Share

Permen Merah

Author: Mami Lova
last update Last Updated: 2025-11-11 20:49:26

Motor butut kami meraung di jalan sepi malam ini. Suaranya memekakkan telinga, bercampur dengan isakku yang tak sempat kuredakan.

“Sayang, Hafsah… jangan tidur, sebentar yaa? Kita sampai di rumah sakit.” Kataku pada Hafsah.

Hujan rintik baru saja tiba, aspal masih basah, dan lampu jalan berpendar samar. Aku memeluk tubuh Hafsah yang terkulai lemah di pelukanku.

Nafasnya tersengal, bibirnya pucat, dan di bajunya masih ada bercak merah samar. Itu darah yang tadi keluar bersama muntahannya.

“Kang, tolong cepat sedikit… tolong…” suaraku pecah di antara hembusan angin.

Kang Helmi tak menjawab, dia hanya menoleh sekilas lalu kembali fokus ke jalanan.

Dia kaku seperti patung, pikirannya pasti panik. Dia hanya menambah gas sesekali, motor tua itu meraung keras sampai membuat beberapa orang di pinggir jalan menoleh.

Aku tak peduli, yang kupikirkan hanya Hafsah. Tubuh mungilnya hangat di pelukanku, tapi bukan hangat yang menenangkan, lebih seperti panas demam yang membuatku ingin menjerit ketakutan.

“Ya Allah, aku mohon pertolonganmu…” bisikku penuh kepasrahan.

Begitu tiba di IGD, aku berlari masuk sambil memanggil perawat.

“Tolong! Anak saya muntah darah!”

Beberapa perawat langsung menjemput dengan brankar kecil. Hafsah dibawa ke dalam ruang tindakan, dan aku nyaris tak bisa berdiri.

Kakiku gemetar, keringat dingin membasahi punggungku. Helmi berdiri di sudut ruangan dengan napas berat dan pandangan yang mulai menggelap.

Kepalaku terasa berputar, aku bertanya-tanya kenapa bisa begini?

“Ah aku baru ingat, aku bahkan belum makan apapun dari siang.. karena aku nggak mau suamiku kehabisan nasi. Tapi.. aduh, ah sudahlah..”

Tiba-tiba terbayang butiran beras yang masih berceceran di tanah, belum sempat kubereskan karena langsung membawa Hafsah ke IGD.

Sekarang berasnya pasti mubazir, karena tadi hujan turun.

Sekitar lima belas menit berlalu, dokter yang menangani Hafsah memanggil kami.

“Ibu Eva? Anak Ibu muntah darah akibat iritasi lambung parah, sepertinya dari makanan yang terkontaminasi. Mungkin jajanan, atau permen yang mengandung bahan berbahaya.”

Seketika tubuhku lunglai dan nyaris tak bisa berdiri, aku sampai harus berpegangan pada kang Helmi. Dia juga sama kagetnya, hanya saja dia masih bisa berdiri tegak, menyembunyikan kekhawatirannya.

Aku benar-benar bingung, “Jajanan? Tapi… saya nggak pernah kasih dia jajanan hari ini, Dok.”

Helmi melirikku tajam.

“Masa sih? Kamu kan tiap sore suka beliin dia jajanan di warung depan.”

Aku menggeleng cepat, “enggak Kang. Hari ini aku nggak beli apa-apa buat dia. Aku sibuk nyuci seharian. Hafsah cuma makan nasi dan sop aja dari tadi.”

“Lagian kalau aku belikan jajanan, aku nggak belikan permen atau minuman aneh-aneh.. aku cari yang nggak bahaya Kang.”

Helmi mendengus pelan, tapi jelas sinis. “Jangan cari alasan, Va. Dokter bilang gara-gara jajanan. Kamu kan yang tiap hari sama dia, jadi kalau terjadi apa-apa sama Hafsah ya itu tanggung jawabmu.”

Aku menatapnya tidak percaya.

“Kang, aku nggak—”

“Udah!” bentaknya lirih tapi tegas.

“Aku capek denger kamu nyalahin keadaan terus. Kalau kamu bisa jaga anak dengan bener, nggak bakal begini!”

Kata-kata itu menghantamku seperti palu. Aku menunduk, menahan air mata.

