Vidio yang dikirimkan Bayu berisi seorang pria yang mengendarai sepeda motor memasuki halaman rumah perempuan itu. Membawa kantong kresek entah apa isinya. Di teras rumah terlihat perempuan itu berdiri menunggu pria itu berjalan ke arahnya.
Setelah pria itu berdekatan dengan perempuan itu, terlihat sekali dengan jelas. Pria itu mendaratkan sebuah ciuman di kening dan pipi perempuan itu. Tak salah lagi, mereka pasti punya hubungan rahasia.
Mereka lalu memasuki rumah, tapi tak mengunci pintu depan. Walaupun begitu aku tak bisa melihat ke dalam rumah. Sepertinya, Bayu berdiri mengambil vidio itu dari arah yang sedikit jauh.
Aku langsung menelpon Bayu, menanyakan apakah mereka masih ada di dalam rumah.
"Hallo, Bayu. Apa mereka masih ada di dalam?" aku langsung mencercanya dengan pertanyaan.
"Masih, ini aku lagi nyari tempat yang bagus untuk ngambil vidio. Sepertinya mereka lagi makan di ruang tamu", ujar Bayu padaku.
"Ya sudah, kamu
"Sudah kamu lihatkan? Rahasia apa yang kamu maksud? Kenapa Mas Yoga terlihat sangat takut saat kamu mengancam akan membocorkan rahasianya padaku", tanyaku dengan sedikit penasaran. Aku berharap dia segera jujur. Aku sudah tidak tahan lagi menjadi istri Mas Yoga. Aku ingin segera bercerai, tapi rasa penasaranku pada rahasia itu membuatku menunda untuk menggugat cerai Mas Yoga."Aku tidak bisa memberitahumu!" ujarnya terduduk lunglai. Sepertinya dia tidak mau jujur padaku."Kalau kamu tidak jujur, maka aku akan mengirimkan vidio ini pada Mas Yoga. Dia akan sangat marah padamu, apalagi jika melihat pria itu mencium kamu", ujarku masih berusaha untuk membuatnya mau buka mulut."Jangan kirimkan vidio itu pada Mas Yoga, aku mohon Mbak!" tampangnya memelas sekali. Pasti dia takut Mas Yoga marah padanya."Baik, sekarang kamu beritahu aku rahasia apa yang disembunyikan oleh Mas Yoga dariku?" aku mengulangi pertanyaan itu lagi padanya."Rahasia itu, tentang
Kulirik jam di pergelangan tanganku, masih jam dua siang. Mas Yoga akan kembali sore nanti sesuai ucapannya tadi pagi. Aku masih punya waktu beberapa jam. Aku rasa waktu itu cukup untuk berbicara dengan Mas Candra.Segera aku beranjak keluar rumah, menaiki mobil lalu dengan cepat melajukan kendaraan menuju kafe tempat pertemuan aku dan Mas Candra.Cafenya tidak terlalu jauh, hanya butuh lima belas menit dari rumahku. Aku segera memarkirkan mobil, disisi lain aku lihat mobil Mas Candra sudah terparkir. Berarti dia sudah duluan datang. Aku memasuki kafe, lalu mengedarkan pandangan mencari keberadaan Mas Candra.Dia duduk di pojokan, sedang menyeruput minuman yang ada di depannya. Aku segera berjalan menghampirinya."Mas? Sudah lama?" ujarku sambil menarik kursi yang ada di depannya. Mas Candra mendongakkan wajah melihat kehadiranku."Nggak, baru sampai kok. Haus, makanya langsung pesan minuman. Kamu mau pesan apa? Mau makan dulu?" ujarnya perha
Setelah sampai di rumah, terlihat mobil Mas Yoga sudah ada. Berarti dia sudah pulang. Aku segera keluar dari mobil. Berjalan memasuki rumah. Ternyata Mas Yoga tengah duduk di ruang tamu, sambil menatapku tajam."Kamu darimana? Dari tadi mas hubungi nomormu tapi nggak bisa masuk. Kenapa keluar rumah tidak memberi tahu, mas?" tanyanya dengan mimik menahan luapan kemarahan."Kenapa Mas marah? Aku keluar dari rumah ini untuk mencari hiburan. Apa salah? Aku juga ingin sedikit melupakan kesedihanku", ujarku tak mau kalah. Egois sekali dia."Tapi, setidaknya kamu harus mengangkat telpon dari mas. Bukannya seperti ini", ujarnya ketus."Handphoneku mati, lalu bagaimana cara menelponmu?" ujarku berbohong. Padahal aku tidak tahu penyebab kenapa panggilan darinya tidak terdengar olehku. Mungkin handphoneku beneran mati. Aku tidak ada memeriksanya setelah Mas Candra melihat isi vidio tadi."Ya sudah, lain kali kalau keluar rumah. Pastikan daya handp
