Seketika setelah tubuh Arcelia luruh dalam pelukan Sylas, udara di sekeliling pecah oleh cahaya merah keemasan. Waktu seperti membeku. Angin berhenti berhembus. Bunga-bunga ilusi terbakar dalam sekejap dan runtuh menjadi abu. Dalam satu kilatan cahaya, sosok Azrael muncul—mata menyala menyimpan badai, jubahnya mengepul seperti kabut neraka yang murka. Tanpa suara, tanpa ancaman. Tapi atmosfer hancur dalam kehadirannya. Sylas terlempar ke belakang sebelum sempat berkata apapun, dan tubuh Arcelia melayang ke dalam pelukan Azrael. Dengan satu tangan, ia menahan kepala Arcelia agar bersandar di dadanya, sementara tangan lainnya membungkus pinggangnya, menyalurkan sihir perlindungan yang nyaris menyerupai doa. “Arcelia... Ratuku...” bisiknya, lebih lirih dari biasanya. Suara itu pecah. Lain dari Azrael yang agung dan tak tergoyahkan. Arcelia bisa mendengarkan suara itu penuh sarat akan rasa khawatir dan ketakutan, seorang penguasa seperti Azrael yang tidak kenal rasa takut merasa keta
Lorong Rahasia di Istana Bayangan – Malam Hari Lorong itu dipenuhi dinding hitam berurat merah tua, seperti akar hidup yang berdenyut perlahan. Obor magis membakar biru redup, menciptakan bayangan panjang yang menari di batu-batu tua. Lucien melangkah pelan, mengikuti aroma samar lavender bercampur asap sihir. Di ujung lorong, sebuah ruangan terbuka, dipenuhi permadani tua dan rak-rak berisi gulungan sejarah yang tidak pernah dibaca lagi. Di tengah ruangan, seorang wanita duduk di singgasananya sendiri—bukan dari emas, tapi dari akar dan kristal yang hidup. Kulitnya pucat kehijauan, rambutnya keperakan dengan sulur hitam halus, dan matanya berkilau seperti mata elf kuno. “Sylas.” Suara wanita itu dalam, rendah, tapi menggoda. Bukan seperti ibu—lebih seperti seorang ratu yang bicara pada pion favoritnya. Sylas mengerutkan alis. “Kenapa kau memanggilku ke tempat ini, Duquesa?” Duquesa adalah pelindung Sylas, selama ini Sylas mengenalnya sebagai seseorang yang merawat dan menjaganya
Udara pagi menyelinap masuk lewat celah jendela yang sedikit terbuka. Aroma embun dan bunga melati yang tumbuh di pekarangan membawa kesejukan yang jarang dirasakan di rumah tua itu. Jam dinding menunjukkan pukul lima lebih sepuluh menit ketika mata Liam terbuka perlahan.Rasa rindu yang membuncah kepada Arcelia sampai terbawah ke alam mimpi.‘Ya Dewa, tolong jaga keponakanku dimanapun dia sekarang’ itu doa yang dia rapal setiap kali merindukan keponakannya itu.Ia mengedip pelan, membiarkan cahaya pagi menari-nari di pelupuk matanya.Sudah berapa tahun sejak terakhir kali ia bangun dengan rasa ringan seperti ini?Biasanya, ia akan menatap langit-langit kamar, menunggu tubuhnya sadar sepenuhnya dari tidur yang sering kali diselingi rasa nyeri dan frustrasi. Tapi pagi ini... berbeda. Sangat berbeda.Ada sensasi aneh di kakinya. Rasa kesemutan yang menjalar dari ujung jari kaki hingga ke paha. Sensasi itu terus meningkat, seperti ribuan jarum halus yang menyengat pelan—menandakan sesuat
Eden berdiri mematung di depan jendela ruang makan. Cahayanya yang keemasan menyinari wajahnya yang serius, mata hazel itu menatap kosong pada pekarangan belakang rumah yang kini tampak terlalu tenang, terlalu biasa. Tapi pikirannya tak bisa diam. Ada kegelisahan yang tidak bisa ia jelaskan.Ia menatap punggung Ayahnya dari kejauhan—Liam sedang duduk di bawah pohon besar, ditemani secangkir teh hangat dan selimut tipis. Ayahnya bersikap normal, seolah-olah tidak ada yang aneh dengan keajaiban yang terjadi dengan kaki lumpuhnya, seolah semua ini masuk akal. Padahal kelumpuhan itu sudah dia derita lebih dari tiga belas tahun lamanya.Bagi Eden, justru di situlah masalahnya.Eden merasa kalau kesembuhan kaki Ayahnya ada hubungannya dengan Arcelia.Marla semakin mudah tersulut emosi. Kebenciannya kepada Arcelia semakin menggunung semenjak Nora dan Lydra mati di peristiwa malam itu. Mati dalam keadaan mengenaskan.Eden mengepalkan tangannya.“Arcelia… apa yang sebenarnya terjadi padamu?” p
