"Kamu April, kan?" tanya Sean sambil menunjuk wanita yang sedang dicarinya.
Ya, iyalah April! Masak Milea. Huh! Sepertinya keponakan Pak Hans ini agak tidak waras, deh.
"Apa?!" jawab April dengan ketus. Namun yang diajak bicara malahan tersenyum senang.
"Eh, iya. Kalau nggak salah katanya kamu lagi nyewain rumah, ya? Nah, kebetulan aku lagi nyari tempat tinggal dan aku mau nempatin rumah kamu."
"Nggak! Nggak jadi aku sewain!" kata April sambil memutar badannya menghadap layar komputer lagi.
Sean mengernyitkan dahi. Loh, kenapa pula wanita galak ini jadi berubah pikiran seperti itu?
Lebih baik April tidak menyewakan rumahnya kepada bocah itu daripada dia mati muda karena darah tinggi.
"Kenapa? Bukannya tadi kamu bilang lagi nyari orang buat nyewa rumah kamu? Gimana kalau satu juta per bulan?" tawar Sean dengan saksama.
Lantaran April itu mata duitan. Mendengar nominal satu juta yang baru saja diucapkan oleh Sean pun membuatnya otomatis melirik ke arahnya.
Diam-diam April meneliti ulang. Sepertinya keponakan Pak Hans ini kaya juga. Bahkan April seolah dapat mencium bau yang paling enak di dunia dari tampang Sean. Yaitu bau harum dari pundi-pundi uang yang sebentar lagi akan membuat rekeningnya menjadi gendut seketika.
Baiklah. Kini saatnya April mengeluarkan bakat terpendamnya, yaitu bakat tawar menawar.
Bakat yang dari dulu dikuasainya sampai dapat membawanya menjadi ketua devisi pemasaran di kantor ini.
"Nggak, ah. Masak cuma satu juta, doang," ucap April dengan mimik wajah diimut-imutkan sebagai pelancar.
April memang jago bernegosiasi sampai mencapai kata deal dengan lawannya.
"Terus maumu berapa?" tanya Sean. Tampak April menatap ke arah atas untuk berpikir sejenak.
Sebenarnya Sean itu sudah kaya. Tanpa tawar menawar pun dia bisa saja langsung bayar. Tapi kurang seru jika tidak berdebat dengan wanita ini.
"Intinya aku nggak mau kalau cuma satu juta, doang. Naikin lagi, dong. Baru nanti aku lepas."
Sean mengeram sebal. April benar-benar seperti emak-emak di pasar saja. Kalau Abang-abang di pasar menjual baju seharga seratus ribu rupiah pasti April akan menawar barang tersebut sampai harganya terjun payung menjadi lima belas ribu. Pasti itu, pasti!
"Satu juta setengah, deh," ucap Sean berusaha menawar lagi.
April menggelengkan kepala.
"Satu juta tujuh ratus lima puluh ribu sebulan baru aku mau," jawab April sambil menatap manja kuku-kuku tangannya yang dicat dengan warna merah menyala.
"Gila! Mahal banget!" teriak Sean tidak terima. Menurut Sean, wanita ini tidak cocok menjadi ibu kost. Sepertinya dibanding menjadi ibu kost, April lebih cocok menjadi rentenir saja.
"Ya, udah kalau nggak mau, mah, nggak pa-pa. Masih banyak, kok, yang mau ngekost di rumahku," balas April dengan menampilkan ekspresi judesnya kembali.
Mana ada banyak yang mau menyewa rumahnya! Jelas saja tadi April berbohong.
Kalau banyak yang mau menyewa rumahnya pasti April tidak akan meminta bantuan Dina untuk mencarikan calon penghuni rumahnya.
Sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi nominal satu juta lima ratus ribu itu sudah banyak sekali. Tapi beginilah teknik merkating. Berpura-puralah seperti kita sedang jual mahal kepada klien supaya mereka mengira kita tidak terlalu membutuhkannya. Maka dengan begitu klien akan merasa tidak punya pilihan dan mereka yang akan merasa jika merekalah yang membutuhkan kita.
Teknik ini dinamakan teknik tarik ulur. Padahal, mah, aslinya April ngarep banget. Mungkin April akan menangis darah apabila Sean tidak jadi ngekost di rumahnya.
Kalau Sean pintar mencari tempat. Seharusnya dengan harga segitu Sean bisa mendapatkan kost-kostan premium dengan kamar mandi dalam serta fasilitas AC.