Dokter menatap kami canggung sebelum pamit meninggalkan ruangan, tak lupa dia mengingatkan kami untuk mengurus administrasi. Apalagi ternyata Hafsah harus dirawat dulu dua atau tiga hari, mengingat dia juga baru sembuh.

Setelah Hafsah dipindahkan ke ranjang, aku duduk di sisi tempat tidurnya.

Tangannya kecil, lemah, dan dingin. Aku belai pelan rambutnya yang basah keringat.

“Hafsah, sayang… tadi makan apa, Nak?” tanyaku perlahan.

Anak itu membuka mata pelan, suaranya lirih, nyaris tak terdengar.

“Hafsah… dikasih permen… sama de Shakira…”

Aku terdiam.

De Shakira.

Anaknya Yuli. Keponakanku sendiri, dia anak perempuan Yuli yang usianya tujuh tahun.

“Hafsah dikasih permen?”

“Iya Mi. Permennya merah… enak…” bisik Hafsah sebelum kembali menutup mata.

Jantungku berdebar tak karuan, sekarang aku tahu penyebabnya.

Aku menatap Helmi.

“Kang… Hafsah bilang dikasih permen sama Shakira. Anaknya Yuli. Mungkin, mungkin itu yang bikin dia keracunan. Mungkin permennya—”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, kang Helmi langsung membentakku.

“Cukup, Eva!” suaranya menggema di ruang IGD yang sepi.

“Kamu jangan mulai lagi bikin suasana runyam! Baru aja masalah sama Ibu belum selesai, sekarang kamu mau bawa-bawa adikku juga?!”

Aku tercenung, sepertinya aku sudah salah bicara. Tapi kenapa aku salah? Aku hanya mengatakan kebenarannya.

“Aku nggak maksud gitu, Kang. Aku cuma—”

“Udah, stop! Aku nggak mau dengar lagi. Kamu tuh selalu aja cari kambing hitam! Ibu, adikku, sekarang anaknya! Kamu pikir aku nggak tahu maksudmu? Kamu mau bikin aku jauh dari keluarga, kan?!”

“Kang, dengar aku dulu, aku nggak—”

“Kalaupun memang Hafsah keracunan karena permen yang dikasih si Shakira, harusnya kamu antisipasi dari awal dong! Kamu katanya tau jajanan yang aman buat anak, tapi masih kecolongan juga!” sindirnya.

Mendengar itu semua membuatku begitu terluka, hatiku rasanya tidak karuan.

Suasana sedang tegang, genting, diliputi keputus asaan, ditambah suamiku yang sama sekali tak ada di pihakku.

“Kang, kenapa kamu ngomongnya begitu sama aku? Salahku apa, Kang?”

“Salahmu? Masih tanya salahmu apa? Kamu itu selalu cari perkara sama keluargaku. Selalu ngoceh dan ngomel kalau aku membantu keluargaku. Kamu juga selalu berusaha menghancurkan hubunganku dengan keluarga!”

“Kang Helmi…” aku sampai tak sanggup berkata-kata.

“Kamu tau, Eva? Hubunganku dengan kamu cuma beberapa tahun ini.. sementara aku, ibu dan Yuli, hubungan kami sudah puluhan tahun. Kamu nggak bisa hancurkan itu!” tegasnya.

“Kang–“

Lelaki itu mengabaikan aku, dia sudah berbalik menjauh. Langkahnya cepat, tanpa menoleh.

“Kang Helmi! Kang! Administrasinya gimana?” panggilku panik.

Tapi ia tak menengok. Suara pintu IGD menutup di belakangnya dengan dentuman pelan yang terasa lebih menyakitkan daripada bentakannya tadi.

Aku mematung, dan tanganku gemetar hebat.

Hafsah terbaring lemah di ranjang kecil itu, jarum infus menancap di lengannya yang mungil. Air mata menetes di pipiku.

Bagaimana aku akan membayar semua ini? Aku bahkan tak tahu berapa biaya IGD malam ini.

Dompetku kosong. Uang 20 ribu sama saja tak ada nilainya di sini.

Aku memandangi langit-langit putih ruangan, merasa seluruh dunia mengecil, menekanku hingga hampir tak bisa bernapas.

“Bu, tolong isi dulu datanya di pendaftaran, ya,” kata suster pelan.

Suaranya lembut tapi membuatku semakin cemas, kutelan ludah yang rasanya bagai menelan sekam panas.

Aku bangkit dengan lutut lemas, berjalan pelan ke arah meja administrasi.