Angin hutan berdesir lembut, menggoyangkan dahan-dahan pohon tua yang menjulang seperti penjaga abadi. Aroma tanah lembap bercampur dengan harum bunga liar mengambang di udara, membawa nuansa mistis yang tak terucapkan. Di antara pepohonan besar yang tertutup lumut, seorang pemuda berdiri diam, jubahnya tertiup angin.“Sylas…untuk apa kamu mencariku?”Suara perempuan lembut memecah keheningan.Sylas menoleh perlahan, mata keperakannya menyorot dalam ke arah sosok anggun yang muncul dari balik pohon. Rambut peraknya tergerai, seperti helai cahaya bulan yang terurai. Pakaian hijaunya melebur sempurna dengan hutan di sekelilingnya. Ia tampak seperti jelmaan dewi hutan… atau iblis dalam wujud paling memesona.Tapi bagi Sylas… dia hanya satu sosok.Seseorang yang selama ini selalu hadir seperti bayangan. Mendekat lalu menghilang. Menghangatkan… tapi tak pernah betul-betul menyentuh hidupnya. Seseorang yang mengaku ibunya beberapa hari lalu.“Marovielle,” ucap Sylas datar, seperti biasa. Bu
Lorong menuju kediaman Pangeran Kael berlapis karpet merah gelap, sunyi seperti lorong rahasia dalam labirin keabadian. Cahaya obor temaram menyentuh dinding batu, menciptakan bayangan bergoyang yang seperti mengawasi setiap langkah Sylas.Ia berjalan mantap, membawa keputusan di dalam kepalanya dan kebimbangan samar dalam hatinya.Di ujung lorong, dua pengawal membungkuk saat mengenalinya. Tanpa banyak bicara, mereka membuka pintu menuju ruang pribadi Kael—ruangan luas bergaya klasik, dipenuhi rak buku, lukisan keluarga, dan aroma bunga khas yang selalu memenuhi udara di sekeliling Kael.Kael sedang duduk di kursi rendah di dekat jendela, memainkan liontin kecil dari batu kristal biru yang tergantung di lehernya. Sebuah simbol perlindungan, pemberian ibunya.Tatapannya menajam saat melihat Sylas masuk. “Kamu datang lagi,” katanya datar. “Apa kali ini kamu ingin bertengkar seperti biasa, atau—”“Aku ingin bicara.” Suara Sylas tenang tapi penuh dorongan emosi.Kael mengangkat alis. “It
Kediaman Jenderal Kaelthor berdiri megah di sisi timur istana, terpisah dari kediaman para pangeran lain. Dinding-dinding batu dihiasi ukiran naga dan lambang kekuatan. Suara dentang besi, senjata yang diasah, dan teriakan prajurit dalam latihan terdengar bahkan dari jauh.Sylas berdiri di depan gerbang, diam memperhatikan. Ia tahu, Kaelthor bukan sekadar pangeran. Ia adalah naga dalam wujud manusia—berdarah panas, cerdas, dan tak pernah menyembunyikan ambisinya. Tapi justru itu yang membuatnya menjadi target Sylas.Karena orang seperti Kaelthor, jika bisa dijadikan sekutu, bisa menjadi tombak pemecah singgasana Kaisar.Ia melangkah masuk, disambut prajurit bertubuh besar yang langsung mengenalinya.“Pangeran Sylas,” kata mereka, setengah bingung, setengah waspada. Tapi tidak berani menolak. Mereka tahu siapa Sylas—meski sering diremehkan, ia tetaplah mereka kenal sebagai pangeran, putra Kaisar Azrael.Sylas dibawa ke aula latihan pribadi. Di tengah ruangan yang luas, Kaelthor berdiri
“Menculik ratu Arcelia malam ini? Bodoh! Setelah yang kamu lakukan beberapa pekan lalu, apa kamu pikir mudah mendekatinya?” Gertak Marovielle. “Sudah! Kamu memang terlalu dini untuk diberikan kepercayaan, membuat strategy begini saja tidak mampu! Kamu mirip Ayahmu!” umpat Marovielle kesal.“Ayahku? Kaisar?” Sylas menatap Marovielle ragu.“Bodoh! Kamu pikir kamu anak Azrael, ayahmu juga dari kaum Elf! Azrael yang membunuh Ayahmu!” Jelas Marovielle membuat Sylas tertegun dan mematung sesaat. “Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku bukan anak Kaisar?”“Dulu…aku masuk ke istana ini bukan karena suka rela, aku datang karena aku mencari Ayahmu.” Marovielle menjedah ceritanya, “Ayahmu adalah sepupu dari Azrael, seharusnya dia yang berada di singgasana namun, karena sebuah kesalahan kecil dia diasingkan. Tapi, itu tak membuatku menyerah. Saat itu karena keistimewaanku aku diangkat menjadi selir kehormatan, tapi tidak lama karena sebelum kaisar menyentuhku aku sudah ketahuan hamil” Marovielle meny
