarah begitu tidak enak hati.
'Astaga, apa aku cemburu?' batin Sarah.Seperti yang pernah Sarah rasakan beberapa waktu lalu.Rasanya sama seperti ketika Sarah memergoki Evan sedang makan berdua dengan salah satu sahabat ceweknya di tempat favorit Evan, tentunya saat awal-awal hubungan keduanya dulu.Sarah sebenarnya merasa sangat cemburu dengan keberadaan sahabatnya itu, yang menurut keterangan Evan adalah sahabat kecilnya dan sampai sekarang mereka masih tetap bersama dan berteman baik.Sarah pun tahu diri, kemudian merasa dirinya tidak memiliki hak untuk memisahkan sepasang sahabat tersebut ataupun melarang Evan untuk berkomunikasi dengan sahabatnya itu.Sarah sempat khawatir hubungannya dengan Evan rusak dengan kehadiran orang ketiga yaitu orang yang disebut sahabat. Namun, sekarang Sarah sangat mempercayai Evan.Evan memang tidak sekaya Marlon, bisa dikatakan Evan hanyalah pemuda dari kalangan bawah, tetapi rasa cinta Sarah terhadap Evan tidak diukur dengan harta."Iya, Sayang. Aku tau kok, kamu yang sabar ya."Lagi-lagi Marlon terus berbicara mesra
Seperti yang pernah Marlon bilang sebelumnya pada Natalia, malam ini dirinya tidak bisa menemani Natalia, akan tetapi Marlon tidak tega dan tidak mampu juga mengabaikannya saat Natalia menelponnya dan merengek minta di temani. Ternyata Natalia hendak pergi dari rumah ibu tirinya. "Aku tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini, aku seperti orang asing. Apa kamu bisa temani aku untuk mencari kontrakan untuk sementara waktu, Sayang? Karena aku tidak mungkin tinggal bersama papa dan mama tiriku lagi," ujar Natalia beberapa jam yang lalu. "Kenapa kamu tidak tinggal di rumah mama kandung kamu saja, Sayang?" tanya Marlon. Bukankah selama ini Natalia juga sering menginap di rumah mama kandungnya? "Aku tidak ingin membuat mama kepikiran jika dia tau yang sebenarnya mengapa aku menetap di rumah mama. Tentu saja mama akan marah pada papa dan aku tidak mau mereka bertengkar," jawabnya terdengar sedih. "Baiklah, aku yakin keputusanmu sangat baik untuk ke depannya, aku akan ke sana."Meskipun
Tidak butuh waktu lama, tepat pukul 9 malam mobil yang dikendarai oleh Sarah dan Vita kini sudah terparkir rapi di salah satu halaman cafe yang sedang digandrungi di kalangan masyarakat saat ini. "Gimana menurutmu, Sar? Bagus banget 'kan cafenya?" Vita meminta pendapat Sarah, Vita sangat yakin jika Sarah juga menyukainya karena keduanya memiliki selera yang hampir sama. Dari dalam mobil Sarah dapat melihat dengan jelas bagian depan cafe yang terlihat sangat elegan, dindingnya dihiasi lampu-lampu kecil. Tidak begitu ramai akan tetapi terlihat begitu natural. Sarah memperhatikan dari dalam mobil sambil kepalanya manggut-manggut. "Ya, lumayan bagus," sahut Sarah. Sarah sudah mengunjungi puluhan tempat di berbagai negara, untuk hal-hal seperti itu tentu saja Sarah pandai menilai. Parkiran hampir penuh, mobil Sarah paling mewah di antara semua kendaraan yang ada karena kebanyakan orang yang berkunjung dari kalangan menengah ke bawah. Vita buru-buru keluar dari dalam mobil. Dia khaw
Di meja nomor 18 "Gimana? Kamu suka gak makan di sini?" tanya Marlon yang tidak dapat mengalihkan pandangannya pada Natalia yang duduk di hadapannya. Mereka sudah tiba di cafe itu beberapa menit yang lalu, kini mereka juga tengah menikmati masakan cafe tersebut. "Ini sangat bagus, Sayang. Lebih bagus dari tempatku bekerja, padahal ini hanya cafe sedangkan tempatku bekerja itu restoran. Kamu memang pandai memilih," sahut Natalia jujur. "Tentu saja, aku tidak mungkin mengajakmu ke tempat yang tidak biasa karena bagiku kamu itu ratu. Ayo di habiskan makananmu," pinta Marlon. Natalia mengangguk senang. Mereka menyantap makanan mereka dengan sesekali mengobrol random. "Ehh, coba deh kamu rasakan makanan aku. Ini enak banget," kata Marlon menyodorkan steak yang sudah berada di dekat mulut Natalia. Natalia pun membuka mulutnya. "Hmmm." "Gimana?" tanya Marlon melihat wajah Natalia tampak menikmati makanan yang dikunyahnya. "Ini sungguh enak, Sayang," sahut Natalia. Mereka berdua pun s
