Share

Bab 5 Lakukan Apa yang Kusuka

“Pulang kerja nanti, kita makan malam bersama.”    

Elive dibuat terkejut di tempatnya. Gadis itu menatap Zavian dengan pandangan penuh tanya. Namun, belum sempat Elive bertanya, Zavian lebih dulu meninggalkan gadis itu.

Elive melihat punggung Zavian yang menghilang dibalik lorong. Gadis itu menebak-nebak apa isi kepala atasannya tersebut.

Mengedikkan bahu tak acuh, Elive memilih kembali ke ruangannya. Mengerjakan pekerjaannya hingga jam pulang. Ia pikir Zavian hanya bermain-main saat mengajaknya makan malam bersama namun pria itu menepati perkataanya.

Gadis itu dibuat terkejut saat pergelangan tangannya tiba-tiba ditahan. Ia menoleh dan semakin terkejut saat menemukan Zavian.

Menoleh kanan dan kiri, gadis itu memastikan tidak ada siapa pun yang melihat mereka atau akan timbul kesalahpahaman. Dengan perlahan, Elive melepas genggaman atasannya tersebut.

“Kamu mau ke mana?” tanya Zavian.

“Saya mau pulang, Tuan,” jawab Elive.

“Bukankah sudah saya bilang kalau malam ini kita akan makan malam bersama?” tegas Zavian yang seketika membuat Elive ketakutan.

“Maaf, Tuan.” Hanya itu jawaban yang bisa Elive berikan.

“Lupakan, ayo pergi,” ucap Zavian. Pria itu berjalan di depan Elive dan segera diikuti gadis itu.

Elive tidak banyak protes saat Zavian membukakan pintu mobil untuknya atau bersikap begitu manis meski wajahnya tetap datar. Bahkan, Elive mencoba abai saat Zavian menarik kursi untuknya duduk, meski jantungnya berdebar dua kali lipat.

Gadis itu tidak bisa berkata apa pun karena sikap Zavian yang begitu tiba-tiba. Pria itu memperlakukannya seolah Elive seorang putri dari rekan kerjanya yang harus diperlakukan baik. Padahal, Elive ingat betul bagaimana pria itu abai terhadap keponakannya yang hampir tertabrak atau pada karyawan perempuan yang tadi siang tidak sengaja menumpahkan minuman ke kemejanya.

“Elive, kamu mau pesan apa?” tanya Zavian.

Elive menatap menu di tangannya dan seketika matanya membelalak lebar melihat harga yang tertera dalam setiap jenis makanan yang ada di sana.

“Jangan melihat harganya, saya yang akan membayar. Kamu cukup memesan apa yang mau kamu makan,” ucap Zavian seolah paham dengan gelagat Elive.

Gadis itu mencoba mencari makanan yang harganya paling murah. Meskipun Zavian mengatakan akan membayarnya, ia harus tetap berjaga-jaga. Siapa tahu Zavian hanya mengibulinya saja dan menyuruh Elive membayar sendiri. Kalaupun tidak seperti itu, Elive harus tetap tahu diri.

Setelah menyampaikan pesanannya, Zavian sempat menatap Elive sebentar sebelum menyampaikan apa saja yang ingin dirinya makan.

Elive sempat heran dengan banyaknya makanan yang dipesan Zavian. Dalam hati ia bertanya apakah orang kaya selalu membeli banyak makanan walau hanya memakannya sendirian.

“Elive, tenanglah. Kamu terlihat sangat tegang seolah saya adalah orang jahat,” ucap Zavian.

Elive menunduk kecil. “Maaf, Tuan,” jawab gadis itu.

“Bagaimana aku tidak tegang kalau dia saja menatapku begitu,” gerutu Elive yang untungnya tidak didengar Zavian.

“Tuan, apa saya boleh bertanya?” ucap Elive dan dianggukki Zavian.

“Dua hari ini, Tuan bersikap baik dengan saya. Mengantarkan saya pulang, mengobati luka saya, menjemput saya, dan sekarang mengajak saya makan malam bersama. Saya tidak tahu tujuan Tuan, tapi kalau ini dilakukan karena Tuan merasa bersalah atau berterima kasih karena saya sudah menyelamatkan keponakan Anda, Anda tidak perlu sampai sebegininya. Saya tidak pernah mengharapkan imbalan apa pun. Namun, kalau anda melakukan ini karena dendam dengan saya, tolong berhenti. Saya tidak akan sanggup membalas kebaikan Anda di masa depan,” beber Elive panjang.