Dalam benakku hanya ada satu pikiran, aku tak punya uang. Aku benar-benar tak tahu harus bagaimana.

Dan di tengah kekacauan pikiranku itu ada suara yang memanggilku pelan dari arah pintu.

“Eva…?”

Suara itu lembut, terasa hangat. Bukan suara kang Helmi, tetapi suara yang sangat familiar, suara yang sering memanggilku dahulu.

Sangat familiar hingga darahku terasa berhenti mengalir.

Aku menoleh perlahan dan di sana, berdiri seseorang yang wajahnya tak mungkin aku lupakan.

Hamzah. Pria yang dulu pernah kucintai sebelum menikah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dimanjakan Duda Saat Suami Terpikat Janda   Perempuan Lain di Boncengannya..

    Hari-hariku berjalan seperti biasa, begitu datar, tanpa banyak perubahan.Satu-satunya perubahan yang terjadi adalah jumlah penghuni rumah, hanya ada aku dan Hafsah. Kang Helmi, hampir tak pernah pulang.“Mi, kok abi nggak pulang-pulang?” tanya gadis kecilku itu, sedih.Aku hanya bisa mengusap puncak kepalanya dengan penuh kasih, mencoba menenangkan dia.“Abi lagi sibuk kerja, apalagi nenek juga butuh dibantu di rumahnya jadi ya abi nggak bisa sering pulang ke mari..”“Tapi kenapa nenek minta tolong abi terus? Kan ada ayahnya de shakira..”Dia memanggil anaknya Yuli dengan panggilan de, karena memang posisinya di dalam keluarga dia adalah adik sepupu Hafsah, walau usianya lebih tua.“Mungkin cuma abi yang bisa, ayahnya de shakira nggak bisa.. yang penting abi tetap sayang sama Hafsah dan sekarang Hafsah selalu sama umi, ya?”Bocah berusia tiga tahun lebih itu mengangguk, tak menanyakan ayahnya lagi walaupun dia terlihat kecewa dan bertanya-tanya.Setiap hari aku mencari banyak aktivit

  • Dimanjakan Duda Saat Suami Terpikat Janda   Duda Baru

    Sudah tiga malam berturut-turut Kang Helmi tak pulang.Awalnya aku gelisah, setiap kali terdengar suara motor di depan rumah, aku menengok cepat, berharap itu dia. Tapi lama-lama aku berhenti berharap.Bahkan Hafsah juga tak menanyakan abinya, seolah dia sudah paham apa yang terjadi. Mungkin memang sudah waktunya aku belajar untuk tidak peduli walau nafkah kami pun tak terpenuhi. Syukurlah aku bukan perempuan yang menggantungkan kebutuhan hanya pada suami, tetapi Allah memberkahi aku dengan kemampuan usaha sendiri.Jadi untuk kebutuhan harianku dengan Hafsah, aku terpaksa membongkar tabungan. Tak masalah, lagipula itu hasil kerjaku sendiri. Semoga kelak bisa menabung lagi untuk masa depan Hafsah, walau harus terseok-seok.Pagi ini, setelah menyiapkan sarapan Hafsah dan membereskan rumah seadanya, aku menyibukkan diri.Ada tetangga depan rumah, Bu Rani, yang mampir sambil membawa katalog panci dan alat dapur.“Eva, tolong cariin presto ya di online shop. Yang bagus, tapi murah. Aku p

  • Dimanjakan Duda Saat Suami Terpikat Janda   Cemburu Buta

    “Kenapa kamu chattingan sama lelaki lain, Eva?!”Suara Kang Helmi bergema keras di ruang tamu. Tangannya masih menggenggam ponselku erat, wajahnya merah padam, napasnya tersengal karena marah.Aku terpaku beberapa detik, mencoba mengatur napas, tapi sebelum sempat bicara, kata-katanya menghantamku lagi seperti cambuk.“Kamu ini gatal, ya?! Ditinggal semalam aja, bukannya introspeksi diri, malah asik chattingan sama lelaki! Kamu tuh harusnya malu!”Aku menatapnya tak percaya. Ada sesuatu di dalam diriku yang tiba-tiba pecah.Semua kesabaran yang selama ini kutahan meledak seperti balon yang akhirnya tak kuat menampung udara.“Yang harusnya malu itu kamu, Kang!” suaraku meninggi tanpa sadar.Dia menatapku tajam, tapi aku tak berhenti.“Semalam kamu ke mana waktu aku panik di rumah sakit?! Waktu Hafsah muntah darah lagi, waktu aku nggak tahu harus ngapain, waktu aku nggak punya uang sepeser pun?!”“Kamu di mana, Kang?! Di mana kepala keluarga yang katanya mau jadi pelindung itu?!”Helmi

