LOGINAku sampai terperanjat kaget, mendengar suara keras mertuaku dari luar. Buru-buru aku berdiri dan menghampirinya, perempuan itu kini berdiri di depan pintu dengan kantong plastik di tangannya.
“Ada apa, Bu?” tanyaku bingung, dan mertuaku mengangkat kantong yang dia bawa.
“Beras. Kamu cuma ngasih sekilo padahal Ibu minta satu kilo setengah. Pelit naudzubillah kamu itu! Makan nih beras! Sampai mati Ibu enggak akan ridho sama kamu, biar aja kamu mati perutnya kembung gara-gara pelit sama mertua sendiri!” teriaknya kencang.
Belum juga aku bisa menjawab, mertuaku melemparkan kantong plastik berisi beras ke lantai.
PYAR!
Kantongnya pecah, dan isinya berantakan.
Aku seketika gemetar, dengan tangan yang terasa dingin. Bahkan keringat mulai menetes di pelipis, meluncur ke dagu.
Kerongkonganku kering, bagaimana ini? Mertuaku tahu bahwa berasnya telah aku kurangi.
Kekhawatiranku terjadi, dia mengamuk dan pasti tak akan peduli dengan alasan apapun yang akan kuberikan.
Di depanku, beras yang tadi aku berikan pada ibu mertua kini berserakan di teras, seperti butiran salju yang jatuh satu-satu lalu hancur di bawah kaki.
“Ibu…” suaraku bergetar.
“Kenapa dilempar berasnya, Bu?”
Ibu mertuaku berdiri di depan teras rumah, wajahnya merah padam, urat-urat di pelipisnya sampai terlihat menonjol.
“Kamu tuh menantu macam apa, hah? Ibu minta sekilo setengah aja nggak bisa ngasih! Cuma sekilo?! Pelit banget! Perhitungan sama mertua sendiri!”
Aku terpaku. Jantungku berdentum keras.
Dari rumah seberang, kulihat Bu Tini menoleh sambil pura-pura menyapu halaman. Di rumah sebelah, Pak Darto berhenti menggulung selang air. Semua mata mengarah pada kami.
Aku melangkah mendekat, mencoba menenangkan nada suaraku.
“Bu, ayo kita masuk dulu, ya. Malu dilihat tetangga—”
“Biarin!” potongnya keras.
“Biar semua tahu kamu menantu pelit! Cuma minta beras sekilo setengah aja pelit naudzubillah!”
“Bukan begitu Bu, tapi beneran beras di rumah kami cuma tinggal sedikit jadi—“
“Ibu ini yang ngelahirin Helmi, yang bikin dia bisa jadi suami kamu! Tapi ibunya sendiri minta beras masih bisa alasan ini itu dan ngasih cuma seuprit?!”
Aku menahan napas, kedua kakiku sudah lemas rasanya.
“Bukan begitu, Bu. Aku cuma—”
“Kamu bilang berasmu habis? Ke manakan uang suamimu itu, hah?”
“Itu, aku pakai buat sehari-hari Bu. Buat—“
“Halah! Memang boros kamu itu!” bentaknya lagi.
“Duit suamimu belum akhir bulan udah habis! Anak kamu, si Hafsah itu, jajan mulu! Mainan, susu, permen, apa aja dibeliin! Dasar istri nggak bisa ngatur uang!”
Aku menunduk, Hafsah baru tiga tahun. Aku hanya ingin dia tidak kekurangan. Tapi di mata ibu, semua yang kulakukan salah.
Apakah aku harus katakan jika mayoritas uang kang Helmi selalu berakhir di kantong mertuaku sendiri, dan anak perempuannya itu? Apa reaksinya?
“Bu, tolong dengar dulu ya,” ujarku pelan.
“Bukan aku mau ngurangin, tapi memang beras di rumah tinggal dua kilo. Kami nggak punya uang lagi. Uang terakhir di bulan ini sudah dikasih Kang Helmi ke Yuli tadi. Jadi saya cuma bisa kasih satu koma tiga kilo, bukan satu kilo. Saya ukur tadi.”
Hening sesaat.
Lalu ibu mendengus keras.
“Satu koma tiga kilo?! Kamu ukur-ukur beras buat Ibu?! Astaghfirullah! Helmi dikasih istri kayak gini, pantes rezekinya seret!”
