LOGIN“Mi! Helmi!”
Masih saja mertuaku itu teriak-teriak di luar, bukannya masuk saja. Padahal ini rumah anak dan menantunya, bisa-bisanya dia bersikap seperti penagih hutang. Teriak-teriak di luar.
“Iya Bu, kenapa?” Kang Helmi keluar, mencium tangan ibunya dan aku pun melakukan hal yang sama.
“Kamu masih ada beras, enggak?”
“Beras?” ulang kang Helmi, dan aku cuma bisa mengatupkan kedua bibirku kuat-kuat.
Sudah bisa kutebak apa yang mertuaku mau, selalu saja begini.
“Iya beras. Beras Ibu abis, dibawa sama si Yuli katanya dia keabisan beras.. eh malah diambil semua. Ibu mau masak susah jadinya.” Mertuaku curhat.
“Ohh gitu. Neng, coba liat masih ada beras enggak di dapur?”
Aku cuma mengangguk patuh, lalu pergi ke dalam untuk mengecek beras yang sebenarnya aku sudah tahu berapa sisa yang kami miliki. Mungkin hanya untuk tiga kali masak nasi, kurang lebih dua kilogram beras.
“Sekitar dua kilo, Kang.” Kataku, saat kembali ke depan dengan hati masygul.
“Ya udah, Ibu minta sekilo setengah ya? Soalnya nanti malam itu kan ada pengajian di mushola dan Ibu kebagian bikin suguhan. Mau bikin nasi kuning.”
“Boleh Bu, ambilin Neng.”
Aku tidak menjawab, dan seperti biasa menurut saja apa yang suamiku perintahkan. Tetapi aku melihat beras kami tinggal dua kilo, ditambah lagi kang Helmi juga tak punya pegangan uang lagi.
“Apa kukurangin aja berasnya, ya?”
Hatiku bergejolak, jika kuberikan sebanyak yang mertuaku inginkan maka kami bahkan tak punya cukup beras untuk satu kali memasak nasi.
Tapi jika tidak kuberikan, mertuaku takutnya mengomel dan ujung-ujungnya aku ikut diomeli kang Helmi juga.
“Mmm.. kurangin dikit aja kali ya? Asal cukup buat besok masak nasi aja deh.. enggak nyampe sekilo setengah. Di mana ya timbanganku?”
Kuambil timbangan digital kecil dari dalam lemari, dan menimbang beras sebanyak 1,3 kilo saja.
“Bismillah aja deh, semoga mertua enggak marah dan kang Helmi juga ngerti kenapa berasnya aku kurangin.”
Aku berdoa dalam hati, semoga keputusanku ini tidak membawa masalah. Aku melakukan ini bukan karena pelit, tapi mempertimbangkan kondisi dapurku sendiri.
Sebab bukan satu atau dua kali, saat kami kesulitan, mertuaku hampir tak pernah memberikan beras secara cuma-cuma. Selalu harus kami beli, walau harganya juga setengahnya dari harga pasaran. Tapi tetap saja, masa iya mertua sendiri begitu sama anak cucu?
“Ini Kang, berasnya.” Kataku sambil menyodorkan beras.
Kang Helmi menerimanya, dan menyerahkan kantong plastik hitam itu pada mertuaku.
“Ya udah, Ibu pulang dulu.. soalnya udah mau masak. Eh iya, Mi.. kamu ada lima puluh enggak? Buat nambah-nambah beli lauk nasi kuningnya.”
“Maaf Bu, uangku udah abis. Tadi banget dipinjem sama Yuli.”
“Ckk gimana sih? Ya udah lah enggak apa-apa. Untung masih ada telor sama tempe, kalo enggak bisa malu Ibu sama ibu-ibu pengajian!”
Mertuaku mengomel, mungkin kecewa karena tak bisa menambah lauk nasi kuning untuk suguhan pengajian.
“Eh Bu, makan dulu yuk?” tiba-tiba saja kang Helmi menawari ibunya makan, padahal ibunya sudah mau pergi.
“Emangnya Eva masak apa?”
“Sayur sop Bu.” Sahutku,
“Pake daging?” kugelengkan kepala dan mertuaku mengedikkan bahunya.
