Ningroem bergegas masuk dari pintu belakang, menghampiri Ratna yang dari tadi memanggil-manggil namanya. Samar Ningroem mendengar panggilan Ratna dari rumahnya. Ningroem keluar melalui pintu belakang untuk membeli diapers karena kehabisan stok di rumah.
"Ada, apa Mbak?" tanya Ningroem melihat wajah wajah Ratna yang panik dan pucat pasi.
"Mbak, dari mana saja aku panggil-panggil tidak menjawab?"
"Maaf Mbak, tadi habis dari warung dulu membeli diapers untuk Denis karena di rumah habis," sahut Ningroem memperlihatkan kantong plastik berwarna putih yang berisi 2 bungkus diapers.
"Ya, ampun Mbak, Aku kira Mbak marah sama aku? kabur melalui pintu belakang," sahut Ratna merasa lucu sehingga tertawa tertahan menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Wajahnya yang tadi pucat kini dialiri darah kembali.
"Ya Allah Mbak, aku mau kabur kemana? Mbak tahu sendiri aku hanya mempunyai kontrakan sepetak, ini juga ngontak. Tidak punya saudara, sebatang kara," jelas Ningroem kepada Mbak Ratna.
Ya ampun Mbak Ratna, kok bisa-bisanya berpikiran seperti itu, mana mungkin aku meninggalkan Denis sendirian, sekarang hanya Denis satu-satunya hartaku mana mungkin aku meninggalnya. Aku bukanlah seorang ibu yang hanya memikirkan kebahagiaanku saja ada anak di sisiku yang harus kuperjuangkan untuk masa depannya, aku tak mau menyesal pada akhirnya.
Mbak Ratna menggandeng tanganku mengajak melangkah keluar kontrakan. Di luar terlihat Dani sedang duduk di bangku teras sendirian sambil memegang ponsel, terlihat jarinya sedang asyik bergeser ke atas dan ke bawah.
Ningroem menatap Dani yang belum menyadari bahwa aku dan Mbak Ratna sudah ada di hadapannya.
Mas Dani terlihat gagah dengan celana panjang dan kaus biru Dongker setara dengan kulitnya yang putih, tak bisa di pungkiri Mas Dani memang masih terlihat tampan dan menawan walaupun usianya hampir memasuki kepala empat.
"Mas, ayo, pergi bareng Mbak Ningroem, lihat dia sudah rapi dan anggun," pinta Ratna, memuji penampilan wanita berlesung pipi yang berdiri di sebelahnya.
Ningroem di buat tersipu dengan ucapan Ratna.
Dani menoleh ke arah kami berdua, memasukan ponsel ke dalam kantong celana. Kemudian bangkit berdiri dari duduknya, Mas Dani mengangguk ke arah Ningroem.
Ningroem pun mengangguk kepada Dani. Pertanda Ningroem sudah siap untuk pergi bersamanya. Namun, sebelum pergi Ningroem berbicara beberapa kata kepada Ratna terlebihulu. Sebetulnya tak enak hati menitipkan Denis dan pergi berdua saja dengan suami orang, walaupun atas izin istrinya.
"Mbak tolong titip Denis dulu ya, maaf jadi merepotkan."
Sebenarnya Ningroem merasa tak enak hati menitipkan Denis, tapi karena ingin menjaga hati Ratna dengan terpaksa ia menuruti permintaannya.
"Tidak apa-apa Mbak, sudah pergilah, kalau Denis melihat nanti dia menangis."
Ningroem melirik ke arah Denis yang sedang asyik dengan mainannya di teras. Ningroem sengaja tidak menghampirinya takut Denis menangis, kasihan jika nantinya Ratna menjadi kerepotan. Ningroem tidak ingin Denis menjadi rewel sehingga membuat capek orang yang menjaganya.
Mas Dani menghidupkan motor, menyuruh Ningroem untuk naik. Wanita berlesung pipi hanya bisa menurut dengan wajah yang terasa panas , mungkin bila Ningroem bercermin wajahnya sudah terlihat merah seperti buah tomat.
"Ayo, Dek kita berangkat," ucapnya pada Ningroem.
"Dek, maaf, ya?" Dani melirik ke arah Mbak Ratna
"Tidak apa Mas," sahut Ratna tersenyum kearah Dani. Ningroem yang sudah di atas motor siap untuk diajak pergi.