  • Dimanjakan Duda Saat Suami Terpikat Janda   Dusta Demi Dusta

    “Huekk!”Spontan kututup hidungku, perut yang kosong dan kelelahan, ditambah aroma busuk yang menguar membuatku nyaris tak mampu menahan muntah.“Bau Mi..” Hafsah pun mengeluh.Kuminta dia berdiri di teras, sementara aku masuk ke dalam rumah sambil menutupi hidung dengan ujung kerudung.“Astagfirullahaladzim.. kang Helmi, kamu pulang tapi kamu nggak ngepel bekas muntahan Hafsah semalam. Keterlaluan banget..” bisikku geram.Bekas muntahan Hafsah berceceran di depan tv, karena bercampur darah yang sudah lebih dari 24 jam, aromanya sangat memualkan.Sambil menahan kecewa dan tanda tanya, kubersihkan bekas muntahan itu dan mengepel lantainya sampai bersih.Hafsah duduk di luar sambil menonton Youtube, syukurlah dia anteng dan tidak mengeluh sakit. Sehingga aku tenang beres-beres.Rumah sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam di dinding yang pelan, berpadu dengan napas kecil Hafsah yang akhirnya terlelap setelah semalaman menahan sakit.Rumah sudah selesai kuberesk

  • Dimanjakan Duda Saat Suami Terpikat Janda   Status WA Ipar

    Malam itu terasa panjang sekali. Walau jarum jam di dinding IGD terus bergerak, tapi suaranya seperti ejekan. Setiap detik berlalu tanpa kabar dari Kang Helmi, itu membuatku sangat stres.Sudah bosan aku, berkali-kali menatap layar ponsel dan memencet ikon panggilan, menunggu, mendengar nada sambung yang berakhir dengan suara operator saja. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”Kalimat itu terus berulang, seperti mantra yang membuatku jadi patung batu.Aku mencoba mengirim pesan, [Kang, Hafsah sudah ditangani dokter. Tolong ke rumah sakit, aku takut sendirian.]Tapi centangnya hanya satu.Lalu aku kirim lagi, masih berusaha.[Kang, tolong angkat teleponnya. Aku di ruang rawat melati 2. Hafsah butuh abinya.]Masih tak dibaca. Jangankan dibaca, chatnya sampai pun tidak.Sampai akhirnya aku menyerah.Aku duduk di kursi plastik di sudut ruangan, menatap Hafsah yang tertidur di ranjang kecil. Napasnya mulai teratur, pipinya masih pucat, tapi setidaknya tak lagi muntah.Syukurlah… ya

  • Dimanjakan Duda Saat Suami Terpikat Janda   Pakai Uangku Dulu

    “Eva?”Aku menoleh, dan dadaku langsung serasa berhenti berdetak.Sosok itu berdiri tak jauh dari tempatku berdiri, wajar sekali suaranya begitu familiar karena aku pun masih sangat ingat setiap guratan di wajahnya itu.Sosok tinggi dengan wajah yang tak berubah sedikit pun dari ingatanku bertahun-tahun lalu, wajah yang dulu sering terlihat lelah, dengan kantong mata hitam karena kebanyakan begadang, tetapi bibirnya selalu mengulas senyum yang menyenangkan.Hamzah.“Kang… Hamzah?” panggilku, dan dia tertawa lebar.Dia berjalan mendekat, terlihat kikuk karena kedua tangannya terlihat canggung di sisi tubuhnya.“Eva, apa kabar?”“Kabar baik, kang. Akang sendiri? Udah lama banget enggak ketemu..” sapaku berbasa basi.Hamzah tersenyum, dan jujur aku kagum melihat penampilannya sekarang. Kini, dia bukan lagi mahasiswa yang datang ke kantin dengan kemeja kusut dan tas penuh buku.Penampilannya rapi, dengan kemeja biru muda yang digulung sampai siku, jam tangan yang terlihat mahal di pergela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status