“Enggak usah lah, males. Sop sayuran doang mana enak sih? Harusnya bikin sop itu pake yang hanyir-hanyir, daging kek, minimal sayap ayam lah!”
Tuh, betul kan dugaanku? Mertuaku ini memang sangat ajaib. Menolak ya menolak saja, tak usah pakai ceramah ini itu yang menyakitkan hati.
“Makanya, jangan belanja onlen melulu! Jadinya duit buat beli makanan enak buat suami dan anak abis, kan?!”
DEG.
Lagi-lagi soal itu, padahal aku belanja online itu bukan untukku sendiri. Melainkan barang titipan para tetangga, istilahnya jastip barang. Itu penghasilan tambahanku, lumayan sedikit demi sedikit bisa menabung untuk biaya pendidikan Hafsah.
“Enggak kok, Bu. Eva itu kan belanja online bukan punya dia, tapi..”
“Alah kamu itu Helmi, jangan belain terus istrimu kalo memang dia salah!”
“Tapi Bu, Eva memang..”
“Udah! Udah! Ibu ke sini bukan buat diceramahin.”
Mertuaku mengibaskan tangannya di depan muka, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari rumah kecil kami. Kudengar helaan napas berat kang Helmi,
“Maafin ibu, ya Neng?”
“Iya Kang, enggak apa-apa kok.” Sahutku sambil tersenyum, walau hati tak karuan rasanya.
“Ya udah, aku mandi dulu ya?”
“Iya Kang.” Sahutku pendek, sambil melangkah ke tengah rumah untuk membereskan bekas makan suamiku.
Hafsah masih asyik menonton, sementara suamiku pergi ke kamar mandi. Aku masih terbayang uang seratus ribu yang kang Helmi berikan pada Yuli lalu teringat uang dua puluh ribu yang tersisa di dompet.
“Besok masak apa? Belum uang bensin, emangnya cukup?” batinku.
Aku memang memiliki tabungan, yang kusimpan dari hasil jastip barang online. Karena di sini mayoritas ibu-ibu gaptek yang tak tahu belanja online, aku memanfaatkan kesempatan itu.
Jadi mereka memesan lewat aku, dan ada sedikit uang jasa selain ongkir yang aku pasang. Mereka tidak keberatan dengan hal itu, karena memang jika belanja di pasar harganya jauh lebih mahal ketimbang di online.
Dari uang jasa itu, kusimpan ke dalam celengan untuk tabungan pendidikan Hafsah. Aku ingin memasukkan anakku ke sekolah Islam, dan butuh biaya yang lumayan walaupun lokasinya di pinggiran kota seperti ini.
“Hhh, kalo kayak begini.. harus kubuka lagi tabungannya.”
Hatiku merasa berat, karena sudah beberapa kali aku membongkar celengan saat uang belanja habis, dan tabungan yang lama tak pernah diganti. Sebab uang gaji kang Helmi pas-pasan sekali, tak pinjam uang dari orang saja sudah syukur.
“Andai Yuli selalu tepat janji dan bayar utang, kayaknya enggak bakalan gini-gini amat deh..” keluhku.
Aku jadi berandai-andai, seandainya aku masih bekerja mungkin keuangan kami akan lebih baik. Ah bukan, seandainya Yuli tak suka pinjam-pinjam uang, atau mertuaku tak tiba-tiba minta tambahan uang belanja, keuanganku dan kang Helmi pasti aman-aman saja.
“Ya sudahlah, besok coba kutagih ke si Yuli. Siapa tau dia emang niat bayar sekarang.” Batinku menghibur diri.
Sambil menunggu kang Helmi selesai mandi, aku duduk-duduk sambil main HP. Kubuka W******p dan iseng mengecek status-status kontakku, salah satunya Yuli.
[Makasih papi sayang, hadiahnya spesial pake banget. Katanya ini hadiah buat bidadari syurganya papi Edi. Lop yu Pi!] begitu isi caption statusnya.
Yuli sedang menunjukkan sebuah tas, modelnya seperti tas-tas import yang selalu dipakai selebriti dalam negeri. Tapi tentu saja itu KW, tak mungkin adik iparku membeli barang import yang harganya puluhan juta.
Tak berselang lama, status baru muncul. Sekarang statusnya adalah screenshoot percakapannya dengan salah satu sobat gosipnya, yang menanyakan harga tas yang baru Yuli dapatkan.