Ningroem hanya mengangguk saja, jujur ia bingung dengan situasi saat ini. Ia juga canggung dan juga malu, harus pergi berdua saja tanpa Ratna yang lebih berhak, apa nanti kata orang yang melihatku?
Ningroem duduk berboncengan di atas motor dengan hati yang tak karuan, degup jantungnya begitu cepat seolah telah lari maraton.
'Semoga detak ini tidak terdengar oleh Dani, bisa malu aku,' bisik Ningroem di dalam hatinya.
Ningroem tidak berani memeluk Dani untuk berpegangan, hanya berani berpegangan pada pinggir kaos Dani saja supaya tidak jatuh.
Disaat bertemu lampu merah, otomatis Dani mengerem, tubuh Ningroem otomatis sedikit merosot beradu dengan punggung Dani. Ningroem menggeser kembali duduk seperti semula. Pria itu melirik Ningroem, melempar senyum melalui kaca spion. Senyum yang manis yang membuat Ningroem tersipu malu.
'Mas jangan bersikap terlalu baik padaku, aku takut jadi suka beneran,' bisik Ningroem dalam hati.
"Dek, kita mau kemana?"
"Aku tak tahu, ikut Mas, saja," sahut Ningroem, karena memang dirinya tidak pernah pergi untuk jalan-jalan, jadi tidak tahu tempat untuk rekreasi.
"Bagaimana kalau ke sebuah Setu saja, dekat kok dari sini."
"Baiklah." Sebuah Setu pikir Ningroem, ide yang bagus aku juga suka tempat yang adem-adem seperti itu, tidak banyak orang yang membuat kepalaku pusing karena tidak biasa melihat keramaian
Dani terus memacu sepeda motor di atas jalan raya yang gerimis, setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Motor melaju pelan memasuki tempat parkir.
Ningroem turun menunggu Dani selesai memarkirkan motornya. Tidak berapa lama Dani menghampiri, mengajak Ningroem untuk masuk ke dalam area Setu.
Udara terasa dingin mulai menusuk kulit dan tulang. Angin semilir berhembus menerpa wajah dan tubuh keduanya. Bulu-bulu di sekujur tubuh Ningroem meremang karena dingin. Wanita berlesung pipi menangkupkan kedua tangannya, kemudian menggosok-gosoknya pelan untuk menghilangkan rasa dingin. Ningroem melirik pria yang duduk di sampingnya di sebuah kursi kayu, pun melakukan hal yang sama.
"Dingin ya, Dek? Mau pesan kopi?"
"Hem. Boleh deh, Mas," sahut Ningroem singkat. Dani sepertinya mengerti akan keadaan cuaca yang begitu dingin, terlebih di tempat ini sepertinya baru saja di guyur hujan, terlihat dari dedaunan yang basah menyisakan tetesan air di daun dan jalanan yang terlihat basah, menyisakan genangan air hujan di sekitar obyek wisata.
Dani bangkit dari kursi yang didudukinya, melangkah menuju sebuah warung yang ada di pinggiran Setu. Tidak berapa lama Dani kembali lagi ke tempat duduknya menghampiri Ningroem yang sedang menunggunya.
Dani menyerahkan secangkir kopi panas ke tangan Ningroem.
Ningroem menerima dan meletakkannya di meja kayu.
Dani menatap lekat wajah wanita yang duduk di hadapannya, Dani tahu ia harus menjaga pandangannya. Tapi bagaimana mungkin berbicara tidak menatap lawan bicara
"Apa Adik, setuju dengan permintaan istri Mas?" Mas Dani menatap wajah Ningroem lekat, menunggu jawaban.
"Sebetulnya, aku sudah menolaknya Mas, namun Mbak Ratna tetap memaksa." sahut Ningroem menundukkan wajahnya, sukar untuk meneruskan kata, kelu.
"Apakah, Adik tidak keberatan jika Mas jadi suami mu?"
"Mas pernikahan, itu bukan hanya untuk memiliki keturunan, banyak tanggung jawab di dalamnya yang harus dipikul, apa lagi, aku ini janda, punya anak pula," jelas Ningroem menolak dengan halus.
"Mas mengerti, itu sebabnya, ingin membujuk Ratna dengan anak sepupu Mas, untuk di angkat menjadi anak, semoga Ratna mau."
