Share

Bab 6. Wajah Familier

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-30 21:15:14

Meski sang ayah tampak bingung dan tidak mengerti, senyum Keira tetap mengembang. 

“Iya, Pi. Mbak baru yang punya adik sudah datang. Jadi Keira punya teman bermain.” Keira menjelaskan dengan lancar. “Kan, kemarin Keira minta sama Nenek–terus Nenek langsung kasih.”

Gadis kecil itu terkikik kecil. “Dia lucu, deh, Pi. Nanti kita main bareng ya?”

“Kita lihat nanti,” ucap Ethan. Ia mengusap rambut Keira singkat, sebelum masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu.

Keira termenung sejenak, sebelum menghela napas. Namun, gadis itu kembali tersenyum kemudian.

Yang penting ia ada teman bermain sekarang! Jadi meski sang ayah selalu rapat ke sana kemari, pergi sana sini, Keira tidak akan kesepian lagi.

Sementara itu, dari kejauhan, Bu Hanum melihat kejadian kejadian yang sering berulang ini. Sudah biasa, gadis kecil itu diabaikan oleh laki-laki blasteran itu.

“Ayo, katanya mau main dengan adek Sakti.”

Tangan Bu Hanum menepuk punggung Keira. Mata bulat yang sebelumnya berkabut, kembali berbinar. “Adik sudah bangun, Bude?”

“Sudah. Malah sudah mandi.”

“Aku mau mau ke sana!”

***

Sudah satu minggu lebih Cahya tinggal di rumah ini.

Semuanya berjalan lancar. Tidak ada kesulitan yang berarti. 

Namun, tidak pernah sekalipun bertemu dengan Tuan Ethan, papinya Keira. Lelaki itu selalu pulang larut malam atau menjelang pagi, kemudian keluar kamar ketika matahari sudah tinggi.

Sedangkan Cahya, pagi-pagi harus mendampingi Keira berangkat sekolah. Tak jarang dia juga membawa Sakti ikut serta. Setelah itu, dia bersiap ke hotel untuk bekerja di restoran. Kemudian sore harinya kembali pulang, dan menemani Keira dan Sakti.

Nyonya William yang mempekerjakan Cahya pun rupanya tinggal di luar negeri. Hanya sesekali beliau mengobrol dengan Keira via telepon.

Kini, Cahya mulai mengerti, kenapa Keira tidak mendapatkan perhatian dari ayahnya. Karena mereka jarang bertemu, meskipun tinggal dalam satu atap. Tak jarang Keira berkeluh kesah tentang kerinduannya akan kehadiran Papinya.

“Non Keira, sekarang sudah waktunya tidur. Tuh adik Sakti juga sudah tidur,” ucap Cahya sambil menunjuk Sakti yang sudah pulas di sofa. Jarum jam dinding sudah menunjuk angka sembilan lebih.

Seperti malam sebelumnya, Cahya dan Sakti bermain dulu di kamar Keira. Bu Hanum tidak mengijinkan Keira untuk berlama-lama di kamar Cahya. Jadi jalan tengahnya, mereka berdua lah yang menemani majikan kecil itu di kamar Keira sendiri.

“Tapi Keira mau dibacakan buku dulu.”

“Iya. Buku yang mana?”

Gadis kecil itu beranjak menuju rak buku. Dia mengambil satu buku tebal dan membukanya terlebih dulu sebelum menyerahkan kepada Cahya.

“Cerita yang ini, ya.”

Cahya mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati dia bergumam, pasti anak kecil ini sedang merindukan ibunya. Kasihan.

“Dongeng Putri Cinderella,” ucap Cahya kemudian membaca kisah klasik yang tak lekang oleh zaman.

“Mbak Cahya.”

“Iya?”

“Ibu tiri itu jahat, ya?”

Cahya tersenyum. Kemudian menutup buku yang baru saja selesai dibacakan. Dia memiringkan tubuhnya, sambil membelai rambut Keira yang berwarna coklat.

“Memang ada ibu tiri yang tidak baik, tetapi yang tidak baik itu belum tentu ibu tiri.”