[Tas mahal tsay, ini satunya 1,5 juta.]
Aku cuma menahan senyum, satu setengah juta apanya? Tas KW begini paling mahal harganya 350 ribu.
“Coba deh aku cek ke online shop..”
Iseng aku mengecek harga tas yang persis dengan yang Yuli miliki, aku masih ingat namanya karena beberapa waktu lalu salah satu tetangga menginginkan tas semacam itu, tapi karena uangnya belum kumpul dia belum pesan.
“Nah kan, apa kubilang.. tasnya cuma 60 ribuan malah.”
Aku menggulir layar ponsel, mengecek satu per satu postingan tas yang serupa dengan yang Yuli pamerkan. Katanya dari suami, padahal aku yakin dia checkout sendiri, lalu dia pamerkan sendiri juga.
“Ahh uang yang buat belanja besok kayaknya emang dipake buat bayar tas ini.” Kataku, sedikit diisi penyesalan.
“Eva! Kamu itu keterlaluan ya sama Ibu!”
Hari-hariku berjalan seperti biasa, begitu datar, tanpa banyak perubahan.Satu-satunya perubahan yang terjadi adalah jumlah penghuni rumah, hanya ada aku dan Hafsah. Kang Helmi, hampir tak pernah pulang.“Mi, kok abi nggak pulang-pulang?” tanya gadis kecilku itu, sedih.Aku hanya bisa mengusap puncak kepalanya dengan penuh kasih, mencoba menenangkan dia.“Abi lagi sibuk kerja, apalagi nenek juga butuh dibantu di rumahnya jadi ya abi nggak bisa sering pulang ke mari..”“Tapi kenapa nenek minta tolong abi terus? Kan ada ayahnya de shakira..”Dia memanggil anaknya Yuli dengan panggilan de, karena memang posisinya di dalam keluarga dia adalah adik sepupu Hafsah, walau usianya lebih tua.“Mungkin cuma abi yang bisa, ayahnya de shakira nggak bisa.. yang penting abi tetap sayang sama Hafsah dan sekarang Hafsah selalu sama umi, ya?”Bocah berusia tiga tahun lebih itu mengangguk, tak menanyakan ayahnya lagi walaupun dia terlihat kecewa dan bertanya-tanya.Setiap hari aku mencari banyak aktivit
Sudah tiga malam berturut-turut Kang Helmi tak pulang.Awalnya aku gelisah, setiap kali terdengar suara motor di depan rumah, aku menengok cepat, berharap itu dia. Tapi lama-lama aku berhenti berharap.Bahkan Hafsah juga tak menanyakan abinya, seolah dia sudah paham apa yang terjadi. Mungkin memang sudah waktunya aku belajar untuk tidak peduli walau nafkah kami pun tak terpenuhi. Syukurlah aku bukan perempuan yang menggantungkan kebutuhan hanya pada suami, tetapi Allah memberkahi aku dengan kemampuan usaha sendiri.Jadi untuk kebutuhan harianku dengan Hafsah, aku terpaksa membongkar tabungan. Tak masalah, lagipula itu hasil kerjaku sendiri. Semoga kelak bisa menabung lagi untuk masa depan Hafsah, walau harus terseok-seok.Pagi ini, setelah menyiapkan sarapan Hafsah dan membereskan rumah seadanya, aku menyibukkan diri.Ada tetangga depan rumah, Bu Rani, yang mampir sambil membawa katalog panci dan alat dapur.“Eva, tolong cariin presto ya di online shop. Yang bagus, tapi murah. Aku p
“Kenapa kamu chattingan sama lelaki lain, Eva?!”Suara Kang Helmi bergema keras di ruang tamu. Tangannya masih menggenggam ponselku erat, wajahnya merah padam, napasnya tersengal karena marah.Aku terpaku beberapa detik, mencoba mengatur napas, tapi sebelum sempat bicara, kata-katanya menghantamku lagi seperti cambuk.“Kamu ini gatal, ya?! Ditinggal semalam aja, bukannya introspeksi diri, malah asik chattingan sama lelaki! Kamu tuh harusnya malu!”Aku menatapnya tak percaya. Ada sesuatu di dalam diriku yang tiba-tiba pecah.Semua kesabaran yang selama ini kutahan meledak seperti balon yang akhirnya tak kuat menampung udara.“Yang harusnya malu itu kamu, Kang!” suaraku meninggi tanpa sadar.Dia menatapku tajam, tapi aku tak berhenti.“Semalam kamu ke mana waktu aku panik di rumah sakit?! Waktu Hafsah muntah darah lagi, waktu aku nggak tahu harus ngapain, waktu aku nggak punya uang sepeser pun?!”“Kamu di mana, Kang?! Di mana kepala keluarga yang katanya mau jadi pelindung itu?!”Helmi