"Iya, Mas, bicara dulu dengan Mbak Ratna, bujuk Mbak Ratna dulu, jangan mengambil keputusan yang terburu-buru. Takutnya salah dan kecewa tidak berkesudahan, aku tak ingin hal seperti itu terjadi padaku pun kepada keluargamu yang sudah sering membantuku.
"Memang, Adik mau jadi istri kedua, Mas?"
Ningroem terdiam cukup lama, matanya hanya menatap ke arah Setu. Hening. hanya suara angin dan riak air yang terdengar.
Ningroem mengambil batu, melempar ke arah danau. Ia bingung harus menjawab apa.
Ningroem angkat wajahnya, memberanikan diri untuk menatapnya pria yang duduk di sisinya.
Mas Dani masih menatapnya, Ningroem merasa malu dan menunduk kembali. Membuang pandangannya ke arah Danau.
"Mas, jija aku bisa ingin menolak. Aku takut hanya akan menjadi bebanmu saja," sahut Ningroem memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan yang diberikan Dani.
Dani menyentuh dagu Ningroem hingga wajahnya menatap Dani, jantung Ningroem berdegup kencang. Mendapatkan perlakuan manis dari suami tetangganya itu. Dani tersenyum, Ningroem tidak paham dengan senyuman pria yang ada di sampingnya itu. Entah apa maksud dari senyumannya itu, Ningroem betul-betul tidak paham diperlakukan manis seperti itu.
Mendengar penuturan Ratna, Ningroem langsung mengajak kedua anaknya untuk berpamitan. Rasanya Ningroem tidak sanggup jika terus disalahkan. Satu tahun kemudian. Tok! tok! tok! Terdengar suara ketukan pintu, Ningroem segera bangkit dari duduknya yang sedang memainkan ponselnya. Wanita itu sedang menatap gambar putranya Yuda di layar ponsel. Ningroem merasa rindu. Namun, ia tidak berani untuk bertamu ke rumah Ratna. Karena Ratna sudah melarangnya tempo hari. Sehingga Ningroem hanya bisa menahan rindu. Wanita itu hanya bisa mendoakannya dari jauh. Terlihat di depan pintu seorang pria telah berdiri. "Pak Surya, tunggu sebentar saya ambil dulu botol susunya." "Tunggu Mbak," tahan lelaki paruh baya menghentikan langkah kaki Ningroem. Ningroem membalikan tubuhnya menghadap pak Surya. "Ada apa pak?" "Saya disuruh ibunya Non Ratna untuk mengabarkan jika Mbak Ratna telah berpulang." "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mbak Ratna sakitkah?" Ningroem terkejut dengan berita yang baru
Mendengar penuturan Ratna, Ningroem langsung mengajak kedua anaknya untuk berpamitan. Rasanya Ningroem tidak sanggup jika terus disalahkan. Satu tahun kemudian. Tok! tok! tok! Terdengar suara ketukan pintu, Ningroem segera bangkit dari duduknya yang sedang memainkan ponselnya. Wanita itu sedang menatap gambar putranya Yuda di layar ponsel. Ningroem merasa rindu. Namun, ia tidak berani untuk bertamu ke rumah Ratna. Karena Ratna sudah melarangnya tempo hari. Sehingga Ningroem hanya bisa menahan rindu. Wanita itu hanya bisa mendoakannya dari jauh. Terlihat di depan pintu seorang pria telah berdiri. "Pak Surya, tunggu sebentar saya ambil dulu botol susunya." "Tunggu Mbak," tahan lelaki paruh baya menghentikan langkah kaki Ningroem. Ningroem membalikan tubuhnya menghadap pak Surya. "Ada apa pak?" "Saya disuruh ibunya Non Ratna untuk mengabarkan jika Mbak Ratna telah berpulang." "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mbak Ratna sakitkah?" Ningroem terkejut dengan berita yang baru
