Hari itu Agni masih dalam suasana berkabung. Kehilangan orang-orang tercinta yang ada di sekitar membuatnya merasakan kesunyian dan kesendirian. Meskipun begitu, Agni sudah mulai bisa tersenyum kembali. Dia benar-benar wanita tangguh yang mampu bertahan dalam kemalangan yang terus menimpanya.
Walaupun dia sudah mulai bangkit untuk melanjutkan hidupnya, dia tetap merindukan anak-anak jalanan yang selalu diam-diam mengikutinya di belakang. Mereka yang selalu diam-diam melindungi dan menjaga Agni dari jauh. Hari itu saat Agni sedang berjalan perlahan masuk ke dalam sebuah gang. Agni mendengar suara sepatu yang mendekatinya. Hal itu membuatnya sangat khawatir. Terlihat dengan cara dia menggenggam erat tongkat yang sedang dia pegang. "Bau wangi ini?" guman Agni mulai mengendus bau wangi parfum yang tidak asing baginya dan membuatnya semakin curiga, "Tuan yang baik hati, apakah kau ada di sini?" Agni tersenyum manis dengan pandangan kosong. "Kau menyebutku apa tadi?" "Tuan yang baik hati. Apakah kau tidak menyukainya?" "Ehm ... aku menyukainya. Sangat menyukainya dan itu terdengar begitu manis di telingaku." Yosua melangkah mendekati Agni yang pandangannya kosong terlihat sedang mencari sesuatu dengan mengandalkan pendengarannya. "Anda sudah tiga kali menolongku. Anda pasti orang yang baik hati," ujar Agni sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang begitu indah dan membuatnya terlihat semakin cantik. "Bagaimana kau bisa tahu? Kau 'kan buta?" kata pria gagah nan tampan berjalan lebih mendekat lagi pada Agni. "Bau wangi parfum itu yang membuatku bisa mengenalimu." "Jika begitu, aku akan mengganti parfumku besok!" "Mungkin aku akan tetap bisa mengenali anda, tuan. Entah mengapa aku merasakan ada ikatan batin dengan anda yang sangat kuat dan aku bisa merasakan kehadiran anda di sekitarku." Melihat senyum yang terpancar dari wajah Agni membuat Yosua semakin heran pada wanita tersebut, "Bagaimana kau bisa tersenyum setelah kejadian kemarin sore?" tanya Yosua sembari menatap mata Agni begitu pekat. Yosua terpesona dengan keindahan mata yang dimiliki oleh wanita itu. Walaupun Agni buta, tapi dia di anugerahi dua bola mata yang sangat indah. Keindahan mata Agni yang dalam sekejap bisa menyembunyikan luka yang tengah dia rasa. "Karena aku hanya bisa tersenyum tanpa melihat. Mungkin jika aku bisa melihat, aku tidak akan bisa melupakan kejadian nahas kemarin sore. Mungkin sampai sekarang peristiwa itu akan terus terngiang-ngiang dalam benakku. Beruntung karena aku buta jadi aku bisa perlahan bangkit dan melupakan peristiwa itu. Hanya dengan tersenyum rasa sakit itu sedikit memudar," ucap Agni sambil berjalan mendekati dan mencari keberadaan pria itu lewat sumber suaranya. Yosua menyadari jika Agni sedang mencarinya, Yosua menarik pinggang ramping Agni dan menariknya agar lebih dekat dengannya, "Tuan, boleh aku menyentuh wajahmu," tanya Agni dengan mantap. Yosua menarik kedua tangan Agni dan meletakkan kedua tangan itu di pipinya. Dengan jarak yang begitu dekat, Agni mulai meraba wajah Yosua. Pria tampan itu menatap tajam kedua mata yang ada di depannya. Tatapan yang kosong, akan tetapi membawa kedamaian. Yosua mempererat pelukannya. "Kenapa kau sangat ingin menyentuh wajahku? Apakah kau tidak takut denganku?" Suara deep bariton menggema di rongga telinga Agni. "Tidak. Aku tidak takut denganmu. Justru aku penasaran dengan sosok pria yang sudah