“Maksudnya bagaimana?” Mata bulat itu mengerjap menuntut jawaban lebih.

“Di dunia ada orang jahat dan orang baik. Kita tidak bisa mengubah itu. Jadi kita sendirilah yang harus bisa menjaga diri. Seperti Non Keira saat di sekolah, ada teman yang nakal dan ada yang baik. Iya, kan?”

“Hmm…. Iya. Keira tidak suka dekatan sama anak nakal.”

“Iya betul. Lebih baik kita menghindar.”

“Hmm…terus kenapa Tuhan mengambil orang baik. Seperti Mami yang menyayangi Keira?”

Wanita muda itu menghela napas. Pertanyaan ini juga sama terlontar di pikirannya saat yang di Atas mengambil suaminya.

“Karena Tuhan sangat menyayangi maminya Non.”

“Jadi Tuhan tidak sayang Papi? Tidak sayang Keira juga?”

“Kita semua nantinya diambil Tuhan. Namun, Papi dan Non Keira masih mempunyai tugas di dunia ini. Seperti Non Keira harus sekolah, Papi juga masih harus bekerja.”

Tangan anak kecil itu menggenggam perlahan. “Kenapa Papi harus banyak bekerja?”

“Karena Papi ingin mendapatkan uang banyak untuk Non Keira.”

“Tapi …. Keira tidak mau uang banyak. Keira ingin seperti dulu. Papi banyak waktu menemani Keira.”

“Iya, Non. Pasti nanti Papi akan bermain lagi dengan Non Keira. Sekarang tidur, ya. Besok harus bangun pagi.”

Gadis itu mengangguk, kemudian beringsut memutar tubuhnya membelakangi Cahya. Kebiasaannya sebelum tidur, dia memeluk guling dan meminta punggungnya diusap-usap.

“Mbak Cahya….”

“Iya?”

“Boleh Keira panggil Mbak Cahya Ibu? Seperti adik Sakti.”

“Iya. Tapi Mbak ijin Bu Hanum dulu, ya.”

Gadis itu memutar badan menghadap Cahya kembali. “Tidak usah. Keira panggil Ibu ketika mau tidur aja. Boleh?”

“Iya, boleh.”

Gadis kecil itu tersenyum kemudian berkata, “Selamat malam, Ibu.”

Tak lama kemudian suara dengkur mengalun. Cahya menyelimuti gadis kecil itu. Sambil menggendong Sakti, dia kembali ke kamarnya. Dia bersiap untuk tidur. Mengganti baju dengan daster setelah melepas bra.

“Yah habis.” Cahya memegang tempat air yang kosong.

Dia ke dapur untuk mengisi air minum. Beberapa lampu sudah dimatikan, menyisakan sinar temaram dari beberapa lampu yang menyorot ke dinding.

Cahya menoleh ketika merasa ada bayangan berkelebat. Tidak ada siapa-siapa. 

‘Ah, mungkin hanya perasaanku saja,’ pikir Cahya melanjutkan ke dapur. Dia mencuci tangan di wastafel setelah mengisi air minum.

Saat mematikan air, tubuh Cahya menegang seketika. Tangan besar melingkar di pinggangnya bersamaan dengan embusan napas hangat yang menerpa kulit leher.

“Ternyata kamu datang juga.” Suara berbisik yang diiringi aroma alkohol yang menyeruak. “Siska.”

“Si-siapa kamu!?”

Tidak ada jawaban, tetapi tangan besar itu membalik tubuh Cahya untuk menghadap kepadanya. Sinar dari taman belakang menunjukkan siluet wajah laki-laki. 

Dahi Cahya berkerut dalam, seakan memorinya mengingat sesuatu. 

Namun, apa dan siapa?

Lelaki di depannya tersenyum tipis. 

Dengan tidak sabaran lelaki itu mengutip napas tanpa memberi kesempatan. Tubuh wanita itu terkunci di antara meja wastafel dan lemari dapur. 