Malam sebelum pertempuran….Ruang bawah tanah istana itu sunyi, hanya diterangi cahaya kebiruan dari kristal sihir yang tergantung di langit-langit. Peta energi Arcelis tergantung di udara, berputar perlahan—warna hitam keunguan menyelubunginya, tak seperti aura makhluk hidup biasanya.Arcelia berdiri di depan proyeksi itu. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai. Jelas berbahaya.Lucien berdiri di sisinya, satu tangannya menunjuk ke area samar di sekitar dada Arcelis. “Lihat ini,” katanya pelan. “Retakan halus. Energi di sekitar jantungnya tidak stabil.”Azrael menyipitkan mata. “Apa itu berarti… dia punya titik lemah?”Lucien mengangguk. “Menurut penelitianku, Arcelis bukan makhluk utuh. Ia disusun dari berbagai fragmen keinginan dan emosi manusia yang paling kotor—pengkhianatan, iri hati, dendam, obsesi. Semuanya dimanifestasikan, tapi tidak benar-benar menyatu. Titik retak ini—”“—adalah tempat di mana fragmen itu berkonflik,” potong Lira yang sedari tadi memperhatikan proye
Malam turun dengan selimut kelam yang sunyi, tak seperti malam-malam sebelumnya di Istana Neraka yang biasanya riuh oleh denting obor api dan nyanyian bayangan. Malam ini, seluruh kerajaan menahan napas. Esok hari adalah pertarungan yang bisa menentukan takdir dua dunia—dan takdir seorang Ratu.Di dalam kamarnya, Arcelia duduk di depan cermin besar. Rambutnya dibiarkan tergerai, kulitnya pucat tertimpa cahaya biru dari kristal api yang menggantung di langit-langit. Tapi tak ada keraguan dalam mata itu. Hanya ketenangan… dan kedewasaan yang perlahan tumbuh dari luka-luka lama.Lira masuk perlahan, membawa secangkir ramuan hangat. “Yang Mulia… semua sudah disiapkan. Para penasihat juga telah memastikan arena telah dilindungi oleh sihir pengikat. Tidak akan ada intervensi dari luar.”Arcelia mengangguk. “Terima kasih, Lira. Kau sudah bekerja sangat keras, aku bangga padamu!.”Lira tersenyum, tersipu, tapi matanya masih menyimpan kekhawatiran. “Apakah Anda… yakin ingin melakukan ini?”“Buk
Beberapa hari kemudian – Hari yang ditentukan untuk pengujian sudah datang, di Aula Pengujian Istana Iblis semua petinggi istana Iblis datang dan berkumpul.Langit di atas istana tampak kelam, awan sihir menggelayut rendah. Aura magis pekat menyelimuti bangunan kuno tempat Upacara Pengujian Cahaya dan Kegelapan akan dilakukan. Hanya mereka yang benar-benar berdarah pilihan yang mampu bertahan hidup melewati ritual ini—yang lainnya akan lenyap menjadi abu sihir dan waktu.Arcelia berdiri di sisi kiri aula, mengenakan jubah ratu yang lebih sederhana dari biasanya, hanya dihiasi simbol dua dunia di bagian dada. Matanya menatap lurus ke tengah ruangan, di mana Arcelis berdiri sendirian di atas lingkaran sihir kuno.Di sisi berlawanan, Kaisar Azrael duduk di atas singgasana pengamatan, diapit oleh para penasihat dan pangeran-pangeran kepercayaannya, termasuk Lucien dan Kaelthor.Arcelis terlihat tenang. Terlalu tenang. Wajahnya tanpa ragu. Bahkan tidak ada sedikit pun getaran ketakutan di
Langit di atas istana iblis pekat, tanpa bulan maupun bintang. Angin dingin menari di antara tiang-tiang batu, menabur ketegangan yang menggantung di udara.Arcelia duduk sendirian di balkon pribadi kamarnya. Rambut panjangnya tergerai lepas, dibiarkan tertiup angin malam. Kedua tangannya mengepal di atas pangkuan, dan matanya menatap kosong ke arah hamparan langit kelam. Dalam dadanya, ada sesak yang tak bisa dijelaskan. Dan di balik matanya, ada badai yang ia redam.Dia mendengar langkah berat yang dikenalnya sangat baik. Tapi dia tidak menoleh. Tidak kali ini. Tubuhnya terasa kaku untuk digerakkan.“Arcelia….” suara bariton itu memanggilnyaDengan mata merah dan tubuh yang masih terasa kaku dia menoleh, lantas tersenyum samar. Memberi hormat dengan formal kepada Azrael, tidak seperti biasanya. Kaisar Azrael dapat merasakan perubahan kecil pada sikap Ratunya, namun itu tak membuatnya urung untuk menanyakan pertanyaan yang sudah mengganggunya."Kenapa kau tidak menceritakannya padaku
