Saat itu juga, Roman memanggilnya, "Stella, kemarilah."
Stella menoleh ke arah ayahnya. Dia sebenarnya ingin menunggu jawaban dari Dani, namun pria itu hanya tersenyum seolah tidak ingin memberikan jawaban untuknya. Stella pun menatap Dani, memutar bola matanya dengan malas, lalu berjalan ke arah ayahnya. "Apa ada yang bisa saya bantu, Ayah?" "Stella, kenapa kamu buru-buru pergi? Kenalanlah dengan Aksa," kata Roman. Stella mendesah, "Untuk apa, Ayah? Jangan memaksa aku untuk melakukan hal-hal yang tidak terlalu penting." Stella berputar dan hendak berjalan pergi lagi, namun Roman memanggilnya lagi, membuatnya berhenti dan membalikkan tubuhnya memandang ayahnya. "Stella, bukankah Ayah baru saja menyuruhmu bersikap baik tadi malam? Mengapa kamu ingin mencari musuh sekarang?" tanya Roman. Stella mengerutkan keningnya, "Ayah, aku hanya tidak ingin mengenalnya. Kami tidak saling mengenal, bagaimana mungkin menjadi musuh?" Roman menatap Stella dalam diam. Namun Stella tahu jika ayahnya menatapnya seperti itu, artinya ayahnya meminta dia untuk menurutinya meskipun dia tidak mengatakannya secara langsung. Dengan pasrah, Stella pun mengulurkan tangannya di depan Aksa. "Namaku Stella," katanya tanpa menatap Aksa. Aksa pun menjabat tangan Stella dan memperkenalkan dirinya juga. "Aku Aksa." Setelah itu, Stella langsung menarik tangannya dengan paksa, seolah-olah berjabatan tangan terlalu lama dengan Aksa membuat tangannya menjadi kotor dan bau. Stella segera berbalik dan pergi menuju sofa, namun ayahnya memanggilnya kembali. Stella pun akhirnya kembali ke arah mereka dengan tidak senang. Dani yang melihat Stella hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala tak berdaya. "Duduklah di sini," kata Roman sambil menepuk ranjangnya. Namun Stella menolak dan lebih memilih untuk berdiri, melipat kedua tangannya di depan dadanya. Roman menatap Aksa dan berkata, "Tolong dimaklumi, Stella memang seperti ini orangnya." Aksa hanya tersenyum kecil, sementara Stella memutar bola matanya dengan malas, menatap ke arah lain. "Untuk apa ayah memperkenalkan dia padaku?! Sangat tidak penting!" gerutu Stella dalam hati. Roman memandang ke arah keduanya secara bergantian. "Mungkin, kamu tidak tahu mengapa aku mengundangmu kemari, bukan?" "Dan Stella mungkin tidak tahu siapa Aksa dan mengapa ayah memintanya kemari," kata Roman. Roman diam sejenak, menatap keduanya. Aksa pun mengangguk. Bagaimanapun juga, dia hanya diundang oleh Dani kesini dan tidak tahu apa-apa. Roman melanjutkan, "Stella, Aksa adalah mandor termuda. Dia telah bekerja selama dua tahun. Ingin bertemu dengannya, selalu tidak ada waktu. Dan baru bertemu sekarang setelah sekian lama." Stella hanya diam, seolah-olah berita mengenai Aksa sama sekali tidak penting baginya. "Dan tujuanku mengundang Aksa kemari adalah untuk mengenalkannya padamu. Karena aku ingin menjodohkan kalian," tambah Roman menatap Stella lalu ke arah Aksa. Mendengar perkataan Roman, kedua anak itu menatapnya dengan bingung. "Apa?" Stella terkejut, keningnya semakin berkerut saat menatap ayahnya. Roman menatap putrinya, lalu berkata, "Kamu mau kan menikah dengan Aksa?" Stella menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk. Bibirnya bergetar, tapi ia bingung ingin mengatakan sesuatu. "Ayah, apa yang kamu bicarakan? Aku sendiri tidak mengenalnya, kenapa Ayah menanyai aku dengan pertanyaan yang jawabannya sudah pasti?" kata Stella, menatap ayahnya dengan sedikit kesal. Aksa hanya memandang Roman dengan bingung, tapi tidak berkomentar apapun. Meskipun ingin menolak sedikit, dia sudah