Lelaki itu semakin tidak terkendali ketika jemarinya menyelusup pada kancing daster. Mendapati sesuatu yang diinginkan tanpa penghalang dan–

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dimanjakan sang Majikan Tampan   Bab 27. Tidak Sekedar Dekat

    “Segala sesuatu itu lebih baik ditanyakan daripada dipikir sendiri, tetapi itu salah.” Ethan memalingkan wajah ke Cahya.Lampu merah meleluasakan dia untuk mengamati tingkah wanita di sampingnya. Meskipun tetap diam, tetapi gerakan jari-jarinya menandakan ada bergolakan. Seperti maling yang ketahuan, jantung Cahya pun berdegup kencang.Sampai lampu menyala hijau, wanita ayu itu tetap diam. Dia mungkin masih membutuhkan ruang dan waktu untuk melepaskan diri dari emosi, pikir Ethan. Pandangan mata Cahya bergerak ke belakang. Mobil yang dia tumpangi melewati jalan menuju ke rumah."Tuan, kita akan kemana?" "Ternyata kamu masih bisa bersuara." Ethan tersenyum kecil tanpa menjawab pertanyaan. Mobil mewah berwarna hitam itu meluncur, sementara isi kepala Cahya mulai mencerna penjelasan Ethan tentang kejadian tadi. Memang terlihat mereka seperti bermesraan. Akan tetapi melihat posisinya, bukankah itu justru menandakan penyerangan?Pikirannya menyelidik dalam. Lelaki di sampingnya ini pun

  • Dimanjakan sang Majikan Tampan   Bab 26. Lengket

    Setelah waktu pulang tiba, mereka berkemas.“Mbak Cahya aku antar, ya? Aku bawa motor sendiri.” Komang menunjuk sepeda motor merah.“Tumben.”“Suami ngantar tamu ke Jawa.”Dia memang diantar jemput suaminya yang kesehariannya sopir ojek mobil online. Padahal dia bisa naik motor sendiri. Namun, tidak diperbolehkan keluar rumah tanpa suami.“Yuk! Sekalian kita jalan-jalan ke Kuta. Aku lama tidak kelayapan sendiri. Lumayan menikmati jadi nak bujang ketika suami pergi,” ucap Komang sambil tertawa.“Jangan gitu, nak e. Suami cari duit malah jalan-jalan.”“Ya kan memang yang tugasnya buang duit itu istri. Ayok!”“Hmm… tidak deh, Mbok. Aku ingin cepat pulang saja. Istirahat.”“Yah….” Akhirnya Komang menyerah. Dia memakai helm dan bersiap untuk berangkat. Saat mesin motor menyala…“Aku ikut, dah,” seru Cahya tiba-tiba. Tanpa menunggu jawaban dia langsung duduk di belakang. “Berangkat sekarang aja. Yuk!”Komang merasa heran, tetapi dia tetap tanjap gas. Sedangkan Cahya menunduk, menyembunyika

  • Dimanjakan sang Majikan Tampan   Bab 25. Terikat

    “Cukup, Erika! Jangan bikin ribut!”Teriakan Ethan tidak menyurutkan, justru memantik kemarahan Erika. Wanita itu mendengkus sambil menatap Cahya penuh kebencian.“Tidak! Orang seperti dia kalau dibiarkan akan semakin belagu! Dia salah!” Sekarang Erika justru menatap Ethan. Ada rasa tidak terima di sana.Ethan menghela napas panjang. Sorot matanya melunak. “Mengerti. Tetapi tidak harus dengan kekerasan, kan? Dia pun tidak salah seratus persen karena dia melaksanakan tu__”“Kamu membela dia, Kak? Perempuan ini salah! Lepaskan!” Wanita itu mendesis. Perlahan tangannya terbebas dari genggaman Ethan.Erika menyeringai.PLAK!Tangan kanan terayun.Sedangkan tangan satunya meraih gelas berisi jus alpukat, dan ….BYUR….Seketika, dari ujung kepala Cahya basah. Wanita malang itu hanya bisa menahan napas ketika aliran melewati wajahnya. Tubuhnya gemetar dengan posisi sama. Kedua tangan membawa nampan yang penuh dengan makanan pesanan Erika.“Gila kamu, Erika!”Ethan mengambil alih nampan dan me

