Elive yang sangat membenci pria cuek, tiba-tiba harus menikah dengan CEO-nya sendiri yang kelewat cuek. Gadis itu sempat merasa bahwa Zavian menikahinya hanya untuk balas dendam. Terlebih sikap Zavian yang masih cenderung memprioritaskan sahabatnya membuat Elive kesulitan menebak perasaan pria itu yang sebenarnya. "Jangan menikahiku jika hanya untuk mengujiku." "Kalau kau tidak juga bisa melepaskannya, lebihbaik aku yang dilepaskan!"
View MoreElive menunggu lampu berubah warna dengan sabar. Sesekali matanya melirik pada jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Masih ada cukup waktu sebelum ia sampai di kantor.
Kepalanya mendongak, suasana yang tadinya tenang mendadak runyam saat seorang anak kecil tiba-tiba berlari ke tengah jalan. Seorang anak lelaki yang asik mengambil bola sementara dari arah kanan muncul kendaraan bermotor dengan sangat cepat.
Napas Elive tertahan dan orang-orang hanya menjerit. Bahkan seorang pria yang jelas-jelas lebih dekat dengan anak lelaki tersebut tampak tak acuh.
Berdecak keras, Elive berlari menghampiri anak lelaki tersebut dan dengan gerakan cepat, mendekapnya hingga keduanya jatuh ke pinggir jalan raya.
Jantung Elive berdebar kencang dengan tubuh gemetar di pelukannya. Gadis itu masih mencoba menenangkan diri saat suara anak tersebut memenuhi indera pendengarannya, disusul orang-orang yang ramai mengelilingi keduanya.
“Kakak.”
Elive membuka mata dan segera bangkit dari posisinya. Melepas pelukan anak tersebut dan memastikan bahwa anak itu tidak terluka.
“Kau baik-baik saja?” tanya Elive.
“Aku baik, tapi Kakak terluka,” jawab anak tersebut sembari menunjuk lengan Elive.
Gadis itu melihat ke arah lengannya yang tidak tertutup apa pun. Lengan kirinya terluka sedikit di bagian siku, sementara lengan kanannya tampak parah. Kulitnya mengelupas hingga meninggalkan goresan panjang berwarna merah.
“Tidak masalah. Besok jangan begitu lagi, ya. Kalau jalanan sedang ramai biarkan saja bolanya. Kamu bisa mengambilnya setelah jalanan sepi,” ucap Elive mengabaikan perih yang mulai terasa.
“Terima kasih Kakak cantik. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.”
Elive tersenyum. Orang-orang sudah kembali pada kesibukannya masing-masing.
“Yuan.”
“Uncle!”
Elive ikut mendongak saat seorang pria memanggil nama anak lelaki tersebut. Matanya memicing menyadari fakta bahwa pria itu adalah pria yang hanya melihat anak kecil hampir tertabrak. Fakta mengejutkan lainnya, anak kecil tersebut adalah keponakannya dan pria itu tidak peduli sama sekali.
“Anda pamannya? Kenapa tadi anda diam saja? Anda membiarkan keponakan anda hampir tertabrak,” geram Elive.
“Saya tidak diam. Saya hendak menolongnya, tapi kamu lebih dulu. Kamu sendiri, kenapa begitu peduli dengan orang lain dan mengabaikan dirimu sendiri?” ucap pria tersebut sembari menatap lengan Elive yang berdarah.
“Rasa kemanusiaan dan empati,” jawab Elive ketus.
“Kalau begitu, sebagai bentuk rasa kemanusiaan dan empati seperti yang kamu katakan, saya akan bertanggung jawab atas luka milikmu,” ujar pria itu lagi.
“Tidak perlu. Saya tidak peduli dengan manusia seperti anda.”
“Ya sudah kalau tidak mau.” Pria tersebut bergidik sebentar sebelum meninggalkan Elive yang hanya mampu melongo di tempatnya. Dia tidak percaya sama sekali bahwa ada pria yang tidak memiliki empati sedikit pun.