Zavian menatap Elive cukup lama. Pria itu membiarkan pelayan menyajikan makanan mereka terlebih dahulu.

Begitu pelayan meninggalkan meja mereka, Zavian menghela napa pelan.

“Saya tidak melakukannya karena rasa bersalah atau bentuk terima kasih. Saya juga tidak melakukannya karena saya dendam dengan kamu. Saya melakukannya karena saya ingin,” jawab Zavian.

Elive diam, ia masih belum menemukan jawaban yang diinginkannya. Kenapa hanya ingin, padahal Elive dan Zavian bukan teman lama yang bertemu kembali sampai mereka memiliki alasan untuk menghabiskan waktu bersama.

“Makan makananmu, nanti dingin.”

Elive menatap steak di depannya, masih khawatir kalau-kalau ia harus membayarnya sendiri. Gadis itu melirik ke arah Zavian yang tengah sibuk memakan beef black pepper dari piringnya. Gadis itu memperhatikan pie dan puding di atas meja makan mereka dan dua gelas jus apel yang Elive duga rasanya akan sangat berbeda dengan jus yang biasa ia beli dari restoran pinggir jalan langganannya.

“Elive, kenapa masih diam? Kamu tidak suka dengan makanannya?” tanya Zavian.

“Ah, tidak. Saya suka,” jawab Elive sembari tersenyum. Gadis itu mulai memakan makanan dari piringnya dengan hikmad. Demi Tuhan, Elive akan berpikir berkali-kali hanya untuk merasakan steak. Lebihbaik dia membeli daging sapi mentah yang bisa ia olah sendiri dan diawetkan supaya bisa dimakan beberapa hari setelahnya.

“Apa yang biasanya kamu makan?” tanya Zavian, memecah keheningan diantara keduanya.

“Saya biasa memakan mie instan, Tuan. Semua jenis mie instan sudah pernah saya coba dan favorit saya adalah mie instan pedas. Saya juga suka dengan sayur, ikan, atau sesekali daging sapi. Semua makanan biasa saya makan,” jawab Elive sembari terkekeh.

“Saya suka sekali membeli sate usus setelah pulang kantor karena rasanya enak. Sebenarnya satenya dibuat dari daging ikan, tapi karena bentuknya seperti usus, jadi saya memanggilnya sate usus. Atau biasanya saya mengunjungi pasar pangan. Di sana banyak sekali jenis makanan yang luar biasa enak. Kaki ayam pedas, sosis pedas, daging cincang, sampai makanan penutup mulai dari pie, kue, puding, dan semuanya ada! Lebih menyenangkannya, harganya sangat murah dan tidak akan membuat kantong kita kering,” oceh Elive.

Zavian mengulum senyum mendengar Elive bercerita dengan semangat.

“Oh, saya juga punya makanan favorit. Anda harus mencobanya kapan-kapan. Di seberang kantor, masih cukup jauh sebenarnya. Kalau Anda berjalan ke arah utara, akan ada kedai makan rumahan. Dari luar saja sudah tercium aroma sedap. Saya suka sekali dengan sup di sana,” lanjut gadis itu.

“Ah, jadi ingin memakannya,” gumam Elive.     

“Kamu sering memakan makanan seperti itu? Bukannya tidak sehat?” tanya Zavian.

“Tuan, bagi orang-orang di kelas saya, makanan apa pun yang mengenyangkan dan murah akan lebih baik dibanding makanan sehat dan mahal. Namun, bukan berarti saya menyepelekan kesehatan, ya. Saya rajin minum susu, makan buah dan sayur, juga olahraga. Jadi, supaya seimbang,” jelas Elive.

Zavian tersenyum melihat ekspresi yang ditampilkan Elive. Perasaannya menghangat menyadari binar mata yang ditampilkan gadis di hadapannya tersebut. Maka, dengan berani, Zavian menatap lurus ke arah Elive. Memanggil gadis itu hingga bola mata keduanya saling bertemu.

“Elive, kamu mau tahu mengapa saya sebegininya denganmu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status