“Maaf, Bu. Ibu nunggu lama, ya?”Nayla masuk ke dalam mobil, menatap Nasyila dengan khawatir. Disusul, Evan juga masuk ke dalam. Kali ini, Evan duduk di kursi depan, samping Tommy yang menyetir mobil mereka.“Nggak apa-apa, Nay. Ibu senang, kok, karena akhirnya Ibu bisa pergi,” balas Nasyila dengan lembut.Nayla menghela napas lega, kemudian menyunggingkan senyuman kaku. “Syukurlah, untung Evan datang.” Nayla menoleh ke depan, melihat suaminya yang duduk di kursi depan mobil, selalu kembali tersenyum.“Lain kali, jangan datang ke sini sendirian, ya, sayang,” peringat Evan dengan nada dingin. “Aku khawatir, kamu tidak bisa menangani mereka sendirian.”Nayla menghela napas panjang, kemudian tertunduk lesu.“Maafin aku, Evan. Pikiranku terlalu kacau, aku tidak berpikir sampai kesana,” keluh Nayla dengan nada sedih.Evan menghela napas berat. Dia mengerti, kenapa istrinya bisa memiliki pikiran yang cukup kotor. ‘Pasti kamu masalah di hotel,’ pikir Evan.“Maaf, aku sudah membebanimu den
“Kamu berani mengancam ayah mertuamu sendiri, Evan?!”Marissa langsung ikut angkat bicara dengan nada tinggi. Tatapannya tajam, menatap Evan tanpa rasa takut. Evan tersenyum sinis. Semakin lama, dia semakin paham bagaimana karakter masing-masing dari anggota keluarga istrinya. “Kalau memang itu diperlukan. Apa boleh buat?” sahut Evan dengan entengnya. Ghavin mendengus kesal. Mencoba mengontrol emosinya. Karena dia tahu, menantunya Evan tidak akan mudah ditundukkan seperti putrinya, Nayla. Dia harus menghadapinya dengan hati-hati. “Bukan begitu maksud Papa, Evan. Tapi, kamu juga kan seorang suami. Harusnya kamu tahu kan posisi Papa?” Ghavin mencoba menjelaskan dengan tenang dan lembut. “Bagaimana perasaan kamu, tiba-tiba istrimu sendiri dibawa tanpa seizinmu?”Evan tertunduk sesaat sambil tersenyum sinis. Dia merasa kalau perkataan ayah mertuanya itu sama sekali tidak masuk akal. Karena, sama sekali tidak mencerminkan tindakannya sendiri. “Enteng sekali Anda berbicara seperti itu,
“Tidak bisa! Kamu nggak bisa pergi dari sini. Aku tidak akan mengizinkanmu, Nasyila!”Ghavin melotot tajam. Menentang keras rencana Evan dan Nayla membawa Nasyila tinggal di rumah mereka.Nayla maju selangkah lebih dekat kepada ayahnya. Wajahnya terangkat, seolah menantang sama ayah dengan penuh keberanian. “Kenapa, Pa? Kenapa Papa nggak mau kalau aku ajak Ibu untuk tinggal di rumah kami?” tanya Nayla dengan nada menantang. Ghavin mendengus kesal. Tatapan tajamnya kini berarah kepada Nayla. “Nggak! Pokoknya Papa nggak bakal mengizinkan kalian membawa Ibu kalian pergi dari sini!” pungkas Ghavin menegaskan.Mendengar itu, Evan terdiam namun tatapannya menusuk tajam ke arah ayah mertuanya. Auranya terasa mencekam, sekaligus dingin, namun penuh otoritas. “Anda mengizinkan atau tidak, kami tetap akan membawa Ibu pergi dari sini!” Evan pun ikut mengambil keputusan dengan tegas. Membuat Ghavin tercengang menatapnya.“Kenapa? Anda keberatan, Tuan Ghavin?” Lanjut Evan bertanya dengan penu
“Kalian mau kemana?”Adelia dan Marissa seketika menghadang Nayla, dan Evan yang keluar bersama dengan Nasyila.“Mau dibawa kemana, dia?” tanya Adelia kembali mendesak.Nayla yang berdiri tegap, menelan ludahnya sambil melayangkan tatapan tajam kearah mereka berdua.“Aku mau bawa Ibu ke rumah sakit. Lalu, Ibu bakalan tinggal bareng kami.” Sejenak, Nayla melirik pada Nasyila. Lalu balik lagi menatap Adelia dan Marissa dengan tatapan tajam. “Kalau kalian mencoba menghalangiku. Aku pastikan, akhirnya nggak akan baik untuk kalian berdua,” lanjut Nayla mengancam.Adelia tertawa sinis, lalu melipatkan kedua tangannya di dada. Mengangkat wajahnya dengan angkuh. Bibirnya menyunggingkan senyum dingin yang menusuk, dengan tangannya yang menunjuk tajam ke arah Nasyila.“Oh, jadi kamu mau bawa beban itu keluar dari rumah ini?” tanya Adelia dengan merendahkan, penuh sindiran terselubung. Nayla yang berdiri tak jauh dari situ, dadanya naik-turun menahan amarah, mendengus keras. Tatapannya membar
“Kenapa ibu, diam saja?!”Nada bicara Nayla semakin meninggi, saat Nasyila tak langsung menjawab pertanyaannya. Evan mendekat, dia meraih tangan Nayla, mencoba untuk menenangkannya.“Tenang dulu sayang. Kamu nggak perlu emosi seperti itu,” sergah Evan dengan lembut.Nayla menghela napas berat. Matanya berkaca-kaca, dengan napasnya yang terasa berat dan memburu.Nasyila mengangguk pelan, menatap Nayla dengan penuh harap. Sementara napasnya berderu pelan, mencoba mengontrol pernapasan yang terasa sedikit sesak. “Benar kata Evan, Nay. Kamu sabar dulu. Kamu jangan terlalu emosi. Ibu nggak mau ada keributan terjadi,” ucap Nasyila dengan nada lirih.Nayla mendengus kesal. Emosi terasa semakin membuat dadanya panas. Namun, dia berusaha untuk meredamnya, mendengarkan kata-kata Evan.“Baiklah. Aku nggak akan emosi, Bu. Tapi … tolong Ibu jawab, apa bulan kemarin Ibu ke rumah sakit seperti biasa?” tanya Nayla, jauh lebih tenang, namun tetap penuh tekanan.Nasyila terdiam, matanya menghindari ta
“Jadi kalian sengaja mengkeroyok istriku seperti ini?!”Nada marah itu berasal dari Evan yang baru saja memasuki kediaman Joevantika. Nayla, Adelia, Ghavin, dan juga Marissa tempat terkejut melihat kedatangan Evan. Wajah Evan merah padam, dengan Tommy di sampingnya yang membantu Evan berjalan. Suara ujung tongkat itu terdengar mengetuk untuk lantai marmer mahal di kediaman Joevantika. Evan dan Tommy mendekat ke arah mereka. “Evan?” Nayla sama sekali tidak menyangka kalau Evan akan datang secepat itu. Dia menghela nafas lega, dengan matanya yang berkaca-kaca, sambil tersenyum haru dengan kedatangan suaminya. Nayla menghampiri Evan lebih dulu. “Evan, kamu sudah datang?”Dia merasa senang, karena kehadiran Evan sangat memberinya support tambahan.Evan mengusap kepala Nayla dengan lembut, selalu menjawab, “Iya, sayang. Maafin aku, karena telat datang.”Nayla menggeleng pelan. “Nggak, Evan. Aku senang kamu sudah datang tepat waktu.”Mata Nayla berkaca-kaca, senyuman penuh haru kembali