Menghentakkan kaki kesal, Elive berjalan menuju kantornya. Namun, sebelum itu, ia mampir ke kamar mandi untuk membersihkan lukanya. Meringis kecil, Elive melihat lengan kanannya yang berwarna merah cukup panjang dan lebar. Beruntunglah perusahaan tempatnya bekerja benar-benar luar biasa. Menyediakan kotak pertolongan pertama di setiap kamar mandi dan lantai. Jadi, Elive bisa mengobati lukanya sebelum nanti membawanya ke rumah sakit agar tidak infeksi. Setidaknya, untuk sekarang gadis itu sudah membubuhkan obat merah dan mengoleskan salep luka sebelum membalutnya dengan perban.
Elive menatap cermin di kamar mandi tersebut. Membenahi tatanan rambutnya yang sedikit berantakan lantas kembali menggerutu. “Dasar pria tidak punya hati!”
Setelah puas, gadis itu menghela napas panjang dan segera berjalan menuju ruangannya. Ia menyapa beberapa karyawan dan menjawab satu persatu pertanyaan mengenai lengannya yang dibalut perban.
“Elive, ada apa dengan lenganmu?” tanya Hana. Sekretaris sekaligus sahabatnya di divisi produksi.
“Tadi ada anak kecil hampir tertabrak dan aku yah berubah menjadi pahlawan kepagian,” jawab Elive.
“Astaga. Kenapa tidak langsung ke rumah sakit? Bagaimana kalau infeksi?” heboh Hana.
“Aku masih cukup waras untuk terlambat di rapat besar hari ini. Hari ini kepala dewan akan mengumumkan kepala direktur yang baru.” Tangan Elive sibuk menyusun dokumen sembari menjawab ucapan Hana.
“Benar juga. Namun, ini bukan rapat penting yang harus dihadiri semuanya,” elak Hana.
“Tidak cukup penting untuk semuanya, tapi cukup penting untukku kalau masih ingin hidup di perusahaan ini,” jawab Elive.
Hana tertawa kecil menanggapi jawaban sahabatnya tersebut.
“Semangat calon manajer.” Hana menggoda Elive yang kemudian dihadiahi pukulan di lengannya.
“Sudah, aku mau pergi dulu.” Elive bangkit dari tempat duduknya. Meninggalkan Hana yang masih mencob menggodanya.
Gadis itu duduk sesuai dengan jabatannya sebagai kepala divisi produksi. Ia menyapa sekilas kepala divisi personalia dan pemasaran yang berada di samping kanan kirinya.
Elive kembali fokus saat kepala dewan mulai bersuara. Memberikan sambutan dan memperkenalkan seorang pria yang berjalan ke mimbar.
“Perkenalkan, Zavian Lee, kepala direktur yang baru di perusahaan ini yang sudah terpilih secara sah melalui rapat dewan minggu lalu.”
Retina Elive membelalak seketika. Badannya sedikit menegang mengetahui fakta bahwa kepala direktur yang baru adalah pria yang beberapa jam lalu sudah ia marahi. Pria itu adalah pewaris kekayaan Lee Corp dan sekarang menjadi direktur utama perusahaan tempatnya bekerja.
Elive menertawakan nasibnya dalam hati. Berharap bahwa kisahnya berjalan baik seperti dalam web series yang selalu dirinya baca tentang karyawan dan CEO. Setidaknya, ia masih bisa bekerja di perusahaan tersebut.
“Tampan sekali ya. Dia anak kedua dari Tuan Lee. Wajahnya benar-benar seperti pangeran. Sesuai dengan panggilannya, ice prince.”
Elive tidak sengaja mendengar percakapan dua perempuan yang duduk di depannya. Entah mereka dari bagian mana, Elive tidak peduli. Gadis itu hanya ingin mengatakan bahwa pria yang ada di depannya sana sangat tidak punya hati. Pria yang bahkan hampir mencelakakan keponakannya sendiri itu tidak berhak punya penggemar.