Tangannya gemetar, lalu plastik yang sudah pecah di lantai, diambil dan dilempar lagi ke tanah. Beras sisa berhamburan, menempel di kakinya.
“Ibu, tolong ya Bu, jangan begini di luar,” pintaku lagi, hampir berbisik.
“Malu, Bu, dilihat orang…”
“Kalau kamu nggak mau ngasih, bilang aja! Jangan pura-pura begitu, pake bilang duit suamimu dikasih ke si Yuli! Kamu tuh licik cuma mau nguasai uang anakku!”
Duh Gusti, uang yang mana? Uang yang hanya 2.5 juta itu paling hanya 1 juta yang selalu kupegang di rumah. Itu pun bukan untukku, itu untuk bensin kang Helmi dan kebutuhan rumah lainnya!
“Nggak terima Ibu. Kamu malah mau ngadu domba Ibu sama anak-anak Ibu, keterlaluan!”
Aku menunduk, sekujur tubuhku terasa gemetar. Air mata mulai turun tanpa bisa kutahan.
Dan saat itu juga pintu kamar mandi terbuka keras.
“Bu! Ada apa ini?” suara Kang Helmi terdengar dari dalam.
Rambutnya masih basah, air menetes ke kaos lusuh yang dipakainya. Ia menatap kami bergantian, bingung.
Ibu langsung menatapnya dengan mata berkaca-kaca sambil menunjuk ke beras yang berceceran di tanah dan teras rumah.
“Helmi… kamu tau kan Ibu ini cuma minta beras sekilo setengah, tapi istrimu kasih cuma sekilo! Katanya nggak punya uang lagi untuk beli beras, padahal beras yang Ibu minta buat sedekah ke mesjid! Ibu malu, Mi… Ibu dianggap ngemis sama istrimu!”
Aku terbelalak, tak percaya.
“Bu, jangan begitu! Ibu tau kalau aku cuma—”
Tapi belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Helmi mengangkat tangannya. Tatapannya dingin, dan aku tahu, ini akan menyakitkan.
“Kalau buat Ibu, jangan pernah kamu ragu, Eva,” katanya datar tapi tajam.
“Itu Ibu, orang tua. Sama seperti ibumu juga. Kalau kita udah perhitungan sama orang tua, jangan harap rezeki lancar.”
Aku terpaku.
“Kang, tapi kita beneran nggak punya uang lagi besok. Aku cuma—”
“Udah! Aku nggak mau dengar alasanmu!” suaranya meninggi.
“Ibu cuma minta sedikit. Kamu tuh selalu aja punya alasan kalau urusannya sama Ibu. Bakti, ngerti nggak?! Sudah tau kalau mau rumah tangga berkah itu harus selalu nurut sama suami dan bantu suami berbakti.”
“Ini salah satu cara untuk berbakti ke orangtua, harusnya kamu tau itu, Eva!”
Aku tak sanggup menatap matanya. Kata-katanya seperti duri yang masuk satu-satu ke dada.
Ibu mertuaku menatapku dengan tatapan puas, menyeringai kecil di balik ekspresi pura-pura tersinggungnya.
“Tuh, denger sendiri kan? Helmi juga ngerti. Ibu nggak salah. Menantu kayak kamu tuh nggak tahu diri, nggak tahu berterima kasih. Udah dikasih tempat tinggal, dikasih anak Ibu, eh malah ngelawan!”
Tangisku pecah. Suara bisik-bisik tetangga mulai terdengar di luaran sana.
“Kasihan banget… dimarahin mertua…”
“Suaminya kok malah nyalahin istrinya sih…”
Aku memeluk tubuhku sendiri, berusaha menahan guncangan di dada. Tapi suaraku akhirnya pecah juga.
“Kang… aku ngerti kalau baktimu kepada orangtua itu nggak terbatas. Tapi aku cuma mau bilang, kita harus realistis. Uang udah nggak ada. Kita masih harus masak besok. Aku bukan nggak mau bantu Ibu, tapi—”
“Prioritasku itu IBU!” teriak Helmi. “Sekali lagi, IBU! Kamu paham nggak?! Jangan pernah bandingin Ibu sama hal lain!”
Kalimat itu menggema keras di kepalaku.
Ibu mertuaku tersenyum lebar, menepuk dadanya pelan seolah baru memenangkan pertempuran.
Aku tak kuasa menatap mereka. Aku hanya menunduk, menatap butiran beras yang berserakan di lantai teras.
Putih. Bersih.
