Malam itu, angin berhenti. Arcelia sedang diundang masuk ke dalam rahasia yang belum waktunya dibuka, namun jiwanya sudah mengetuk pintunya.Langit seperti diam, seolah seluruh semesta menahan napas.Arcelia tidur dalam pelukan Azrael. Napas keduanya pelan dan selaras. Namun di suatu titik… jauh di antara sadar dan tidur, suara itu memanggil.Pelan. Menggema. Terdengar seperti bisikan… tapi berasal dari dalam.“Ibu…”Arcelia membuka matanya dalam mimpi. Ia berdiri di tempat yang asing—padang luas berwarna keperakan. Tanpa pohon. Tanpa langit. Tanpa bayangan.Namun tanah di bawah kakinya terasa hangat.Dan udara… berdenyut seperti detak jantung. Seolah dunia itu bernapas.“Siapa…?” Arcelia berbisik, suara lirihnya seperti merambat ribuan meter ke segala arah.Tak ada yang menjawab. Tapi tiba-tiba, cahaya berbentuk pusaran muncul di depannya, lalu retakan-retakan terbuka di udara. Seperti jendela ke masa yang bukan miliknya.Satu demi satu, kilasan muncul:Seorang wanita berpakaian puti
Azrael duduk dalam diam.Arcelia telah kembali tertidur dalam pelukannya—nafasnya pelan, tapi tidak sedamai biasanya. Ia bisa merasakannya dari setiap getaran napas, dari detak jantungnya yang tak sinkron. Mimpi itu masih membekas dalam tubuh istrinya, dan Azrael tahu… itu bukan mimpi biasa.Sebagai seorang Kaisar Iblis yang hidup puluhan ribu tahun, tentu saja dia tahu hampir semua sejarah dan nubuat dia ketahui. Sebab, sudah banyak hal yang sudah dia lalui dan dia lihat.Tangannya mengusap lembut punggung Arcelia, berusaha menyalurkan ketenangan lewat kehangatannya. Tapi hatinya sendiri… bergejolak.Ia menatap langit-langit kamar, matanya menyala samar dalam gelap. Di sanubarinya, ribuan tahun pengetahuan, ingatan, dan penglihatan masa depan berputar cepat. Azrael, sang Kaisar Iblis, bukan hanya penguasa neraka—ia adalah penjaga waktu yang disumpahi tidak membocorkan garis takdir, bahkan kepada istrinya sendiri.Namun malam ini… sumpah itu terasa seperti belenggu.Dia sangat gelisah
Arcelia menghela napas panjang, lalu memejamkan matanya sejenak.Mungkin Azrael memang tidak tahu.Atau… mungkin ia tahu, tapi belum siap mengatakannya.Dan itu tak apa.Bukan karena dia menyerah, tapi karena Arcelia tahu—percaya adalah cinta yang paling sunyi, namun paling dalam.Ia menyandarkan kepalanya ke dada Azrael, mendengarkan detak jantungnya yang tenang namun berat.“Aku percaya padamu, Kaisar” gumam Arcelia lirih. “Meski kau memilih diam… aku tahu, itu bukan karena kau ingin menyakitiku.”Azrael memeluknya lebih erat.“Kau tahu aku lebih dari siapapun, Ratuku” Azrael mencium ubun-ubun istrinya sedikit lebih lama seolah ingin menyerap aroma harum rambut istrinya dan menjadikannya memori yang terkunci di otaknya.Beberapa saat tak ada kata-kata. Hanya keheningan yang menenangkan, seperti laut malam tanpa gelombang. Di sela keremangan kamar, hanya suara napas mereka yang saling berpadu.Azrael akhirnya bersuara, pelan. “Terima kasih karena tetap mempercayaiku, bahkan saat aku
Ruang itu masih redup, hanya cahaya lilin dan aroma dupa lembut memenuhi udara. Kulit mereka bersentuhan di punggung, duduk bersila tanpa sehelai kain, menyatukan energi melalui meditasi pemulihan yang hanya bisa dilakukan oleh pasangan dengan ikatan jiwa yang nyaris sempurna.Namun, sesuatu dalam dada Arcelia bergetar. Nafasnya tak seimbang. Aliran sihir dalam tubuhnya terasa tidak stabil, seperti ada sesuatu yang mengalir keluar pelan-pelan… bukan ke Azrael, tapi seolah tercabut entah ke mana.Tangan Arcelia perlahan bergerak, menyentuh perutnya. Ada kehidupan yang tumbuh di dalam sana, namun untuk pertama kalinya, ia merasa… takut.“Kaisar…” bisiknya lirih.Kaisar yang punggungnya masih bersandar padanya langsung membuka mata. “Ada apa?”“Aku merasa… kehilangan sebagian kekuatanku.” Suaranya nyaris tak terdengar. “Sedikit demi sedikit. Sejak malam itu. Sejak… makhluk itu sering kali menampakkan diri dalam visiku.”Azrael berbalik, tubuhnya berbalut cahaya sihir pelindung. Ia menata
Setelah memastikan Pyrion dalam penanganan tabib terbaik dan penjagaan ketat oleh para ksatria bayangan, Azrael dan Arcelia melangkah keluar dari ruang perawatan. Langkah mereka pelan namun mantap, melewati lorong-lorong panjang istana menuju tempat lain yang tak kalah penting—kediaman Selir Agung, Lyrienne.Di sana, beberapa dayang berjubah putih duduk bersila di depan pintu, menggenggam botol kristal dan batu penjaga kesadaran. Aura ketegangan masih terasa kental di udara.Salah satu dari mereka berdiri dan membungkuk hormat saat melihat kedatangan Kaisar dan Ratu.“Yang Mulia... Selir Agung masih belum siuman. Tubuhnya menolak sebagian besar sihir penyembuh. Tapi kami menjaga aliran energi tetap stabil.”Arcelia mendekat, menatap wajah Lyrienne yang terbaring tenang namun pucat. Matanya melembut.“Kau terlalu kuat untuk menyerah seperti ini, Lyrienne… bangunlah.”Azrael berdiri di sisi Arcelia, mengamati sang selir dalam diam. Dalam tatapannya ada rasa bersalah yang dalam, namun jug
Dua sosok iblis berdiri mengapit satu makhluk yang sudah kehilangan jiwanya. Azrael di satu sisi, megah dengan sayap bayangan neraka dan cahaya merah darah yang menyelimuti tangannya. Di sisi lain, Pyrion dengan tubuh setengah berdarah, namun masih berdiri tegar, sihir perak tua berdenyut dari jantungnya hingga ujung jari.Azrael beberapa kali melirik ke arah Pyrion, meyakinkan dirinya sendiri kalau sang putra masih bisa bertahan.Di tengah mereka, Eden—atau lebih tepatnya Asmodarr—menjadi pusaran kegelapan. Kulitnya pecah-pecah dan melepaskan cahaya iblis, suaranya terus berubah, dari Eden yang merintih hingga suara geraman ribuan roh.Dia adalah iblis yang jiwanya dipenuhi oleh hawa nafsu serta kebencian. Warnanya merah menyalah dan sangat menakutkan di saat marah.“MATILAH BERSAMA, ANAK-ANAK KEBENCIAN!”Dengan raungan terakhir itu, ia menumbukkan kedua tangannya ke tanah, menciptakan ledakan gelombang energi yang menghancurkan sekelilingnya.Azrael melompat cepat, menciptakan peris