berjanji untuk tidak akan menolak perintah Roman. "Nak, jika menunggumu mencari pacar, itu akan sangat lama. Belum lagi jika tidak sesuai dengan kriteriaku. Jika aku yang mencarikan, sudah tidak perlu disesuaikan lagi. Tinggal kamu menerima maka selesai," kata Roman. Stella menatap ayahnya dan menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin dia mau menikah dengan Aksa? Mau ditaruh mana muka Stella jika dia menikah dengan pria yang jauh berada di bawahnya? "Ayah..." Stella ingin menolaknya, namun Roman menyelanya, "Nak, umur ayah tidak lama lagi. Semakin kamu memperlama, waktu ayah juga semakin sedikit. Jadi tolong, untuk permintaan ini, kamu jangan protes ya?" Dia memandang ke arah Aksa, "Dan Nak Aksa, kamu pernah berjanji padaku untuk tidak pernah menolak perintahku, kan? Jadi aku memintamu untuk menikah dengan putri kesayanganku. Seharusnya kamu tidak menolak sesuai dengan janjimu." Aksa terdiam, tapi dia juga menganggukkan kepalanya dengan ragu. Roman kemudian berbicara kepada keduanya tentang pernikahan mereka. Dan keduanya pun hanya bisa menerimanya dengan pasrah. Setelah membicarakan semuanya, Aksa pergi diantar oleh Dani. Mereka meninggalkan ruangan itu. Saat pintu tertutup, Stella menatap ayahnya dengan serius. "Ayah, apa yang sedang Ayah lakukan? Kenapa Ayah tega menjodohkan aku dengan pria seperti itu?" Stella mengekspresikan kekecewaannya dengan tegas. "Aku tidak keberatan jika Ayah mencarikan jodohku. Tapi bisakah Ayah mencari pria yang lebih baik dari pada dia?" lanjutnya. "Jika tidak bisa setara dengan kita, setidaknya carilah yang berada di bawah kita. Sedangkan dia jauh di bawah kita, Ayah..." Stella melepaskan semua uneg-unegnya dan melampiaskan kekesalan yang sudah dia tahan sejak tadi. Roman memandang putrinya dengan lembut, "Nak, tolong jangan protes. Lebih cepat lebih baik. Butuh waktu lebih lama bagi Ayah untuk melihat kebahagiaanmu di hari pernikahanmu. Tapi jika kamu memperlambatnya, takutnya sebelum kamu menikah Ayah sudah pergi." Saat mendengar itu, Stella menjadi diam. Perkataan dokter tentang kondisi kesehatan ayahnya tersirat di benaknya. "Nona, kami belum mendapatkan penawar racun untuk Tuan Yuan. Tapi kami sedang berusaha mencari tahu siapa pembuatnya. Karena hanya dengan bertemu dengan pembuatnya kita bisa mendapatkan penawar racunnya," kata dokter itu memandang Stella. Stella berpikir dan merenung. "Apakah tidak bisa melakukan cara lain selain menemukan penawarnya? Atau kalian bisa meraciknya sendiri?" Dokter menggelengkan kepalanya. "Tidak sembarang obat dan penawar bisa diracik dengan cepat tanpa pengetahuan yang pasti. Laboratorium juga tidak akan diizinkan membuat obat sendiri tanpa izin dari beberapa pihak pemerintah, karena itu termasuk ilegal." "Selain itu, juga membutuhkan waktu yang lama untuk mencari bahan dasar racun itu. Hanya dengan menanyakan pada pembuatnya, kita bisa mengetahuinya dengan lebih cepat," jelas dokter itu. Stella terdiam dan menatap dokter itu sejenak. "Apakah alat medis kalian tidak cukup untuk mengeluarkan racun itu?" Dokter menghela napas panjang. "Racun di tubuh Tuan Yuan sudah menyebar, sulit untuk mengeluarkannya. Selain itu, kami belum memiliki alat yang lebih canggih. Jika Anda ingin mengambil tindakan cepat, sebaiknya membawa Tuan Yuan ke rumah sakit luar negeri yang memiliki teknologi lebih canggih. Namun, saya juga tidak bisa menjamin keberhasilannya." Stella pun terdiam, sedih ketika memikirkan hal ini. "Lalu apa yang harus aku lakukan, Dok? Tolong selamatkan ayah saya," katanya dengan nada memohon. Dokter menatap Stella