Ningroem memalingkan tatapannya dari penjual pop es. Wanita itu tidak menyangka jika dirinya akan bertemu dengan Bram di wahana bermain. "E—eee, sama anak-anak," sahut Ningroem tergagap. Pria itu melangkah mendekati Ningroem. "Sama anak-anak!" Pria itu tertegun untuk sesaat karena tidak melihat Fahmi dan juga Denis ikut bersamanya. "Mereka ada di dalam sedang bermain," jelas Ningroem. "Aku membeli makanan untuk mereka karena takut merekaerasa lapar karena capek asyik bermain," pungkas Ningroem kemudian. "Ohh, boleh Mas ikut bergabung?" Belum sempat menjawab pertanyaan Bram, ibu penjual pop es memberikan tiga gelas pop es yang dipesannya. Ningroem menerima dan membayar pesanannya. "Boleh, kamu kan ayahnya." Bram mensejajarkan langkahnya dengan langkah Ningroem, wanita itu berhenti di penjual sosis untuk mengambil pesanannya. Setelah melangkah beberapa langkah Ningroem berhenti di Abang penjual martabak tadi ia juga memesan martabak manis dengan toping keju untuk dirin
"Mas, tunggu dulu. Aku takut."Dani melumat bibir Ningroem, "Mas akan melakukan dengan hati-hati."Ningroem merasa tegang, ini hari pertama setelah dirinya melahirkan rasanya miliknya merasa seperti perawan kembali rapat karena sudah di jahit. Wanita itu takut melakukan hubungan badan seperti saat memulai malam pertama."Jangan tegang," ucap Dani berbisik di telinga Ningroem, hingga membuat sekujur tubuhnya merinding. Ningroem menarik nafas dalam menghembuskannya perlahan . Wanita itu betul-betul takut dan tegang hingga. Dirinya tidak bisa menikmati pergulatan pertamanya, hanya fokus untuk menghilangkan rasa sakit saat memulainya."Mas, pelan, aku takut jahitannya robek.""Hem, kau seperti perawan. Dek." Kesat dan sempit sekali."Ningroem tersipu, Dani menaikturunkan tubuh di atas Ningroem. Wanita yang berada di bawah kunjungannya semakin erat meremas sprei menahan sakit. Namun, sesaat kemudian rasa cermas dan takut berangsur hilang tergantikan oleh nikmatnya hentakan yang di berikan
"Maksud Mas, apa?" Ratna merasa tak mengerti dengan perkataan Suaminya. "Ah, sudah lah lupakan kata-kata Mas, barusan." Dani tak ingin membuat hati Ratna gundah sehingga, pria itu meninggalkan Ratna yang masih berdiri mematung di hadapannya. Dani melangkah menuju box bayi yang di dalamnya terbaring putra kecilnya yang lucu. Dalam hati ia merasa kasihan pada Ningroem yang harus mengalah. Merelakan bayinya untuk tetap berada di sini. Tentu saat ini Ningroem sedang bersedih saat ini. Tidak ada teman untuk berbagi. Dani menyentuh pipi Yuda dengan telunjuknya, "Anak ayah baik-baik disini, ya bersama bunda Ratna." Dani berbicara pada Bayi Yuda yang tertidur dengan pulasnya. "Yang malam ini bolehkah aku menemani Ningroem? Pasti ia sangat sedih harus berpisah dengan bayinya." Dani meminta izin pada Ratna untuk menemani Ningroem istri keduanya. "Silahkan saja kalau pun tak kembali ke sini aku rela, karena aku sudah menukarmu dengan Yuda." "Apa, Yank. Memangnya aku barang yang bisa k
Sepulang dari pasar Dani menyempatkan untuk membeli kue, teringat akan Ningroem sedari tadi hatinya berdebar-debar terus. Dani tidak mengerti padahal dia tidak merasa sakit atau pun tidak enak badan. Apakah ada yang salah dengan jantungnya sehingga detaknya tidak seperti biasanya. Dani tidak memperdulikan detak jantungnya. Nanti juga kembali normal seperti biasa, kemarin juga sempat berdebar tetapi hilang dengan sendirinya. Semoga hari ini pun jantungnya baik-baik saja. Dani terus memacu motor maticnya hingga sampai di sebuah toko kue, setelah memarkirkan motornya pria itu turun melangkah masuk. Dani melihat-lihat aneka kue yang berderet rapi di meja, juga di etalase. "Mbak, saya mau ini dua." Tunjuk Dani pada kue brownies yang berbaris di etalase toko. Pegawai segera mengemas kue yang di minta Dani, setelah mengemasnya Dani segera membayarnya di kasir. Hari sudah semakin sore ketika Dani keluar dari toko kue tersebut. Baru saja hendak keluar dari toko tiba-tiba hujan turun de