tiga kali menolong nyawaku," terang Agni sambil terus meraba merasakan dan menghapal kan lekuk-lekuk wajah Yosua. Kulit wajah yang halus dari pria yang tengah mendekapnya, "Tuan, anda punya hidung yang sangat mancung, mata yang indah, kulit yang halus, dagu yang indah serta bibir yang-----" Agni mengurungkan niatnya untuk menyentuh bibir Yosua dan dia pun menarik tangannya. "Kenapa? Kenapa dengan bibirku? Kenapa kau tidak jadi meyentuhnya?" senyuman smirk menghias bibir Yosua sambil menatap wajah cantik Agni yang polos. "Maaf, tuan. Aku sudah tidak sopan," cicit Agni dengan nada gugup. Dia merasakan degup jantungnya sangat cepat, Agni tidak bisa menyembunyikan rasa malunya karena grogi. Hal itu terlihat dari pipinya yang memerah seperti tomat. Berbeda dengan Yosua yang semakin menarik pinggang Agni dan membuat tubuh mereka berdua bertabrakan. Agni semakin tidak bisa mengatur rasa gugupnya, dia mengalihkan wajahnya dan tiba-tiba dia merasakan haus yang cukup luar biasa. "Siapa namamu?" tanya Yosua sambil berbisik pada telinga Agni. "Na-namaku Ang-gara." "Anggara? Bukankah itu nama cowok?" "Ang-Anggara Agni," terangnya dengan nada gugup. Entah kenapa saat mendengar nama panjang Agni, Yosua tercengang dan langsung melepaskan pelukannya. Hal itu membuat Agni menggerakkan kepalanya serta memasang telinganya lebih tajam, "Lalu siapa nama anda, tuan?" tanyanya membuat Yosua menarik napas panjang dan kembali mendekati wanita buta itu. "Aksa. Namaku Aksa," bisiknya di telinga Agni. Deru napas Yosua yang hangat membuat Agni merinding. "Aksa? Sungguh nama yang terdengar sangat imut, tapi sepertinya tidak sesuai dengan karakter anda yang sangat maskulin." Mendengar kalimat yang baru dilontarkan oleh Agni membuat Yosua mengerutkan kedua alisnya, "Kalau begitu ajari aku menjadi sosok pria yang imut, seperti yang kau bilang tadi." Agni tersenyum sumringat saat mendengarkan penuturan dari pria yang baru beberapa hari dia kenal. Dia seperti baru saja menemukan teman baru. Menurutnya, Yosua adalah teman yang akan selalu menemaninya dan dia juga berharap jika Aksa tidak akan meninggalkan seperti teman-temannya yang sebelumnya. Namun, pada kenyataannya Agni belum tahu siapa Aksa yang sebenarnya. Aksa adalah Yosua Aksara, pria yang sama yang tengah menjadi buronan polisi. Seusai perkenalan manis itu, Yosua mengantarkan Agni pulang ke rumahnya. Mereka berdua berjalan di bawah pengawasan pengawal yang ketat, yang mengawasi keduanya dari kejauhan agar orang-orang tidak mencurigainya. Agni begitu bahagia saat tangannya dipegangi oleh Yosua yang menuntunnya untuk berjalan. Dalam perjalanan mereka terlibat percakapan yang asik, "Bagaimana bisa kau bertahan hidup sendirian selama ini tanpa penuntun jalan? Kau hanya mengandalkan tongkat kecil itu," tanya Yosua sambil melirik Agni yang berada lebih rendah darinya. "Sungguh ajaib, bukan? Aku pun tidak menyangka akan bertahan hidup hingga sekarang tanpa di dampingi oleh siapapun." "Memangnya di mana keluargamu?" Saat mendengar pertanyaan dari Yosua, Agni menundukkan kepalanya, "Mereka----aku sungguh tidak ingin mengingat kejadian pahit itu. Yang jelas mereka semua telah berkumpul di surga dan sedang menungguku, karena aku masih diberi kesempatan hidup di dunia ini sampai sekarang." Agni kembali mengangkat kepalanya dan terenyum. Hal itu sungguh membuat Yosua semakin bingung. Yosua merasa tidak asing dengan nama Anggara