Hehehe. Selama ada kesempatan. Kenapa tidak dimanfaatkan saja. Benar, bukan?
"Apaan! Orang tadi waktu di lift aku denger, kok, kalau kamu nyewainnya cuma tujuh ratus ribu, doang."
April meringis. Sialan! Si bocah ini ternyata mendengar percakapannya dengan Dina.
"Yaudah. Karena aku ini baik hati dan tidak sombong, aku kasih kamu potongan diskon lima puluh ribu, deh, nggak pa-pa. Jadinya cuma satu juta tujuh ratus ribu, doang, khusus buat kamu."
Dina, yang sedari tadi diam-diam menyimak negosiasi dua orang di sebelahnya itu pun melongo. April benar-benar tega dalam hal tawar-menawar.
Kalau Dina jadi Sean. Jelas saja Dina tidak akan mau!
"Masak turun cuma lima puluh ribu, doang, sih."
April merengut. Dia, kan, orang kaya. Keponakannya direktur perusahaan ini. Masak kehilangan uang lima puluh ribu saja seperti kehilangan lima puluh juta.
"Pokoknya satu juta tujuh ratus ribu. Kalau mau berarti deal. Kalau nggak mau, ya, udah."
Karena Sean tidak mau ribet. Akhirnya Sean menyetujuinya saja. Daripada dia capek-capek keliling kompleks hanya sekadar untuk mencari tempat kost-kostan yang malahan cuma buang-buang waktunya saja.
"Oke, deh, nggak pa-pa satu juta tujuh ratus ribu. Bisa langsung dihuni, kan, itu rumah?"
April tersenyum girang mendengarnya. Dina yang menontonnya hanya mengelengkan kepala, heran.
Heran antara entah keponakannya Pak Hans itu terlalu kaya atau terlalu mudah untuk ditipu oleh April.
"Iya. Langsung bisa dihuni, kok, rumahnya."
"Oke. Nanti pulang kerja kita ke sana bareng. Aku masih ada urusan sama Kokoku."
April mengangguk senang. Matanya hijau membayangkan sebentar lagi pundi-pundi uang akan menghampirinya.
Ah, rasanya April ingin jam pulang kerja segera tiba. Ternyata hari ini tidak terlalu buruk. Tuhan masih menyimpan hadiah indah untuknya.
***
Sean mendorong kopernya dengan perlahan. Ia mengekori April yang tiba-tiba berhenti di salah satu rumah yang berwarna putih dengan pagar rumah berwarna cokelat tua.
"Dah, sampai!" kata April dengan girang sambil merentangkan kedua tangan seolah mempersembahkan rumahnya kepada Sean.
Dahi Sean mengerut ketika melihat rumah di depannya—yang tak lain akan ditempatinya nanti lantaran rumah itu agak berbeda dari rumah-rumah di sekitar.
Tampak gundukan anak tangga di depan pintu utama. Terasnya pun tampak dari lantai kayu. Sekilas mirip rumah minimalis Jepang, sih.
Di depan rumah terdapat halaman yang tidak terlalu luas. Halaman itu ditanami rumput jepang sehingga terlihat rapi, namun beberapa pot di pojokan pagar terlihat tidak teratur dengan tumbuhan mawar yang hampir mati tak terawat.
"Kok, bengong, sih. Ayo buruan masuk!" teriak April dengan nyaring menyadarkan Sean dari lamunannya. Sean mengangguk dan mengikuti April masuk ke dalam.
April menyibak kain gorden dan membuka jendela rumahnya supaya cahaya dari luar bisa masuk ke dalam.
Sean masih betah saja mengerutkan dahinya dari tadi. Yang tertangkap matanya dari rumah ini adalah lantai rumahnya terbuat dari kayu. Entah ini imitasi dari karpet atau asli pun Sean tak tahu.
Di sebelah kanan ruangan terdapat dapur minimalis, ada juga dua kamar tidur utama yang saling bersebelahan di depan pandangan Sean.
"Ruang makannya di mana? Terus ruang tamunya juga di mana?" tanya Sean keheranan karena ketika ia menatap ke atas, rumah ini hanya satu lantai.
"Ya, di sini," jawab April sambil menepuk-nepuk karpet bergambar doraemon yang saat ini sedang di dudukinya.
Sean membuka mulutnya tidak percaya. Rumah April ini benar-benar jelek sekali versi Sean—lantaran Sean sudah terbiasa hidup di rumah Omanya yang mewah.
Rumah ini lebih kecil daripada kamar Sean di Singapura.
