Share

Bab 3 Perihal Suka

Uncle!”

Pintu yang terbuka dengan teriakan anak kecil membuat Elive serta Zavian segera bangun dari tempat duduknya.

“Oh! Kakak cantik yang tadi pagi! Halo, Kakak. Apa tangan Kakak sudah diobati?” tanya anak tersebut.

“Halo, sudah. Tangan kakak sudah diobati dan baik-baik saja. Kamu baik-baik saja?” Elive merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan anak tersebut.

“Sudah. Yuan tidak terluka. Tadi Yuan makan es krim dan pizza, jadi sudah sembuh!” Anak itu bercerita dengan semangat.

“Pintar.” Elive mencubit pelan pipi anak lelaki bernama Yuan tersebut.

“Yuan, kenapa kamu masih di sini? Kakek belum pulang?” tanya Zavian dan dibalas gelengan oleh anak tersebut.

“Kakak cantik, nama Kakak siapa?” tanya Yuan.

“Nama Kakak Elive,” jawab Elive sembari tersenyum.

“Oke, Kak Eli!”

Elive kembali tersenyum. Gadis itu tidak sadar bahwa sedari tadi Zavian memperhatikannya. Tidak melepas pandangannya kala gadis itu tersenyum. Meskipun wajahnya tetap datar tanpa ekspresi.

“Apa masih ada yang harus saya lakukan Tuan Zavian? Jika tidak, saya pamit pulang,” ucap Elive.

“Pulang dengan saya.”

“Eh? Tapi,” kaget Elive.

“Tidak ada tapi. Cukup diam dan ambil barang-barang kamu. Tunggu di depan kantor, saya akan mengambil mobil saya terlebih dahulu.” Zavian berlalu dari hadapan Elive tanpa menunggu jawaban gadis itu. Sementara Elive hanya menatap kaget, sampai akhirnya ia sadar dan segera berlari ke ruangannya untuk mengambil tas miliknya.

Gadis itu berlari ke depan kantor. Beruntunglah suasana kantor sudah sepi, sebab kalau masih ada orang, dipastikan akan banyak gunjingan tentang dia.

Elive meremat tali tas tangan miliknya. Gadis itu gugup dan khawatir namun juga bingung dengan sikap Zavian yang sangat tiba-tiba. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya. Menebak-nebak apakah Zavian memang orang yang demikian atau sikapnya tersebut dilakukan karena rasa bersalah dan bentuk terima kasih.

Elive terlonjak saat mendengar suara klakson kendaraan. Gadis itu bergegas menuju mobil Zavian dan hendak duduk di belakang sebelum suara Zavian menginterupsi.

“Kamu pikir saya supir? Duduk di depan.”

“Baik, Tuan,” jawab Elive gugup.

Gadis itu duduk di samping Zavian. Ia menahan napas dan mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang.

“Kamu tinggal di mana?” tanya Zavian.

“Di gang pertama setelah supermarket, Tuan. Nanti dari halte lurus saja dan belok kiri,” jelas Elive yang dianggukki oleh Zavian.

Tidak ada obrolan selama di perjalanan. Zavian sibuk mengemudi sementara Elive memilih menatap jalanan sore kota tersebut. Gadis itu tidak lupa menunjukan arah menuju tempat tinggalnya supaya Zavian tidak terlewat. Hingga kurang dari 10 menit, keduanya akhirnya sampai.

Elive tinggal di sebuah apartemen kecil daerah tersebut. Lingkungannya tampak tenang dan bersih.

“Terima kasih, Tuan Zavian,” ucap Elive. Namun, saat gadis itu hendak turun dari mobil milik Zavian, pria itu lebih dulu bersuara.

“Kamu jalan kaki ke kantor?”

“Benar, Tuan. Jaraknya cukup dekat dengan kantor. Hanya butuh 20-30 menit untuk tiba di kantor,” jawab Elive.

“Mulai besok, berangkat dengan saya.”

“Mulai besok, berangkat dengan saya.”

Elive terkejut di tempatnya. Gadis itu menatap heran ke arah Zavian, sementara pria itu memandang datar wajah kebingungan karyawannya tersebut.

“Tidak apa, Tuan Zavian. Saya biasa berjalan kaki,” tolak Elive.

“Jangan membantah,” tegas Zavian.

Menghela napas pelan, Elive mengangguk kecil, tidak ingin berdebat dengan atasannya tersebut atau pekerjaannya yang jadi taruhan. Lebihbaik Elive cari aman dengan menurut pada Zavian, entah bagaimana kedepannya nanti.

Gadis itu bahkan sudah memperkirakan kalau akan ada gosip yang menyebar dengan cepat saat ada yang melihat Elive berangkat dengan Zavian besok pagi.

“Kalau begitu saya masuk dulu, Tuan,” ucap Elive lagi dan dianggukki oleh Zavian.

Gadis itu menatap kepergian mobil pria itu sebelum masuk ke dalam tempat tinggalnya. Menyalakan lampu dan segera membersihkan diri.

Hari ini cukup melelahkan untuknya. Belum lagi, badannya terasa sakit karena menolong Yuan tadi. Luka di lengannya juga mulai terasa perih, padahal sebelumnya ia tidak merasakan apa pun.

Gadis itu merebahkan diri setelah selesai mandi dan mengobati lukanya. Memikirkan perkataan Zavian dan menganggap bahwa ucapan bosnya hanya karena rasa bersalah. Tidak ada yang spesial, jadi Elive tidak perlu merasa dirinya spesial.

Memejamkan mata, Elive berharap hari esok akan lebih baik.

***

Keesokan paginya, Elive dibuat terkejut karena Zavian sudah berdiri di depan mobilnya yang terparkir tepat di depan gerbang rumah Elive. Gadis itu menghampiri Zavian dan menatap pria itu sekilas.

“Tuan sudah lama ada di sini?” tanya Elive.

“Sudah dan aku belum sarapan,” ucap Zavian dingin.

“Mau saya buatkan sarapan terlebih dahulu? Kita masih punya waktu sebelum berangkat,” tawar Elive.

“Bagus kalau begitu. Cepat buatkan aku sarapan. Aku terburu-buru karena menjemputmu,” oceh Zavian.

“Lagipula siapa yang memintamu menjemputku,” gumam Elive.

“Apa katamu?” tanya Zavian yang segera dibalas gelengan oleh Elive.

Gadis itu mengajak Zavian masuk ke dalam rumahnya, kemudian menyiapkan roti isi dengan susu untuk dimakan atasannya tersebut.

Elive membiarkan Zavian melihat-lihat tempat tinggalnya. Pria itu menyentuh tiap figura berisi foto milik Elive, kemudian beralih pada meja kerja gadis itu. Rumah dengan tipe studio tersebut membuat Zavian lebih mudah melihat seluruh isi rumah gadis itu hanya dengan sekali pandang. Hanya kamarnya saja yang memiliki sekat. Selebihnya, ruang kerja, dapur kecil, ruang tamu, dan kamar mandi berada di satu ruangan tanpa sekat utuh.

"Elive, mau tinggal denganku saja?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status