Agni dan itu tidak ingin membuat Yosua mengalihkan pandangannya pada Agni. Angin meniup anak rambut Agni dan itu membuatnya semakin terlihat cantik. Paduan senyuman yang manis dan sorot mata yang teduh membuat damai siapapun yang melihatnya. Pesona Agni seakan menyihir siapa saja yang melihatnya. Hal itu juga tidak bisa dipungkiri lagi oleh Yosua jika pria tampan itu telah jatuh cinta pada gadis tuna netra tersebut."Kau yakin jika ini tempatnya?" tanya Reynar. Cakra tidak menjawab, dia hanya menganggukkan kepalanya.Cakra mematikan mesin mobilnya, lalu turun dari mobil diikuti Reynar. Kedua pria itu berdiri di depan sebuah rumah yang tidak begitu bagus dan tidak begitu jelek.Reynar melangkah mendekati Cakra dan menyikut lengannya. "Rumah siapa?" tanyanya."Anya!""Hah? Rumah Anya?" Reynar menoleh menatap Cakra serasa tidak percaya dengan tindakan yang telah dilakukan oleh pria itu. "Kau benar-benar menggali semua infonya?" lanjutnya.Cakra melirik Reynar. "Lalu apa aku harus terus berdiam diri? Sedangkan semua kasus yang terjadi sekarang ini menjadi kacau. Jika aku tidak bertindak, tentu saja semua kasus tidak akan terpecahkan." Cakra meninggalkan Reynar melangkah serta memperhatikan rumah tersebut.Reynar menepuk jidatnya. "Selalu dan selalu bertindak sendirian," keluhnya. Reynar menyusul Cakra.Rumah kelihatan sangat sepi seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kedua menoleh ke sana dan kema
Perdebatan sedikit terjadi hanya karena masalah hewan peliharaan. Mereka berdua terlihat seperti anak kecil yang sedang memperebutkan seekor anjing. Sedangkan Leo hanya duduk sambil sesekali menggonggong. Namun, tiba-tiba Leo berlari menaiki sofa, lalu naik ke meja kayu yang ada di samping sofa.KLONTANG!Sebuah baskom alumunium jatuh. Reynar dan Cakra diam menoleh pada Leo.Cakra berkacak pinggang. "Leo, kenapa kau jatuhkan baskom itu?""Kau ini kenapa? Sangat terlihat aneh. Jangan asal memarahinya," sungut Reynar."Sudahlah. Kau bawa saja dia dan ingat jangan sampai dia sakit. Jangan telat memberinya makan juga. Jangan dia baik-baik," rutuk Cakra.Reynar melirik. "Cocok! Persis seperti emaknya."Cakra memutarkan bola matanya. Bahkan dia tidak marah saat Reynar mengatainya itu. Jujur Cakra memang kewalahan dengan hewan peliharaan sang adik. Ya, Chitra mempunyai banyak kucing dan sekarang semua hewan itu ada di rumah Cakra. Pria itu berniat untuk menjual sebagian kucing milik sang ad
Razka menghentikan langkahnya tepat di samping jendela yang agak terbuka sedikit. Telinganya menangkap sebuah obrolan. Setelah itu dia mengetuk pintu beberapa kali hingga sang pemilik kamar tersebut membukakan pintu. Razka tidak ingin banyak omong, pria itu langsung ke pokok pembicaraan. Bukan mengusir, tapi hal itu sudah masuk dalam peraturan jika bekerja di mansion milik Razka. Jika pekerja melakukan kesalahan fatal, maka dia harus keluar dari mansion itu. Dan itulah yang sekarang sedang dialami oleh Irene. Mau tidak mau, Irene harus angkat kaki dari mansion Razka. Hal itu Razka lakukan daripada pria itu harus melihat Yosua menjadi Psikopat. Akan sangat sulit jika jiwa psycho Yosua kumat. Dia akan berubah mengerikan dan tidak ada yang bisa menghentikannya kecuali orang-orang yang mempunyai pengaruh besar padanya. "Aku tahu dan aku akan meninggalkan tempat ini," ujar Irene. Angel menghela napas dan menggelengkan kepalanya. "Tuan Razka, apakah ini tidak terlalu jahat?