dan berkata, "Karena penawarnya belum ditemukan, saran saya adalah Anda harus membuatnya lebih senang. Apa yang dia inginkan sebisa mungkin Anda turuti. Terkadang pikiran juga menjadi pemicu buruknya kondisi tubuh." "Ada kata-kata yang sangat kasar jika saya mengatakan ini, namun ini adalah kata-kata dokter terdahulu. Jika tidak bisa menyembuhkan, setidaknya jangan membuat seseorang mati lebih cepat." Kata-kata itu terngiang di benak Stella. Saat mengingat pesan dokter itu, mau tidak mau Stella harus menyetujui permintaan terakhir ayahnya. "Mungkin dengan aku menerima permintaan terakhirnya, bisa mengulur waktu lebih lama agar dokter menemukan penawar untuk racun itu," gumam Stella dalam hati. Dia memandang ke arah ayahnya dan mengangguk. "Baiklah, aku mau menikah dengannya karena permintaan ayah. Tapi ayah harus sembuh." Mendengar itu, Roman tersenyum lega. Dia mengangguk dan hampir menangis saat menatap Stella. Dia pun memeluk putrinya dan berterima kasih padanya, meskipun dia tidak tahu bahwa Stella sebenarnya keberatan dengan permintaan itu. Tapi mau bagaimana lagi? Stella tidak bisa berbuat apa-apa.Pandangan Stella jatuh kepada Aksa.Dia menatapnya dengan serius dan berkata, "Apa yang sebenarnya terjadi? Tolong beritahu aku lebih banyak tentang semua ini. Siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa mereka memanggilmu Tuan Muda?"Aksa menatapnya sejenak sembari berkata, "Aku mengerti bahwa semua ini membingungkanmu. Sekarang duduklah, aku akan menjelaskan semuanya."Stella tampak ragu, namun akhirnya dia duduk di sofa itu sesuai perintah Aksa. Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi, seolah-olah menunggu pengakuan besar yang akan datang. Aksa pun duduk di dekatnya. Dia menghela napas, menatap mata Stella dalam-dalam, dan mulai menjelaskan, "Nama asliku adalah Theo. Dan Aksa adalah nama yang aku gunakan untuk menyembunyikan identitasku selama ini. Aku adalah Tuan Muda keluarga Fang."Stella menatap Aksa dengan mata yang lebar, berusaha memahami apa yang baru saja ia dengar. "Tuan Muda keluarga Fang? Kamu...?"Stella merasa kesulitan untuk mempercayai perkataan Aksa kali ini. Jika Aksa mengung
Tidak lama setelah itu, mereka melewati pemeriksaan keamanan dengan cepat dan langsung dibawa ke sebuah jet pribadi yang menunggu di landasan. Stella merasa seperti berada dalam mimpi yang tidak masuk akal. Saat mereka menaiki tangga jet pribadi itu, Stella merasa seolah-olah dunia yang selama ini dikenalnya telah berubah total.Ia masih memikirkan hubungan antara Aksa dan Liam saat mereka duduk di kursi jet pribadi itu."Aksa, kenapa kamu tidak pernah menceritakan tentang ini sebelumnya?" tanya Stella pelan setelah mereka duduk."Karena kamu tidak pernah percaya dengan apa yang aku katakan padamu," jawab Aksa singkat tanpa menoleh.Setelah mengatakan itu, Aksa langsung memejamkan matanya, untuk mengistirahatkan pikirannya.Stella yang ingin mengatakan sesuatu pun akhirnya mengurungkan niatnya.Jet pribadi itu pun mulai bergerak di landasan pacu, dan dalam beberapa menit, mereka sudah terbang di udara. Stella menatap keluar jendela, melihat pem