Ice prince? Benar, pria itu berhati batu, berhati dingin, hilang rasa.
Menghembuskan napas kasar, Elive akhirnya dapat bernapas lega saat pertemuan tersebut akhirnya berakhir.
Dengan gerakan cepat dan cenderung terburu-buru, Elive segera beranjak dari tempat duduknya dan mencoba keluar, meski badan mungilnya sangat tidak bisa diajak bekerjasama di situasi seperti ini. Sebab, setiap ia ingin maju, ia pasti terdorong lagi ke belakang.
“Hai, orang yang punya rasa kemanusiaan dan empati.”
Elive menatap wanita di depannya dengan berani, tidak gentar meski tatapan tajam seolah menghunus dadanya.“Sombong sekali kamu. Awas saja, aku pastikan kamu menangis darah, menyesal karena sudah melawanku hari ini.” Wanita itu meninggalkan kursinya, termasuk Elive yang hanya menatap punggungnya.Jika boleh jujur, badan Elive sekarang bergetar takut. Ia tidak seberani itu melawan orang-orang kaya. Elive jelas tau kekuatan orang-orang berada itu.Berkali-kali menghembuskan napas, Elive meremat kedua tangannya, meninggalkan kafetaria. Sengaja berjalan perlahan, menikmati suasana sore. Isi kepala Elive kembali teringat ucapan wanita berambut pendek yang masih belum ia ketahui namanya. Jika benar Zavian dan wanita itu akan menikah, seharusnya Zavian tidak masuk dan memaksa membuka pintu yang Elive tutup sejak lama.Menatap langit sore, Elive mengeratkan genggaman tangannya pada tas tangan miliknya. Elive merasa tidak
Elive menghela napas lelah. Emosinya benar-benar diuji, ia tetap harus menjaga batasannya atau nama baiknya akan semakin dipertaruhkan. Belum lagi statusnya sebagai kepala divisi menambah beban tersendiri untuknya. Rasanya, Elive ingin berteriak kencang, mengumpati seluruh karyawan yang berbicara dibelakang soal dirinya. Namun, Elive cukup sadar bahwa tindakan itu akan menjadi hal bodoh yang menyerangnya di masa depan.Memejamkan mata sejenak, Elive menarik dan menghembuskan napas, kemudian berlalu menuju rest room untuk membuat kopi. Tidak peduli kalau asam lambungnya akan naik, Elive butuh sesuatu untuk menenangkannya.Melamun, Elive tidak sadar jika air dalam gelasnya tumpah dan berhasil mengenai tangannya, menyadarkan Elive dari lamunannya. Ia meringis kecil, dalam hati berteriak kesal pada dirinya sendiri. Akhirnya, Elive batal menikmati secangkir kopi panas, ia memilih mengambil minuman bersoda dari lemari pendingin.Wanita itu duduk sambil menyesap soda di tangannya, mengabaika
Zavian tersenyum ke arah Elive yang sedikit terkejut melihat kedatangannya. Wanita itu memiringkan kepala, tampak lugu dan lucu hingga Zavian menjerit dalam hatinya. Jika tidak ingat saat ini dirinya berada di luar ruangan, Zavian ingin berteriak kencang, mengatakan pada siapapun tentang luar biasanya perempuan yang dirinya cintai.Menghampiri Elive, Zavian menuntun wanita itu menuju mobilnya dan mereka meninggalkan pelataran rumah Elive setelahnya.Seperti biasa, tidak ada yang bersuara dari keduanya. Elive sibuk menatap ke luar jendela, sedangkan Zavian sesekali melirik, memperhatikan gerak-gerik Elive. Wanita itu terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan. Hingga Zavian bertanya pada Elive dan hanya hela napas panjang jawabannya.Mencoba mengingat-ingat yang terjadi, Zavian seperti melewatkan sesuatu. Pria itu menautkan dua alisnya, menciptakan kerutan dalam pada dahinya. Ia memaksa kepalanya agar mengingat kebodohan apa yang sudah dirinya lakukan.Saat mengingatnya, mata pri