“Huekk!”Spontan kututup hidungku, perut yang kosong dan kelelahan, ditambah aroma busuk yang menguar membuatku nyaris tak mampu menahan muntah.“Bau Mi..” Hafsah pun mengeluh.Kuminta dia berdiri di teras, sementara aku masuk ke dalam rumah sambil menutupi hidung dengan ujung kerudung.“Astagfirullahaladzim.. kang Helmi, kamu pulang tapi kamu nggak ngepel bekas muntahan Hafsah semalam. Keterlaluan banget..” bisikku geram.Bekas muntahan Hafsah berceceran di depan tv, karena bercampur darah yang sudah lebih dari 24 jam, aromanya sangat memualkan.Sambil menahan kecewa dan tanda tanya, kubersihkan bekas muntahan itu dan mengepel lantainya sampai bersih.Hafsah duduk di luar sambil menonton Youtube, syukurlah dia anteng dan tidak mengeluh sakit. Sehingga aku tenang beres-beres.Rumah sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam di dinding yang pelan, berpadu dengan napas kecil Hafsah yang akhirnya terlelap setelah semalaman menahan sakit.Rumah sudah selesai kuberesk
Malam itu terasa panjang sekali. Walau jarum jam di dinding IGD terus bergerak, tapi suaranya seperti ejekan. Setiap detik berlalu tanpa kabar dari Kang Helmi, itu membuatku sangat stres.Sudah bosan aku, berkali-kali menatap layar ponsel dan memencet ikon panggilan, menunggu, mendengar nada sambung yang berakhir dengan suara operator saja. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”Kalimat itu terus berulang, seperti mantra yang membuatku jadi patung batu.Aku mencoba mengirim pesan, [Kang, Hafsah sudah ditangani dokter. Tolong ke rumah sakit, aku takut sendirian.]Tapi centangnya hanya satu.Lalu aku kirim lagi, masih berusaha.[Kang, tolong angkat teleponnya. Aku di ruang rawat melati 2. Hafsah butuh abinya.]Masih tak dibaca. Jangankan dibaca, chatnya sampai pun tidak.Sampai akhirnya aku menyerah.Aku duduk di kursi plastik di sudut ruangan, menatap Hafsah yang tertidur di ranjang kecil. Napasnya mulai teratur, pipinya masih pucat, tapi setidaknya tak lagi muntah.Syukurlah… ya
“Eva?”Aku menoleh, dan dadaku langsung serasa berhenti berdetak.Sosok itu berdiri tak jauh dari tempatku berdiri, wajar sekali suaranya begitu familiar karena aku pun masih sangat ingat setiap guratan di wajahnya itu.Sosok tinggi dengan wajah yang tak berubah sedikit pun dari ingatanku bertahun-tahun lalu, wajah yang dulu sering terlihat lelah, dengan kantong mata hitam karena kebanyakan begadang, tetapi bibirnya selalu mengulas senyum yang menyenangkan.Hamzah.“Kang… Hamzah?” panggilku, dan dia tertawa lebar.Dia berjalan mendekat, terlihat kikuk karena kedua tangannya terlihat canggung di sisi tubuhnya.“Eva, apa kabar?”“Kabar baik, kang. Akang sendiri? Udah lama banget enggak ketemu..” sapaku berbasa basi.Hamzah tersenyum, dan jujur aku kagum melihat penampilannya sekarang. Kini, dia bukan lagi mahasiswa yang datang ke kantin dengan kemeja kusut dan tas penuh buku.Penampilannya rapi, dengan kemeja biru muda yang digulung sampai siku, jam tangan yang terlihat mahal di pergela