"Ya. Aku memang cemburu!" ujar Sarah dengan mantap, hal itu membuat Marlon berhenti tertawa. Tidak menyangka sama sekali jika istrinya itu akan cemburu pada Natalia. "Apa maksudmu? Kita sudah sepakat untuk mengurus urusan kita masing-masing tanpa kita ikut campur urusan kita satu sama lain," ingat Marlon pada Sarah. Terlihat sangat jelas wajah Sarah yang menahan amarah, tapi ada kesedihan juga di dalamnya. "Cemburu itu hakku, kenapa kamu mengaturnya?" tanya Sarah menantang. "Hak?" ulang Marlon tidak mengerti. Dia amat tidak menyangka sedikitpun jika Sarah sekarang berani mengungkapkan perasaannya itu pada Marlon. Sarah tahu jika dirinya saat ini seperti sebuah lelucon di mata Marlon. Bagaimana tidak? Dulu Sarah lah yang menginginkan kehidupan seperti yang terjadi sekarang tetapi kenyataannya, lambat laun Sarah diam-diam memperhatikan perhatian Marlon yang jauh berbeda dari sebelumnya. Dan hal itu membuat Sarah terpengaruh memiliki rasa cemburu terhadap Marlon. Mulanya Sarah ing
Sarah tersenyum kecut, teramat begitu kecut. Bagaimana tidak, apa yang Marlon tebak itu benar adanya. Sarah memang menginginkan perpisahan tapi bukan waktu yang tepat untuk sekarang ini. "Kamu pikir enak ya jadi aku berada di posisi yang sekarang? Aku tau maunya kamu itu ke arah mana pada hubungan ini, aku pun sama. Tapi...." Ucapan Sarah berhenti. Marlon dan Sarah serempak menengok ke arah pintu, suara bel berbunyi. "Itu pasti dia datang, kamu lihat sana," pinta Marlon pada Sarah. Sarah agak melotot karena mendapatkan perintah dari Marlon. "Kamu menyuruhku? Sejak kapan kita saling suruh-menyuruh? Lagian sudah ada bi Sumi, iya kan?" tanya Sarah mengingatkan. Marlon menggelengkan kepalanya sendiri. "Kamu nurut saja, bukain pintu untuknya. Ini semua demi agar kita terlihat kompak dan baik-baik saja," ujar Marlon menjelaskan. Sarah telah salah sangka pada Marlon, apa yang Marlon bilang benar juga. 'Benar juga apa kata gerandong. Bukankah dengan begitu, kita akan terlihat sepert
APARTEMEN NATALIA Natalia menghela nafas panjang. Setelah Marlon mengantar ke apartemennya, Natalia segera mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur kemudian naik ke pembaringan. Tidak ada acara apapun setelahnya karena memang dirinya hanya tinggal sendiri, sedangkan perutnya juga sudah merasa kenyang meskipun dia tidak sempat menghabiskan makanannya di cafe bersama Marlon tadi. Sebenarnya Natalia masih merasa heran dengan sikap Marlon malam ini, tumben sekali dia tidak mampir saat Marlon mengantarkan Natalia pulang tadi. Biasanya Marlon akan tinggal beberapa jam, meskipun Marlon tidak menginap setidaknya akan ada sesi basa-basi. Sesibuk apapun, Marlon akan menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang dengan Natalia. Malam ini tidak lagi. "Apa ini ada hubungannya dengan wanita yang berada di cafe tadi ya? Siapa dia? Kenapa wanita itu memanggil Marlon dengan sebutan tuan? Apa dia anak boss Marlon?" gumam Natalia bingung. Natalia masih mengingat dengan jelas wajah wanita yang memint
Natalia diam beberapa saat, memikirkan apakah ini saatnya dia bisa mengenal orang yang dia duga adalah orang tua Marlon.Hingga beberapa detik kemudian, Natalia memutuskan hendak turun. Dia akan menemui Marlon dan tuan Carlos.Yah, kapan lagi kalau tidak sekarang? Mengingat hubungannya dengan Marlon sudah terjalin cukup lama tapi nyatanya sampai sekarang tidak ada kemajuan sama sekali."Saya turun di sini saja, Pak," ucap Natalia tiba-tiba. "Lho, beberan Mbaknya mau turun di sini? Masih jauh tempatnya lho, Mbak.""Iya saya tahu, ohh ya ... ini ongkosnya," ucap Natalia, tangannya terlulur meyerahkan uang pecahan 50 ribu. Sopir taksi itupun menerimanya kemudian Natalia keluar dari dalam taksi. Beberapa detik lagi akan berganti lampu, Natalia mempercepat langkahnya hendak menghampiri mobil yang dia duga di dalamnya adalah Marlon dan papanya.Buk! Karena terburu-buru dan tidak memperhatikan sekitar dengan teliti, Natalia malah menubruk penjual asongan hingga penjual asongan itu meng