Tapi kini ternoda oleh air mataku sendiri.
Suasana menjadi sunyi. Hanya suara jangkrik dari semak-semak yang terdengar samar. Lalu ibu mertuaku berkata lirih, penuh sindiran, “Udah Mi, biarin aja. Ibu juga malas dikasih kasihanan kayak gini. Simpen aja berasmu buat kamu dan anakmu itu.”
Lalu ia berbalik, berjalan pergi dengan langkah cepat dan wajah puas.
Kang Helmi menatapku sekilas, dia tak mengatakan apapun, hanya sorot mata kecewa yang membuatku merasa sangat sendirian dan bersalah.
Dia lantas masuk ke dalam rumah, menutup pintu dengan suara yang cukup keras.
Aku terdiam di depan teras, sendirian, dikelilingi tatapan tetangga dan sisa beras yang bertebaran di lantai.
Perlahan aku membungkuk, mengumpulkan lagi beras-beras yang tercecer itu dengan hati yang sakit luar biasa. Sore itu, aku tahu satu hal, terkadang, musuh dalam pernikahan bukanlah orang ketiga.
Melainkan keluarga yang tak tahu batas dan suami yang terlalu takut berkata “tidak.”
Tak sampai lima menit, pintu rumah terbuka lagi dan Kang Helmi muncul menggendong Hafsah.
“Hafsah muntah berdarah!”
Hari-hariku berjalan seperti biasa, begitu datar, tanpa banyak perubahan.Satu-satunya perubahan yang terjadi adalah jumlah penghuni rumah, hanya ada aku dan Hafsah. Kang Helmi, hampir tak pernah pulang.“Mi, kok abi nggak pulang-pulang?” tanya gadis kecilku itu, sedih.Aku hanya bisa mengusap puncak kepalanya dengan penuh kasih, mencoba menenangkan dia.“Abi lagi sibuk kerja, apalagi nenek juga butuh dibantu di rumahnya jadi ya abi nggak bisa sering pulang ke mari..”“Tapi kenapa nenek minta tolong abi terus? Kan ada ayahnya de shakira..”Dia memanggil anaknya Yuli dengan panggilan de, karena memang posisinya di dalam keluarga dia adalah adik sepupu Hafsah, walau usianya lebih tua.“Mungkin cuma abi yang bisa, ayahnya de shakira nggak bisa.. yang penting abi tetap sayang sama Hafsah dan sekarang Hafsah selalu sama umi, ya?”Bocah berusia tiga tahun lebih itu mengangguk, tak menanyakan ayahnya lagi walaupun dia terlihat kecewa dan bertanya-tanya.Setiap hari aku mencari banyak aktivit
Sudah tiga malam berturut-turut Kang Helmi tak pulang.Awalnya aku gelisah, setiap kali terdengar suara motor di depan rumah, aku menengok cepat, berharap itu dia. Tapi lama-lama aku berhenti berharap.Bahkan Hafsah juga tak menanyakan abinya, seolah dia sudah paham apa yang terjadi. Mungkin memang sudah waktunya aku belajar untuk tidak peduli walau nafkah kami pun tak terpenuhi. Syukurlah aku bukan perempuan yang menggantungkan kebutuhan hanya pada suami, tetapi Allah memberkahi aku dengan kemampuan usaha sendiri.Jadi untuk kebutuhan harianku dengan Hafsah, aku terpaksa membongkar tabungan. Tak masalah, lagipula itu hasil kerjaku sendiri. Semoga kelak bisa menabung lagi untuk masa depan Hafsah, walau harus terseok-seok.Pagi ini, setelah menyiapkan sarapan Hafsah dan membereskan rumah seadanya, aku menyibukkan diri.Ada tetangga depan rumah, Bu Rani, yang mampir sambil membawa katalog panci dan alat dapur.“Eva, tolong cariin presto ya di online shop. Yang bagus, tapi murah. Aku p