“Zavian!” teriakkan Tuan Lee membuat meja makan seketika hening. Namun, Zavian tdak gentar. Ia menatap ayahnya tidak kalah datar, tidak takut sama sekali atas ancaman pria paruh baya itu.Zavian dengan sopan menyelesaikan makanannya kemudian mengajak Yuan beranjak lebih dulu dari meja makan. Sementara, Vanesia merasa harga dirinya direndahkan. Ia tidak terbiasa dengan penolakkan. Semua orang menginginkannya, tapi Zavian justru menolaknya dan Vanesia tahu hal ini karena wanita itu.Zavian masuk ke kamarnya, sibuk menunggui Yuan yang sedang bermain game dari ponselnya. Pria itu menatap kosong tembok di depannya, hingga tidak lama setelahnya, Jully ikut masuk ke dalam kamar adiknya tersebut. Ibu satu anak itu menatap adiknya kemudian menghela napas panjang.“Tempo hari, aku bertemu dengan Elive. Dia perempuan yang sangat ramah dan apa adanya. Aku suka saat dia mengeluarkan energi positif, sangat menenangkan,” ucap Jully, membuat Zavian terkejut. Ia baru tahu kalau kakaknya tersebut sudah
Zavian mengusap kepala Elive yang saat ini merebahkan tubuhnya di sofa dengan pahanya sebagai bantal. Wanita itu memejamkan mata, entah tidur atau tidak, avian hanya berusaha menenangkan wanita itu. Elive masih tidak mau bicara apapun dan Zavian tidak akan tinggal dam untuk tidak tahu menahu soal perempuan yang ia cintai.Saat merasa Elive sudah tertidur, Zavian mengangkat tubuh wanita itu perlahan dan memindahkannya ke kamar. Menutup pintu kamar kemudian merogoh saku pakaiannya. Zavian menghubungi sekretarisnya, memintanya mencari informasi yang terjadi hari ini. Begitu mendengar cerita sekretarisnya, Zavian menggenggam ponselnya erat. Ia benar-benar tidak bisa meremehkan Vanesia. Wanita itu mengincar Elive dan bukan dirinya. Vanesia pasti tahu bahwa tidak mudah mengalahkan Zavian. Jadi, wanita itu menyerang Elive yang dianggapnya lemah.“Kau salah memilih lawan, Vanes.”Zavian beranjak dari tempat duduknya saat mendengar suara dari kamar Elive. Wanita itu terbangun, menatap Zavian d
Elive berangkat ke kantor seperti biasa. Ia hendak ke ruangan miliknya saat tiba-tiba beberapa orang melihat ke arahnya. Hal itu membuat Elive heran dan segera mendekat ke arah papan pengumuman. Matanya membelalak kaget saat melihat foto-foto dirinya tampak diantar pulang oleh Zavian. Dalam foto itu terlhat seolah dirinya memaksa pria itu dan membuat semua oran melihat sinis ke arahnya.Elive mencabut foto-foto itu dengan cepat, mengabaikan para karyawan yang sudah menggunjingnya terang-terangan. Wanita itu memilih menuju ruangannya, walau ia tahu kalau hal itu tidak akan cukup membantu. Semua orang tampak menghakiminya dan Elive tidak suka. Ia bahkan belum memuai hubungannya dengan Zavian, tapi semua orang sudah ikut campur.Menghela napas panjang, Elive membiarkan karyawan lain menyindirnya. Mengatakan bahwa dirnya tidak pantas, mencurigai bahwa posisinya sekarang berkat menggoda atasan, bahkan menyimpulkan sesukanya kalau Elive masuk ke perusahaan karena bantuan orang dalam.Ia sak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments