"Elive, mau tinggal bersamaku saja?" Pertanyaa Zavian membuat Elive terkejut di tempatnya namun segera menetralkan diri. Gadis itu mengabaikan pertanyaan atasannya dan menyuguhkan makanan untuk pria itu
“Tuan, ini susu dan roti isi untuk Anda,” ucap Elive.
Zavian segera duduk di depan pantry dan melahap roti isi buatan Elive, sementara gadis itu menunggu dengan sabar. Membiarkan Zavian makan dengan tenang. Lagipula, kalau mereka terlambat, Elive bisa membuat alasan dengan menggunakan bosnya tersebut.
“Sudah selesai,” ucap Zavian.
Dengan cekatan, Elive mengambil susu dan tempat roti isi yang sudah habis isinya tersebut. meletakannya di wastafel dan mengajak Zavian untuk berangkat atau mereka akan terlambat.
“Tuan, nanti saya turun agak jauh dari kantor tidak apa-apa. Saya tidak mau ada gosip menyebar tentang saya,” jujur Elive.
“Saya akan ke parkiran bawah khusus kendaraan direksi. Jadi, kamu tidak perlu khawatir akan ada karyawan yang memergoki kamu,” jawab Zavian santai.
Keduanya akhirnya sampai di kantor dan turun dari kendaraan roda empat tersebut.
Elive tidak lupa mengucapkan terima kasih dan segera menuju ruangannya. Ia masih belum sepenuhnya mengerti tentang apa yang terjadi sekarang.
Atasanya tiba-tiba mengantarnya pulang, mengobati lukanya, bahkan menjemputnya di rumah. Jika Elive adalah pemeran utama perempuan dalam cerita yang sering ia baca, ia pasti sudah sangat bahagia. Sayangnya, Elive masih cukup waras bahwa apa yang terjadi sekarang dikarenakan balas budi dari san atasan. Meskipun Zavian masih bersikap begitu dingin, respon yang diberikan pria itu sangatlah hangat.
Elive bisa merasakan ketulusan dari sikap Zavian. Gadis itu mendadak merasa bersalah karena sudah bepikiran bukur tentang keturunan Lee tersebut.
Begitu masuk ke ruangannya, Elive segera fokus dengan pekerjaannya hingga jam makan siang tiba. Gadis itu menuju kantin bersama Hana. Sambil berbincang kecil, mereka membawa nampan berisi makan siang tersebut ke salahsatu meja yang ada di ujung. Beruntunglah karena kantin tidak begitu ramai, sebab kebanyakan karyawan akan memilih kantin yang ada di lantai tiga. Sangat sedikit yang mmeilih kantin di lantai satu.
“Maaf, Tuan Zavian. Saya sungguh tidak sengaja.”
Hana dan Elive menoleh, ia melihat seorang karyawan tengah membungkuk di depan Zavian.
“Bagaimana bisa karyawan yang sangat ceroboh sepertimu diterima kerja di perusahaan ini,” ucap Zavian dingin.
“Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja. Sungguh, saya tersandung kaki saya sendiri.”
“Tentu saja. Kamu berjalan tidak fokus dengan lajurmu, tapi sibur tebar pesona,” sarkas Zavian.
“Maaf, Tuan.”
“Berikan karyawan ini surat peringatan. Dia beruntung karena menabrakku. Kalau dia menabrak rekan kerjaku, aku pastikan dia langsung dipecat dari tempat ini,” ucap Zavian dingin dan segera berjalan melewati karyawan tersebut.
Elive dan Hana yang melihat kejadian tersebut hanya saling berpandangan. Bergidik ngeri saat melihat tatapan Zavian yang begitu dingin.
“Kalau aku di posisi gadis itu, aku sudah menangis,” ucap Hana.
“Dia terlalu dingin. Benar, bahwa sebagai atasan kita harus bertindak tegas, tapi sikapnya sangat dingin. Dia bahkan tidak melihat karyawan tersebut. Walaupun sedang marah, setidaknya dia bisa mengatakan kalimat yang lebih halus,” ujar Elive.
“Dunia bisnis tidak mengajarinya untuk bersikap seperti itu, Elive. Belum lagi dia adalah seorang atasan, pasti dia terbiasa dibentuk menjadi pribadi yang tegas dan keras sampai berinteraksi dengan orang lain pun harus seperti itu,” bela Hana.
“Dunia bisnis tidak mengajari kemanusiaan dan empati.” Elive sibuk mengunyah makanannya. Mengabaikan Hana yang masih mengoceh, mencoba membela Zavian.
Elive kembali kehilangan nilai positif yang sebelumnya ia berikan pada Zavian. Ia pikir, Zavian benar-benar memiliki sisi hangat, meski hanya sedikit. Nyatanya, pria itu sama sekali tidak memiliki sikap itu.
Sifat sombong dan angkuh melekat kuat dalam diri Zavian hingga Elive semakin kehilangan minat. Gadis itu bahkan hanya mengangguk kecil dan tidak repot-repot menunjukkan wajah ramahnya seperti Hana saat mereka menyapa rombongan Zavian di meja makan.
Elive tidak tahu bahwa sikapnya tersebut berhasil membuat fokus Zavian terpecah. Gadis itu melanjutkan berjalan tanpa penasaran apa yang terjadi di belakangnya.
Elive memilih ke kamar mandi terlebih dahulu sementara Hana langsung menuju ruangan. Begitu keluar dari kamar mandi, Elive dikejutkan dengan Zavian yang tiba-tiba berdiri di samping pintu masuk.
“Tuan Zavian, ada yang bisa saya bantu?” tanya Elive.
Zavian menegakkan tubuhnya sebentar kemudian menatap Elive dengan sorot mata datarnya.
“Pulang kerja nanti, kita makan malam bersama.”
Elive menatap wanita di depannya dengan berani, tidak gentar meski tatapan tajam seolah menghunus dadanya.“Sombong sekali kamu. Awas saja, aku pastikan kamu menangis darah, menyesal karena sudah melawanku hari ini.” Wanita itu meninggalkan kursinya, termasuk Elive yang hanya menatap punggungnya.Jika boleh jujur, badan Elive sekarang bergetar takut. Ia tidak seberani itu melawan orang-orang kaya. Elive jelas tau kekuatan orang-orang berada itu.Berkali-kali menghembuskan napas, Elive meremat kedua tangannya, meninggalkan kafetaria. Sengaja berjalan perlahan, menikmati suasana sore. Isi kepala Elive kembali teringat ucapan wanita berambut pendek yang masih belum ia ketahui namanya. Jika benar Zavian dan wanita itu akan menikah, seharusnya Zavian tidak masuk dan memaksa membuka pintu yang Elive tutup sejak lama.Menatap langit sore, Elive mengeratkan genggaman tangannya pada tas tangan miliknya. Elive merasa tidak
Elive menghela napas lelah. Emosinya benar-benar diuji, ia tetap harus menjaga batasannya atau nama baiknya akan semakin dipertaruhkan. Belum lagi statusnya sebagai kepala divisi menambah beban tersendiri untuknya. Rasanya, Elive ingin berteriak kencang, mengumpati seluruh karyawan yang berbicara dibelakang soal dirinya. Namun, Elive cukup sadar bahwa tindakan itu akan menjadi hal bodoh yang menyerangnya di masa depan.Memejamkan mata sejenak, Elive menarik dan menghembuskan napas, kemudian berlalu menuju rest room untuk membuat kopi. Tidak peduli kalau asam lambungnya akan naik, Elive butuh sesuatu untuk menenangkannya.Melamun, Elive tidak sadar jika air dalam gelasnya tumpah dan berhasil mengenai tangannya, menyadarkan Elive dari lamunannya. Ia meringis kecil, dalam hati berteriak kesal pada dirinya sendiri. Akhirnya, Elive batal menikmati secangkir kopi panas, ia memilih mengambil minuman bersoda dari lemari pendingin.Wanita itu duduk sambil menyesap soda di tangannya, mengabaika
Zavian tersenyum ke arah Elive yang sedikit terkejut melihat kedatangannya. Wanita itu memiringkan kepala, tampak lugu dan lucu hingga Zavian menjerit dalam hatinya. Jika tidak ingat saat ini dirinya berada di luar ruangan, Zavian ingin berteriak kencang, mengatakan pada siapapun tentang luar biasanya perempuan yang dirinya cintai.Menghampiri Elive, Zavian menuntun wanita itu menuju mobilnya dan mereka meninggalkan pelataran rumah Elive setelahnya.Seperti biasa, tidak ada yang bersuara dari keduanya. Elive sibuk menatap ke luar jendela, sedangkan Zavian sesekali melirik, memperhatikan gerak-gerik Elive. Wanita itu terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan. Hingga Zavian bertanya pada Elive dan hanya hela napas panjang jawabannya.Mencoba mengingat-ingat yang terjadi, Zavian seperti melewatkan sesuatu. Pria itu menautkan dua alisnya, menciptakan kerutan dalam pada dahinya. Ia memaksa kepalanya agar mengingat kebodohan apa yang sudah dirinya lakukan.Saat mengingatnya, mata pri
“Zavian!” teriakkan Tuan Lee membuat meja makan seketika hening. Namun, Zavian tdak gentar. Ia menatap ayahnya tidak kalah datar, tidak takut sama sekali atas ancaman pria paruh baya itu.Zavian dengan sopan menyelesaikan makanannya kemudian mengajak Yuan beranjak lebih dulu dari meja makan. Sementara, Vanesia merasa harga dirinya direndahkan. Ia tidak terbiasa dengan penolakkan. Semua orang menginginkannya, tapi Zavian justru menolaknya dan Vanesia tahu hal ini karena wanita itu.Zavian masuk ke kamarnya, sibuk menunggui Yuan yang sedang bermain game dari ponselnya. Pria itu menatap kosong tembok di depannya, hingga tidak lama setelahnya, Jully ikut masuk ke dalam kamar adiknya tersebut. Ibu satu anak itu menatap adiknya kemudian menghela napas panjang.“Tempo hari, aku bertemu dengan Elive. Dia perempuan yang sangat ramah dan apa adanya. Aku suka saat dia mengeluarkan energi positif, sangat menenangkan,” ucap Jully, membuat Zavian terkejut. Ia baru tahu kalau kakaknya tersebut sudah
Zavian mengusap kepala Elive yang saat ini merebahkan tubuhnya di sofa dengan pahanya sebagai bantal. Wanita itu memejamkan mata, entah tidur atau tidak, avian hanya berusaha menenangkan wanita itu. Elive masih tidak mau bicara apapun dan Zavian tidak akan tinggal dam untuk tidak tahu menahu soal perempuan yang ia cintai.Saat merasa Elive sudah tertidur, Zavian mengangkat tubuh wanita itu perlahan dan memindahkannya ke kamar. Menutup pintu kamar kemudian merogoh saku pakaiannya. Zavian menghubungi sekretarisnya, memintanya mencari informasi yang terjadi hari ini. Begitu mendengar cerita sekretarisnya, Zavian menggenggam ponselnya erat. Ia benar-benar tidak bisa meremehkan Vanesia. Wanita itu mengincar Elive dan bukan dirinya. Vanesia pasti tahu bahwa tidak mudah mengalahkan Zavian. Jadi, wanita itu menyerang Elive yang dianggapnya lemah.“Kau salah memilih lawan, Vanes.”Zavian beranjak dari tempat duduknya saat mendengar suara dari kamar Elive. Wanita itu terbangun, menatap Zavian d
Elive berangkat ke kantor seperti biasa. Ia hendak ke ruangan miliknya saat tiba-tiba beberapa orang melihat ke arahnya. Hal itu membuat Elive heran dan segera mendekat ke arah papan pengumuman. Matanya membelalak kaget saat melihat foto-foto dirinya tampak diantar pulang oleh Zavian. Dalam foto itu terlhat seolah dirinya memaksa pria itu dan membuat semua oran melihat sinis ke arahnya.Elive mencabut foto-foto itu dengan cepat, mengabaikan para karyawan yang sudah menggunjingnya terang-terangan. Wanita itu memilih menuju ruangannya, walau ia tahu kalau hal itu tidak akan cukup membantu. Semua orang tampak menghakiminya dan Elive tidak suka. Ia bahkan belum memuai hubungannya dengan Zavian, tapi semua orang sudah ikut campur.Menghela napas panjang, Elive membiarkan karyawan lain menyindirnya. Mengatakan bahwa dirnya tidak pantas, mencurigai bahwa posisinya sekarang berkat menggoda atasan, bahkan menyimpulkan sesukanya kalau Elive masuk ke perusahaan karena bantuan orang dalam.Ia sak
Elive mengunjungi salahsatu kafe setelah pekerjaannya selesai. Ia memesan minuman dan makanan ringan. Wanita itu tengah sibuk memakan pesanannya ketika mendengar seseorang meneriakkan namanya. Saat menoleh, Elive melihat Yuan tersenyum lebar kemudian berlari ke arahnya. Elive membalas senyumannya, cukup terkejut ketika Yuan tiba-tiba memeluknya erat. Beruntung karena Elive bisa menahan beban tubuh Yuan.Elive mengangkat anak itu di sebelah kursi miliknya, menyapa sebentar pada wanita berambut pendek yang Elive duga merupakan ibu Yuan. Wanita itu tersenyum ramah ke arah Elive dan mendadak ia merasa kecil karena wanita berambut pendek itu tampak mewah.Dari pakaian dan tas yang dibawanya, Elive bisa mendua harganya sangat fantastis. Harusnya ia tidak terkejut mengingat wanita ini putri keluarga Lee. Ia menjadi salahtingkah, takut kalau sikapnya bisa menjadi bumeran dan ia harus beruruan lebih banyak dengan para orang tua ini. Padahal, sekarang saja ia sudah berhubungan dengan keluarga L
Elive keluar dari ruangannya. Perasaannya menjadi buruk setelah kejadian tadi. Ia tidak mau terlibat dengan orang-orang kaya. Belum menjadi kekasih Zavian saja, Elive sudah mendapat ancaman, apalagi jika sudah menjadi kekasihnya. Namun, sepertinya Elive hanya terlalu percaya diri. Mungkin Zavian hanya penasaran dengannya dan tidak benar-benar menyukainya. Lagipula, orang kaya seperti Zavian mana mungkin menyukai wanita biasa sepertinya.Menghela napas panjang, Elive melewati lorong, dikejutkan dengan kedatangan Zavian yang tiba-tiba. Pria itu menggenggam pergelangan tangan Elive, mengajak wanita itu ke ruangannya. Elive tidak sempat menolak, ia takut, pun ia ingin mendengarkan penjelasan Zavian tentang wanita itu. Jika boleh jujur, Elive penasaran. Setelah Zavian menutup pintu, keduanya duduk di sofa ruangan tersebut. Zavian segera membuka suara, menjelaskan pada Elive tentang Vanesia. Pria itu sesekali melihat ekspresi Elive, mencoba menebak apa yang dipikirkan wanita itu. Ia tidak
Vanesia menatap Zavian dengan kening bertaut. Ia tidak menyukai ucapan pria itu. Zavian tampak memberontak, menolak keberadaannya dan Vanesia tidak mau. Pria itu harus menurut, harus elalu diampingnya, dan menjadi miliknya apapu yang terjadi. Vanesia akan melakukan apapun agar Zavian hanya menjadi miliknya, sekalipun harus mengorbankan diri sendiri.Berdiri dari tempat duduknya, Vanesia menatap Zavian nyalang.“Kenapa kamu bicara begitu? Kamu tidak lupa kalau orang tua kita sepakat menjodohkan kita jika tidak ada pilihan untuk menjadi pasangan atau kamu tidak tertarik memiliki pasangan, bukan? Seharusnya kamu mempersiapkan diri untuk hidup bersamaku,” ucap Vanesia.“Kenapa kamu terlalu percaya diri? kenapa kalian tidak bertanya padaku apakah aku mau atau tidak. Aku berhak menolak dan kau berhak memaksa. Aku berhak memilih pasanganku sendiri, maka lakukan peranmu dan jaga batasan karena aku tidak suka saat oranglain mengusikku,” jawab Zavian lantang kemudian meninggalkan ruangannya. Ia