“Kenapa kamu chattingan sama lelaki lain, Eva?!”Suara Kang Helmi bergema keras di ruang tamu. Tangannya masih menggenggam ponselku erat, wajahnya merah padam, napasnya tersengal karena marah.Aku terpaku beberapa detik, mencoba mengatur napas, tapi sebelum sempat bicara, kata-katanya menghantamku lagi seperti cambuk.“Kamu ini gatal, ya?! Ditinggal semalam aja, bukannya introspeksi diri, malah asik chattingan sama lelaki! Kamu tuh harusnya malu!”Aku menatapnya tak percaya. Ada sesuatu di dalam diriku yang tiba-tiba pecah.Semua kesabaran yang selama ini kutahan meledak seperti balon yang akhirnya tak kuat menampung udara.“Yang harusnya malu itu kamu, Kang!” suaraku meninggi tanpa sadar.Dia menatapku tajam, tapi aku tak berhenti.“Semalam kamu ke mana waktu aku panik di rumah sakit?! Waktu Hafsah muntah darah lagi, waktu aku nggak tahu harus ngapain, waktu aku nggak punya uang sepeser pun?!”“Kamu di mana, Kang?! Di mana kepala keluarga yang katanya mau jadi pelindung itu?!”Helmi
“Huekk!”Spontan kututup hidungku, perut yang kosong dan kelelahan, ditambah aroma busuk yang menguar membuatku nyaris tak mampu menahan muntah.“Bau Mi..” Hafsah pun mengeluh.Kuminta dia berdiri di teras, sementara aku masuk ke dalam rumah sambil menutupi hidung dengan ujung kerudung.“Astagfirullahaladzim.. kang Helmi, kamu pulang tapi kamu nggak ngepel bekas muntahan Hafsah semalam. Keterlaluan banget..” bisikku geram.Bekas muntahan Hafsah berceceran di depan tv, karena bercampur darah yang sudah lebih dari 24 jam, aromanya sangat memualkan.Sambil menahan kecewa dan tanda tanya, kubersihkan bekas muntahan itu dan mengepel lantainya sampai bersih.Hafsah duduk di luar sambil menonton Youtube, syukurlah dia anteng dan tidak mengeluh sakit. Sehingga aku tenang beres-beres.Rumah sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam di dinding yang pelan, berpadu dengan napas kecil Hafsah yang akhirnya terlelap setelah semalaman menahan sakit.Rumah sudah selesai kuberesk
Malam itu terasa panjang sekali. Walau jarum jam di dinding IGD terus bergerak, tapi suaranya seperti ejekan. Setiap detik berlalu tanpa kabar dari Kang Helmi, itu membuatku sangat stres.Sudah bosan aku, berkali-kali menatap layar ponsel dan memencet ikon panggilan, menunggu, mendengar nada sambung yang berakhir dengan suara operator saja. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”Kalimat itu terus berulang, seperti mantra yang membuatku jadi patung batu.Aku mencoba mengirim pesan, [Kang, Hafsah sudah ditangani dokter. Tolong ke rumah sakit, aku takut sendirian.]Tapi centangnya hanya satu.Lalu aku kirim lagi, masih berusaha.[Kang, tolong angkat teleponnya. Aku di ruang rawat melati 2. Hafsah butuh abinya.]Masih tak dibaca. Jangankan dibaca, chatnya sampai pun tidak.Sampai akhirnya aku menyerah.Aku duduk di kursi plastik di sudut ruangan, menatap Hafsah yang tertidur di ranjang kecil. Napasnya mulai teratur, pipinya masih pucat, tapi setidaknya tak lagi muntah.Syukurlah… ya
“Eva?”Aku menoleh, dan dadaku langsung serasa berhenti berdetak.Sosok itu berdiri tak jauh dari tempatku berdiri, wajar sekali suaranya begitu familiar karena aku pun masih sangat ingat setiap guratan di wajahnya itu.Sosok tinggi dengan wajah yang tak berubah sedikit pun dari ingatanku bertahun-tahun lalu, wajah yang dulu sering terlihat lelah, dengan kantong mata hitam karena kebanyakan begadang, tetapi bibirnya selalu mengulas senyum yang menyenangkan.Hamzah.“Kang… Hamzah?” panggilku, dan dia tertawa lebar.Dia berjalan mendekat, terlihat kikuk karena kedua tangannya terlihat canggung di sisi tubuhnya.“Eva, apa kabar?”“Kabar baik, kang. Akang sendiri? Udah lama banget enggak ketemu..” sapaku berbasa basi.Hamzah tersenyum, dan jujur aku kagum melihat penampilannya sekarang. Kini, dia bukan lagi mahasiswa yang datang ke kantin dengan kemeja kusut dan tas penuh buku.Penampilannya rapi, dengan kemeja biru muda yang digulung sampai siku, jam tangan yang terlihat mahal di pergela