Tatapan yang penuh dengan arti, tapi tidak bisa diartikan oleh Razka. Tentunya Razka hanya bertanya-tanya pada dirinya sendiri dan hanya bisa menebaknya. "Yos, aku justru takut jika melihat reaksimu yang seperti itu," "Tenanglah, Raz. Aku tidak akan melakukan hal yang membahayakan keselamatanmu," balas Yosua sambil menepuk bahu Razka. Di waktu yang bersamaan sang dokter keluar dari ruang VIP. Dokter itu berjalan mendekati Yosua dan Razka yang berdiri berhadapan. Yosua dan Razka menghadapkan tubuh mereka secara bersamaan saat sang dokter menghentikan langkahnya. "Pasien sudah bisa dijenguk, tapi bantu dia agar tidak terlalu stres atau depresi saat mengetahui janin yang dikandungnya telah tiada," pesan sang dokter. Yosua dan Razka menganggukkan kepalanya. Kedua pria itu masuk ke dalam ruang VIP dan melihat Agni yang tengah diam dengan tatapan kosongnya. Perlahan kepala Agni bergerak saat kedua pria itu masuk. Wanita tunanetra itu seperti menangkap sesuatu. Kedua lubang hidu
Yosua memang tidak bisa memaafkan Irene, tapi hari itu adalah hari keberuntungan bagi Irene, karena dia tidak harus menerima lagi penyiksaan dari Yosua. Yosua dan Razka pada saat itu langsung bergegas ke rumah sakit saat anak buah Razka memberitahu jika Agni sudah sadar. Setelah kepergian semuanya, Irene masih duduk di lantai dan dari kejauhan Angel masih memperhatikan Irene. Keadaan Irene sungguh memprihatinkan. Ada banyak luka memar di area wajahnya, akan tetapi Angel tidak bisa banyak membantunya. Terlebih lagi hal itu bukan termasuk urusan dia, karena jika Angel terlihat membantunya otomatis wanita itu juga akan terlibat di dalamnya. Namun, posisi sudah berbeda. Razka dan Yosua sudah pergi dari sana. Mungkin ada sedikit waktu untuk Angel membantu Irene mengobati luka-lukanya. Angel memberanikan diri melangkah masuk ke dalam kamar Irene. Wanita itu terhenyak saat memasuki kamar Irene yang bisa dikatakan layaknya seperti kapal pecah. Semuanya berantakan dan hancur. 'Yos
Kedua mata indah itu membulat sempurna saat mengetahui siapa orang yang berada di depan pintu. Sorot tajam tanpa berkedip menusuk nyeri sampai ke ulu hati. "Tu-tuan ...." Tak bergeming ataupun merespons. Laki-laki itu terus menatapnya, tentunya membuat wanita itu tidak nyaman dan pastinya rasa takut mulai menyerangnya. Hampir salah tingkah dan ingin kabur dari sana, tapi hal itu tidaklah mungkin. Bisa jadi nyawa akan menjadi taruhannya. "Tu-tuan, a-ada pe-perlu apa?" tanyanya dengan nada gemetaran. "Siapa yang melakukannya?" tanyanya dengan nada pelan dan lembut. "A-apa mak-sud, tuan? Aku tidak mengerti?" "Sekali lagi aku tanya padamu. Siapa yang melakukan hal itu!" Suaranya mulai meninggi. "Me-lakukan hal apa?" Wanita itu memberanikan diri untuk bertanya. Tatapan kedua mata itu kian menakutkan. Tidak ada yang bisa dia lakukan, tak berkutik dan mati di tempat. Ruangan sudah dijaga oleh anak buahnya. Lari pun pasti akan langsung tertangkap atau bisa jadi timah panas yang akan