"Ini, mah, kandang Ayam!" teriak Sean seketika.
***
Hai... Cuma mau ngingetin, nih. Jangan lupa berikan like & komennya, siapa tahu kalian kelupaan ninggalin jejak karena keasyikan baca. Makasih. (IG: Mayangsu_)
"Ini, mah, kandang Ayam!" teriak Sean seketika.April sebal. Keponakan Pak Hans ini terlalu banyak protes, deh."Ya, udah kalau nggak mau nggak usah tinggal di sini!" teriak April tak kalah kerasnya lantaran merasa kesal.Dengan cemberut Sean duduk di sofa panjang yang berada di depan dinding salah satu kamar. Ia pasrah. Mungkin sofa panjang ini digunakan April ketika dia menonton TV."Ini kamar kamu nantinya. Udah ada kamar mandinya di dalem," kata April ketika membuka kamar yang berada di belakang sofa tempat duduk Sean saat ini.Karena merasa penasaran, Sean pun berdiri untuk melihat isi dari kamar yang hendak ditempatinya nanti.Langsung saja dahi Sean mengeryit lagi. Kamar ini jelek, hanya ada satu lemari kayu berwarna cokelat, meja belajar di sebelahnya, dan tempat tidur yang untungnya sudah darispring bed."Oh, iya, aku kelupaan sesuatu. Satu juta tujuh ratus ribu itu belum termasuk biaya listriknya, loh, ya. Nan
“Gimana? Jadi nggak aku masakin tapi bayar dua puluh ribu?” ulang April lagi.“Yaudah, yaudah.”Cuma dua puluh ribu saja, kok. Enteng,batin Sean menyombongkan diri.Dengan perasaan senang April menyalakan kompornya yang sudah lama tidak ia gunakan.Masih bisa tidak, ya? Ah, untung saja masih mau menyala.Memang April membeli kompor dan mejikom. Jaga-jaga kalau dia kabur dari rumah maka dia masih bisa masak sendiri daripada beli makanan karena menurut April memasak sendiri lebih hemat.Sekiar sepuluh menitan April berkutat di dapur mungilnya tersebut untuk membuat dua mangkuk mie rasa ayam bawang dengan telur ceplok setengah matang.“Udah jadi!”April tersenyum senang dan menaruh dua mangkuk mie buatannya di atas meja lipat panjang. Mereka berdua saat ini seperti sedang makan di tempat makan lesehan saja. Sean menyantap mie telur ceplok setengah matang buatan April. Enak juga, sih.
Pagi ini April akan memasak sayur bayam dengan tambahan gambas yang dipotong-potong membentuk bulatan kecil, lalu dia juga akan membuat sambal korek serta lauk tempe goreng.April menengok ke belakang hanya untuk melihat sekilas Sean yang sedang bersandar malas di sofa. Makanan yang dimasaknya memang masakan rumahan sederhana. Apa nanti ketika dia membaginya dengan Sean anak itu mau memakan masakannya, ya?April mengedikkan bahunya cuek. Entahlah lidah orang kaya mau atau tidak memakan masakan seperti ini. Tapi kalau sampai Sean mencibir masakannya sebagai makanan ayam pasti April akan menghajar bocah itu betulan.“Halo, Chikaku, Sayang. Apa kabar? Udah lama, ya, kita nggak teleponan lagi. Hari ini kamufreenggak? Nanti malem nonton, yuk, cantik.”Perkataan Sean barusan membuat April yang semula sedang asyik-asyiknya mengulek sambal pun secara otomatis menoleh ke belakang. Oh, ternyata bocah itu sedang bertelepon ria dengan seorang
“Ta-Tara….”Mata April terbeliak saat melihat kedatangan Tara yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu rumahnya.Apalagi saat ini terlihat wajah tampak... tampak sangat marah.Dengan kesusahan April mencoba berdiri dari atas tubuh Sean. Dia merutuki kebodohannya sendiri. Kenapa pula dia bisa jatuh dan berakhir dengan posisi seperti itu. Pasti Tara akan berpikiran macam-macam.“Ta-Tara. Dengerin a-aku....”Bagaimana dia menjelaskan ini semua kepada Tara?Tara tampak mengeratkan rahangnya. Tangannya mengepal kuat-kuat. Ditatapnya Sean dengan pandangan mematikan.“Tar. Ini nggak seperti yang kamu bayang—”Belum sempat April menyelesaikan ucapannya. Dengan langkah cepat Tara menghampiri Sean yang sedang mengusap bajunya kotornya karena terjatuh. Tanpa ba-bi-bu Tara pun mencengkeram erat kerah baju Sean.“Siapa kamu? Apa yang kamu lakuin di rumah tunangan saya, hah?!&r