Aksa pun mengangguk dan berkata, "Wilayah barat kota Falone adalah aset terbesar yang dimiliki Keluarga Fang. Kamu tahu tentang ini, kan?" Stella berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Tentu saja ia tahu tentang hal ini. "Lalu kenapa?" Aksa menatap Stella dengan tatapan serius, "Keluarga Fang sedang mengalami krisis internal. Ada kesempatan untuk mendekati mereka dan mencari jalan agar kamu bisa memasuki wilayah barat tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku punya koneksi yang bisa membantu." Stella mengernyitkan alisnya, penasaran. "Koneksi apa? Bagaimana caranya?" "Aku mengenal salah satu anggota keluarga Fang yang punya pengaruh. Dia bisa memberikan izin masuk jika kita bisa meyakinkan dia bahwa kita punya tujuan yang sama," jawab Aksa. Stella yang mendengar hal ini tentu saja terkejut. Aksa mempunyai kenalan anggota keluarga Fang? "Jangan mencoba untuk membohongiku," kata Stella memasang raut wajah tidak percaya. "Aku tidak membohongimu. Aku berbicara jujur," kata Aksa meyakinka
Stella merasa bingung mendengar perkataan Aksa. Padahal selama ini Stella percaya sepenuhnya pada Aksa dan yakin Aksa tidak pernah berbohong padanya, namun kali ini ada keraguan yang menghampirinya. Stella selalu mempercayai semua yang dikatakan Aksa, kecuali yang berkaitan dengan kekayaan dan harapan besar. "Tidak bisa, Aksa. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana," kata Stella tegas. Aksa menepuk bahu Stella dengan lembut sambil tersenyum, "Aku punya cara untuk mengajakmu masuk ke sana dan melihat-lihat." "Bagaimana caranya?" Stella bertanya, ekspresinya penuh pertanyaan. Aksa memandang ke langit yang mulai gelap, dengan lampu-lampu kota yang bersinar terang dari tempat mereka berdiri. "Sekarang, kita pulang dulu. Kita bisa membicarakan hal ini saat berada di rumah." Stella menolak dengan tegas, "Aku tidak mau. Aku tidak ingin pulang." Ia teringat akan tujuannya datang ke tempat ini. Meski begitu, Aksa tetap meyakinkannya, "Tolong turuti keinginanku sekali ini saja
Aksa memandang Stella dengan ekspresi khawatir yang dalam. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa Stella akan mencapai titik terendah seperti ini. "Stella, kamu tidak boleh menyerah begitu saja. Setiap kehidupan pasti memiliki cobaan, namun setiap cobaan pasti memiliki solusinya. Kamu harus tetap berjuang," ucap Aksa dengan suara penuh keyakinan.Stella menatap Aksa dengan tatapan getir dan tertawa pahit, "Apa yang kamu tahu? Aku sudah berjuang sekuat tenaga, namun apa yang kudapatkan? Hanya celaan dan hinaan dari sekeliling. Aku hanya menerima luka dan kesedihan. Bagaimana mungkin kamu mengerti perasaanku?"Aksa merasa bersalah saat melihat ekspresi Stella. Selama ini, dia terlalu fokus pada kehidupannya sendiri sehingga melupakan bahwa Stella juga butuh perhatian dan kebahagiaan.Stella menatap Aksa dengan mata berkaca-kaca, "Aku sudah tak sanggup lagi, Aksa. Hidupku dipenuhi dengan penderitaan. Setiap hari aku tenggelam dalam kesedihan yang tak berkesudahan," desahnya sambil
Tiga tahun kemudian, banyak sekali perubahan yang telah terjadi. Kota Berlin, yang dulunya sedikit tertinggal, kini telah bertransformasi dengan cara yang menakjubkan. Dalam tiga tahun ini, perubahan yang terjadi sungguh luar biasa. Bangunan-bangunan tinggi menjulang di sepanjang jalan, menciptakan siluet perkotaan yang modern dan dinamis. Gedung-gedung baru ini, dengan desain arsitektur futuristik, memberikan sentuhan kemewahan dan kecanggihan yang belum pernah ada sebelumnya. Jalan-jalan yang dulu sepi kini dipenuhi lalu lintas yang ramai, mencerminkan geliat ekonomi dan aktivitas masyarakat yang semakin meningkat. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kota yang sekarang mengalami kemajuan ini dapat membuat semua orang yang tinggal di dalamnya merasa nyaman? Sore hari di makam keluarga Yuan, Stella duduk di dekat makam mendiang ayahnya. Langit yang perlahan berubah jingga memantulkan bayangan yang melankolis di sekelilingnya. Air matanya membasahi pipinya yang pu