Mas Yoga menepuk lembut pundakku, membuyarkan lamunanku."Kamu kenapa? Kenapa terlihat murung?" tanya Mas Yoga sambil melajukan kendaraan."Aku hanya kepikiran dengan orang yang menabrak kedua orang tuaku, andai saja dia tidak lari. Aku yakin mereka masih bisa di selamatkan", ujarku lemah. Pipiku dibasahi oleh linangan airmata. Tiap kali mengingat kedua orang tuaku, tetap saja aku tak mampu menahan tangis."Sudahlah, jangan menangis. Doakan saja. Semoga kedua orang tuamu mendapatkan tempat yang terbaik disisi Tuhan" ujar Mas Yoga lembut, sambil membelai kepalaku.Aku hanya diam, kesedihan yang kurasakan seperti bertambah hari ini.Mobil Mas Yoga melaju pelan, pemakaman kedua orang tuaku sudah dekat. Aku sudah membawa bunga dari rumah. Aku segera turun saat mobil Mas Yoga parkir di luar pemakaman. Lalu berjalan menuju pemakaman kedua orang tuaku. Mas Yoga mengikutiku dari belakang.Sampai di pemakaman kedua orang tuaku, ternyata sudah bersih
"Riana kangen Ayah dan Ibu, Paman!" ucapku masih terisak menahan tangis."Sudah, jangan menangis lagi. Doakan mereka agar kuburannya lapang, mendapatkan tempat yang terbaik disisi Tuhan", ujar Paman membelai kepalaku dengan lembut."Kamu kesini bareng Yoga kan?" tanya Paman padaku."Iya, Paman. Dia ada di ruang tamu", ujarku melepaskan pelukan pada Paman."Ayo kita ke depan, Bibimu sudah selesai masak mungkin. Kita makan siang dulu", ujar Paman menggandeng tanganku. Kami berjalan beriringan menuju ruang makan. Ternyata Bibi memang sedang menata makanan di atas meja."Ayo...kita makan dulu, bibi sudah selesai masak", ajak Bibi padaku dan Paman."Sana...panggil suamimu juga", ujar Paman padaku. Aku segera berjalan menuju ruang tamu."Mas...dipanggil Paman. Makan dulu katanya", ujarku pada Mas Yoga yang tengah bermain handphone.Dia berdiri lalu mengikutiku ruang makan. Aku lalu duduk di samping Bibi sedangkan Mas Yoga duduk disam
"Hati-hati di jalan ya. Jangan terlalu ngebut. Kasihan istrimu yang sedang hamil ini", ujar Bibi sambil mengelus perutku yang sudah terlihat menonjol sedikit."Baik, Bi. Aku akan hati-hati berkendara", ujar Mas Toga pada Bibi dan Paman.Mobil Mas Yoga melaju dengan kecepatan sedang. Aku hanya diam. Tak mengajak Mas Yoga bicara sedikitpun."Kenapa kamu tidak bilang soal perusahaan pada mas, Riana?" tanya Mas Yoga memecahkan lamunanku. Aku menghela nafas berat."Kalau Paman tahu kamu punya istri selain aku, apa kamu pikir dia rela kamu memimpin perusahaan?" tanyaku mendalam padanya."Ya....jangan kasih tahu Paman dong. Kamu kan istriku, seharusnya kamu mendukung karir suamimu ini?" ujarnya tanpa rasa malu."Aku membiarkan kamu menjadi direktur perusahaan Ayah, tapi kamu tidak berhak bertindak semaumu. Kalau sampai kamu berbuat curang, aku akan katakan semuanya pada Paman. Bukan hanya dipecat dari
"Makannya pelan-pelan Riana", Mas Candra menghidangkan segelas air putih disamping piringku."Makasih, Mas. Aku kelaparan Mas. Maaf ya?" ujarku tetap melanjutkan makan.Mas Candra me lap mulutnya, pertanda dia telah selesai menikmati makanan. Aku juga telah menghabiskan makanan yang ada di piringku. Ku minum jus jeruk pesananku."Apa kamu tidak bisa menebak sedikitpun apa kesalahan suamimu pada kedua orang tuamu, Riana?" tanya Mas Candra padaku.Aku meletakkan gelas yang berisi jus jeruk dari tanganku ke atas meja."Aku belum yakin, Mas. Hanya saja saat sama-sama mengunjungi makam kedua orang tuaku. Aku sempat kepikiran. Jangan-jangan Mas Yoga lah pelaku tabrak lari kedua orang tuaku, Mas!"Mas Candra terlihat kaget, sontak dia menjauhkan punggungnya dari sandaran kursi."Kenapa kami bisa kepikiran itu?""Pikiran itu hanya terlintas begitu saja, Mas. Saat melihat mata Mas Yo
Aku mendengarkan dengan seksama percakapan antara perempuan itu dan pria yang ada didepannya melalui vidio yang dikirimkan oleh Bayu."Mas, kalau terusan seperti ini lama-lama aku tidak tahan", ujar perempuan itu terlihat cemberut."Sabar sayang... sesekali kita ke hotel aja kalau lagi kangen", imbuh pria itu menenangkan."Menyebalkan sekali perempuan tua itu. Dia selalu mengancamku. Aku juga risih di rumah. Kayak diawasi terus" perempuan tua yang dia maksud pasti aku."Nanti akan mas balas dia. Kamu tunggu saja. Kalau dia mengancam kamu lagi, hidupnya tidak akan selamat!" balas pria itu."Mas Yoga juga belum bisa seutuhnya aku kuasai. Minta mobil saja dari kemaren belum dapat juga. Baru rumah itu yang atas namaku. Aku sudah bosan Mas, sandiwara terus!" balas perempuan itu."Sabar, semua itu demi anak kita. Nanti, kalau anak kita ini sudah lahir kamu peras semua harta Yoga itu. Dia kan tidak tahu kalau anak yang sedang kamu kandung itu bukan