  • Dimanjakan sang Majikan Tampan   Bab 24. Menyerang Kembali

    “Hei! Melamun, ya!”“Eh, Mbok Komang. Kaget aku.”Komang mensejajari Cahya dan menyenggolkan lengannya. “Mikiran apa, sih. Sampai tidak dengar aku panggil-panggil.”Cahya menoleh. “Iya?”“Lagi tremor karena diomelin Bos, ya?”“Mbok Komang lihat?”“Iya. Kamu mengangguk-angguk sedangkan Bos Ethan gini-gini,” celetuk Komang sambil memperagakan gerakan Ethan yang menunjuk-nunjuk. “Apes kamu. Baru sampai sudah ketangkap.”Dahi Cahya mengernyit. Dalam hati dia berkesimpulan kalau teman kerjanya ini tidak melihatnya keluar dari mobil Ethan.Sampai detik ini, yang teman-temannya tahu sebatas dia adalah karyawan yang diseleksi langsung oleh Bu Hanum. Tidak lebih. Termasuk dimana Cahya tinggal dan apa tugasnya.“Nasib buruk, ya, Mbok,” sahut Cahya sambil tersenyum lega.“Memang iya. Kok, Mbak tahu?”“Heh?!”Langkah Cahya semakin berat mendengar penjelasan Komang berikutnya. Teman kerjanya itu menceritakan kalau dulu ada temannya yang mendapat celaka gara-gara berbicara lama dengan Ethan.“Apala

  • Dimanjakan sang Majikan Tampan   Bab 23. Aku Juga Terpaksa

    Ethan mengambil beberapa buku dari rak yang menjulang berisi jajaran buku-buku tebal. Diperhatikan sebentar, kemudian beberapa yang ditukar.“Untuk menambah wawasanmu, kamu harus banyak membaca. Sengaja saya pilihkan yang terjemahan. Kalau bahasa Inggris, bisa-bisa kamu setahun baru selesai baca.”Tumpukan buku diletakkan tepat di depan Cahya. Wanita itu menilik judul yang terlihat di punggung buku. Hanya satu buku yang berkaitan dengan restoran, sedangkan lainnya tentang marketing, leader, psikologi, dan selebihnya seputar kehidupan.“Semua ini, Tuan?”“Iya. Seorang supervisor di tempatku harus ini nya berisi,” jarinya menunjuk kening, “saya tidak mau perwakilan restoranku kurang pintar. Apalagi memalukan.”Mata wanita itu memperhatikan sang majikan, tetapi isi kepalanya berpikir lain. Setahu dia, Mbok Ayu supervisor tidak jenius seperti Einstein. Meskipun saat berbincang dengannya, terlihat Mbok Ayu orang yang dewasa dan bijaksana dibandingkan karyawan lainnya.“Kamu nantinya sebagai

  • Dimanjakan sang Majikan Tampan   Bab 22. Membayar Kesalahan

    Kedua tangan Cahya semakin meremat nampan yang sedari tadi dipegangnya. Rasanya ingin menghilang ke dimensi lain. Yang penting tidak berhadapan dengan lelaki ini. Seandainya Cahya mempunyai kekuatan melewati waktu, malam ini akan dia hilangkan dari peredaran.“Maaf, Tuan. Menurut saya, lupakan kejadian semalam. Itu yang terbaik.Tidak ada tanggapan.Cahya mengangkat wajah dan menangkap sorot mata tajam yang terarah kepadanya. Meskipun tidak berucap, dalam hati Ethan merasa tidak terima.Bagaimana ketika dia merasa bersemangat, justru ditolak mentah-mentah?Itu pun oleh karyawannya sendiri.Sedangkan dalam pikiran Cahya bergejolak berbagai prasangka. Tuan Ethan pasti marah? Pasti dia memecatku? Mereka yang membenciku pasti berteriak, "Cahya, akhirnya kamu dipecat! Syukurin!"Cahya terasa lega ketika tatapan Ethan melunak dan menampilkan senyuman. Sang majikan menunjuk sofa single tak jauh dari wanita itu berdiri. Meskipun ragu, akhirnya Cahya menurut.“Baik, kita lupakan kejadian tadi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status