Sepulang dari kantor April menunggu Erik menjemputnya. Sekitar lima menitan April berdiri menunggu Erik datang.
"Hai. Lama, ya, nunggunya?" sapa Erik sambil tersenyum kepada April. Kemudian Erik membukakan pintu mobilnya untuk April.
"Iya lama banget."
"Lama mana sama nunggu kepastian?"
April tertawa. "Apaan, sih. Nggak jelas."
Selama mengenal Erik. April merasa dia lelaki yang baik. Dia juga tidak terlalu kaku. Meskipun tidak sehumoris Sean, sih.
April menggelengkan kepala. Sean lagi, Sean lagi. Kenapa pikirannya selalu tentang Sean, sih? Padahal yang sedang di sebelahnya, kan, Erik.
"Jangan sampai magrib, ya, pulangnya, Rik."
Dia tidak mau Sean khawatir.
"Oke."
Erik merasa tadi sesi makan siang terlalu cepat karena diburu waktu. Jadi sekarang dia mengajak April untuk makan di luar lagi. April awalnya menolak karena sungkan selalu diajak makan melulu oleh Erik.
Bilangnya tidak e
“Kamu sama dia udah kenal lama? Dia temen kuliah kamu? Kok, sampai dikasih cincin segala?" tanya Sean saat makan bersama dengan April di ruang depan.April melotot tajam. Kenapa bocah ini kepo sekali? Sampai menginterogasinya seperti itu. Pacar juga bukan. Dasar mau tahu urusan orang saja.
“Makan yang banyak.”“Makasih, Tante.”Anha menyajikan makanan untuk Sean dan Eden. Tetapi bedanya Eden dizolimi oleh Sean dan disuruh makan di dekat trio bocil sekalian mengawasi mereka bermain.“Anak-anak itu, lho, makannya pada nggak dihabisin malahan sibuk main sama mainan barunya,” gerutu Anha mengomel kesal.Terlihat Ais dan Aim sedang bermain tamia barunya. Sedangkan Kalila duduk di depan boneka beruang besar sambil tertawa mengamati kedua kakaknya yang sengaha menabrakkan kedua tamia berwarna merah tersebut ke kakinya.“Emang cewek kalau udah jadi emak-emak galak dan suka ngomel-ngomel, ya, Om?” celetuk Sean membuat Hamkan yang berada di sebelahnya tertawa.“Iya. Udah biasa dia kayak gitu.”“Padahal dulu waktu belum nikah, mah, lemah lembut kayak putri keraton, ya.”Hamkan ikut mengangguk menyetujui. Sedangkan yang sedang diejek merengut sebal. Bisa
“Lebih baik telat menikah daripada menikah denganorang yang salah.”-Mayangsu***Tanpa terduga sama sekali tiba-tiba Sean menarik lengan April hingga wanita tersebut terhuyung ke belakang. Untung saja Sean sigap menangkapnya.April berdecak, ia hendak memaki namun belum sempat April berucap, tiba-tibaSean sudahmembungkam bibirnya dengan sebuah ciuman.Mata April membulat penuh. Se-Seanmenciumnya?Napas April tercekat. Lututnya terasa lemas. Bahkan April dapat merasakan napas Sean saat ini berembus menerpa pori-pori wajahnya. Terasa hangat dan teratur. Benar-benar menenangkan.Padahal ini bukan pertama kalinya April berciuman dengan seorang laki-laki. Tapikenapa jantungnya berdegub kencang seperti ini? Kenapa gelenyar di dada yang tengah ia rasakan, rasanya sama persis dengan gelenyar ketika pertama kali dia berciuman dengan Tara.Apakah dia jatuh cinta dengan Sean? Kal
Paginya. Setelah kejadian kemarin malam, April masih merasa malu bukan main. Hanya sekadar bertemu dengan Sean saja sampai tidak berani.Rasanya dia ingin menenggelamkan kepalanya sendiri ke dalam kloset, atau kalau tidak, ya, menggali kubangan tanah dan mengubur dirinya sendiri ke dalamnya.Mana bisa dia bersikap biasa saja setelah kejadian kemarin malam itu?“Pagi, Bebeb Sayang. Mau berangkat kerja, ya? Gimana kalau Mas Sean ganteng aja yang anterin?” sapa Sean ketika April baru menginjakkan kakinya di depan kamar.Tuh, kan. Dibegitukan saja jantungnya sudah dag-dig-dug. Memang wanita mana yang tidak bersemu ketika digoda seperti itu. Apalagi tadi Sean berkata 'Mas'. Seperti mereka sudah menjadi pasangan suami istri saja.“Bab Beb Bab Beb, Ndasmu,” gerutu April sambil memanyunkan bibirnya.Mendengarnya Sean malahan tertawa dan semakin gencar menggoda April lagi.“Wih, Ayang Bebeb pagi-pagi udah ngegas a