“Terkadang semesta memang sebercanda itu kepadamu. Kau dibuat jatuh hati sedangkan orang lain yang ditakdirkan untuk memiliki.”-By: Sean Ganteng***Sean memasang wajah masam, dia malas sekali meladeni keinginan pacarnya April itu untuk bicara empat mata dengannya.Awalnya Tara ingin mereka membahas hal ini di kamar Sean. Tapi Sean ngeri, takut diapa-apakan. Lagi pula aneh saja kalau dua lelaki dikurung dalam satu kamar. Bisa-bisa baku hantam.Jadi berakhirlah Sean di sini, duduk bersebelahan di sofa ruang tamu bersama Tara.“Lo ngomong apa? Gue ini sibuk,” ucap Sean yang malas berbasa-basi.April diam-diam menguping pembicaraan mereka dari balik pintu kamarnya. Dia menempelkan telinganya erat pada pintu kamar supaya dapat mendengar suara mereka lebih jelas lagi. Apa Sean hendak disidang Tara, ya?“Jadi kamu beneran nggak ada hubungan apa-apa s
“Yang lebih berat itu bukanlah cinta beda keyakinan. Melainkan cinta beda alam. Karena kau tidak akan bisa bertemu dia lagi.”-April***“Kak April. Kak Tara... Kak Tara... Dia kecelakaan,” ucap Bima dengan terbata membuat April membuka mulutnya tidak percaya.A-apa? Kecelakaan?Mendengar hal tersebut. Tubuh April pun kaku membeku, bahkan rasanya jantungnya seolah berhenti berdetak. Dia syok dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Nggak mungkin! Ini semua nggak mungkin. Kamu bohong, kan, Bim?” April mencengkeram kedua lengan.Kini mata April mulai terasa panas. Hingga akhirnya air matanya pun jatuh membasahi pipi.“Sekarang Taranya ada di mana?” tanya Papa sambil memegangi lengan April yang menangis sejadi-jadinya, ia mulai hilang kendali.Bima menyebutkan alamat rumah sakit serta ruangan tempat kakaknya saat ini berada.&ld
Bima: Kak April. Aku mau ngasih kabar kalau Kak Tara sudah berpulang ke rahmatullah siang tadi.Jantung April berdetak cepat ketika membaca pesan masuk dari Bima pada whatsapp-nya. Sampai-sampai April membaca pesan duka tersebut berulang-ulang, berharap ini semua hanyalah berhalusinasi.Be-benarkah Tara meninggal? Benarkah nyawa Tara tidak dapat diselamatkan?Buru-buru April menghubungi nomor Bima namun Bima menolak panggilan teleponnya.Nggak mungkin, kan? Pasti Bima bohong, kan?Kemudian beberapa detik setelahnya Bima mengirimi pesan lagi kepadanya.Bima: Maaf, Kak, nggak bisa angkat. Di sini lagi banyak orang. Semoga Kak April tetap kuat, ya, di sana.Bima: Oh, iya, Kak. Boleh nggak Kak, aku minta tolong sesuatu sama Kak April?Bima: Maaf, Kak, sebelumnya. Aku minta tolong banget sama Kak April supaya untuk sementara waktu Kakak jangan berkunjung/melayat dul
Entah pukul berapa Sean terbangun dari tidurnya. Mungkin sekarang hari sudah malam. Dan benar saja, ketika Seina menatap ke arah jam yang berada di dindingnya, ternyata ini sudah pukul setengah tujuh malam. Dengan kantuk yang masih tertahan. Sean berjalan gontai keluar kamarnya. Dia ingin mengecek keadaan April. Apakah dia baik-baik saja. Apakah mienya sudah dihabiskan? Sean meringis ketika melihat mi yang berada di atas nakas tidak disentuh April sama sekali. Mi itu sekarang sudah dingin dan mengembang parah. April terlihat tidur miring meringkuk seperti bayi dalam kandungan, mungkin dia kelelahan karena menangis. “Pril….” Sean menggusap pelan lengan April. Namun dahi Sean seketika mengerut ketika merasakan kulit April terasa hangat. Punggung tangan Sean menyentuh dahi April dengan perlahan, kemudian Sean berganti menyentuh kulit pada leher April. Sial! Dia demam! Tangannya memang hangat, tapi suhu pada dahinya panas se