“Punya kamu, Pril?” April menggeleng. “Terus dari siapa?” Mata Dina berbinar penasaran.April menggeleng lagi. “Nggak tahu, Din.”Karena setahunya, ini memang bukan miliknya.“Jangan-jangan dari penggemar gelapmu, Pril? Buka-buka! Cepetan buka!” ucap Dina sangat excited.“Woah....”Mulut keduanya menganga membentuk huruf 'o' ketika mengetahui isi kotak beludru tersebut tak lain adalah cincin permata berwarna merah yang terlihat begitu cantik sekali.“Gila! Dari siapa, nih? Itu ada suratnya, Pril. Coba buka. Mungkin dari si pengirim.”Apri menaruh kotak cincin tersebut di atas meja. Tangannya menarik kertas kecil yang dilinting dansengaja diselipkan olehpemiliknya di tengah-tengah lingkaran cincin.Perlahan April membuka dan mulai membaca.To Tante Galak Kesayanganku. Sebenernya aku udah beli ini dari jauh-jauh hari. Tapi belum sempat
April dan Dina saling bertatapan. Orang tersebut tak lain adalah Erik.“Mau pulang.”April sedikit mengernyit, kenapa Erik seolah ada di mana-mana.“Yah, padahal hari ini aku pengin ngajak kamu pergi. Kamu beneran nggak ada waktufreehari ini?”April menggeleng mantap. “Nggak ada.Sorry. Lagian habis ini aku juga mau ambil motorku yang ada di bengkel.”Dina menggerutu dalam hati. April ini, pantas saja dia jomblo sampai sekarang. Dia tidak ahli dalam menggaet lelaki potensial seperti Erik. Kalau Dina jadi April. Pasti dia akan melakukan segala hal untuk membuat Erik jatuh hati kepadanya. Sayangnya saat ini Dina sudah memiliki tunangan yang sebentar lagi akan menikah.“Kamu serius nggak bisa?” pinta Erik lagi. “Sebentar aja. Nanti pulangnya aku anterin kamu ke bengkel, deh.”April masih menggeleng. Kemarin dia sudah menyisakan waktu untuk Erik sampai tidak jadi
Akhirnya April mengiyakan ajakan Erik. Palingan makan sebentar hanya butuh waktu setengah jam, bukan?“Mau makan apa?” tanya Erik kepadanya.April menatap ke sekitar. Di dekatnya ada berbagai tempat makanan seperti KFC, makanan jepang, pizza hut, dan lainnya.“Gimana kalau dimsum aja? Kayaknya enak.”“Oke kalau gitu.”April ikut berdiri mengantre bersama Erik. Padahal Erik sudah mengatakan biar dia saja yang memesan makanan tapi April tidak mau. Dia ingin menemani Erik.April menghela napas pelan. Dia tidak mempertimbangkan keramaian toko ketika tadi ditanyai oleh Erik ingin makan apa, ternyata kebetulan tempat makan ini sedang ramai pengunjung. Tahu begini dia memilih tempat makan yang sepi saja.“Capek? Kamu duduk aja nggak pa-pa.”April menggeleng, “Nggak ah, pengin ikutan ngantre sama kamu aja.”Erik tersenyum mendengarnya, kemudian ia kembali menatap ke ara
“Masih sebel, ya, sama orang yang di mall tadi?” tanya Erik mencoba memecah keheningan.April menengok ke samping. “Eh?”“Iya. Kayaknya sejak tadi kamu BT banget habis ketemu sama dia.”April tertawa sumbang. “Ah, nggak juga, kok. Aku emang agak gimana gitu, sih, sama orang yang terlalu pengin tahu urusan orang lain.”Erik mengernyit mendengarnya.“Why?”“Em… Cuma ngerasa nggak nyaman aja. Ibaratnya mereka nggak terlalu kenal sama kita tapi sampai tanya-tanya kapan nikah segala. Ya, memang, sih, menurut kebanyakan orang itu pertanyaan yang biasa aja. Padahal itu, kan, sebenernya privacy banget.“Coba bayangin kalau orang yang kita tanyai kapan nikah itu sebenernya di kehidupan sehari-hari mereka udah eneg ditanyai sanak saudaranya tentant ‘kapan nikah?’. Terus di luar rumah juga masih ditanyai lagi ‘kapan nikah?’ sa