Langkah Arcelia begitu ringan saat memasuki lorong bawah tanah yang tersembunyi di balik istana. Tidak seorang pun tahu bahwa ia diam-diam meminta Lucien menunjukkan tempat gadis manusia itu diamankan. Dua penjaga khusus membungkuk memberi hormat, lalu membuka pintu berat yang berderit pelan.Ruangan itu remang, hanya diterangi cahaya samar dari lentera kecil di sudut tembok. Di dalamnya, duduk seorang gadis muda yang mengenakan pakaian lusuh, tangan terlipat di pangkuan, tubuhnya bersandar lemah pada dinding batu.Begitu pintu terbuka, gadis itu langsung bangkit berdiri. Meski tubuhnya tampak lemah, ada aura ketenangan dalam sikapnya.“Hormat kepada Yang Mulia Ratu,” ucapnya pelan, namun penuh hormat.Langkah Arcelia terhenti. Matanya membulat, napasnya seolah tersangkut di tenggorokan. Dalam temaram ruangan itu… gadis itu—kulitnya pucat, rambut hitam legam, dan sorot mata penuh luka serta keteguhan—terlihat seperti cerminan dirinya di masa lalu.“Kamu… dari mana kamu tahu siapa aku?
Setelah pertarungan dan penyucian istana, pertempuran belum benar-benar usai.Bukan dengan sihir atau senjata, tapi dengan kepercayaan dan hati.Kerajaan iblis memiliki pilar-pilar kekuasaan yang tersebar dalam wujud para pangeran, masing-masing dengan karakter dan ego berbeda. Setelah kejatuhan Marovielle dan Sylas, bayang-bayang perpecahan masih menggantung.Azrael mengumpulkan mereka semua... tapi yang membuat mereka tetap duduk dan mendengarkan, bukan hanya titah Kaisar—melainkan suara lembut namun teguh milik Arcelia.“Kalau kalian terus bertahan dalam dinding keangkuhan sendiri, maka kerajaan ini akan tumbang bukan karena perang—tapi karena kalian saling menjatuhkan.”Ucap Arcelia siang itu dalam ruangan bundar tempat dewan para pangeran berkumpul.Lucien, yang berdiri di sisi Arcelia, hanya menyilangkan tangan dan tersenyum tenang.“Ayo, Kakak-kakakku. Dengarkan Ratu kita. Beliau bukan cuma cantik, tapi juga sangat masuk akal. Dan kalau kalian tidak percaya padanya, ya... perca
Langit di atas istana menghitam seperti jelaga. Petir iblis membelah langit, dan angin malam membawa hawa pertanda buruk.Di tengah aula utama yang kini kosong dari pesta, Marovielle berdiri tegak dengan mata menyala ungu keperakan, diapit oleh Sylas dan beberapa makhluk bayangan yang ia panggil dari dunia bawah. Jubah hitamnya berkibar, dan energi gelap menari di sekelilingnya, membuat ubin istana retak-retak."Aku tahu ini jebakan," ucapnya datar namun menggema, "dan aku tetap datang. Tapi kalian lupa satu hal..."Marovielle menatap Azrael, lalu Arcelia."...aku tak pernah datang tanpa persiapan."Dengan satu gerakan tangannya, api hitam menyambar ke segala arah—namun Azrael sudah berdiri di depan Arcelia, memanggil pedang api miliknya, Ignis Vultor, dan menebas energi itu hingga terpecah menjadi ribuan bara.Sylas melompat ke depan, menyerang Kaelthor, matanya penuh amarah dan kebimbangan, tetapi Kaelthor sudah siap. Dengan bantuan Lucien dan dua pangeran lain, mereka menahan Sylas
Pertempuran telah usai, walaupun tidak ada kemenangan ataupun kekalahan dari sisi Arcelia ataupun Marovielle karena dia kabur, namun pertarungan itu menyisakan rasa lelah. Khususnya hati Arcelia. Lelah karena kesal sebab menyadari Kaisar yang selalu bilang ‘cukup dirinya’ tiba-tiba ada di ranjang perempuan lain.Kaisar yang mulai terbiasa dengan Arcelia sangat hafal dengan perangai sang Ratu.Kamar utama terasa hangat oleh cahaya lilin yang berpendar lembut.Arcelia duduk di tepi ranjang besar, memeluk lututnya sendiri. Wajah cantiknya kusut, pipinya mengembung kesal seperti anak kecil yang baru saja direbut mainannya.Azrael, yang baru selesai mengenakan jubah hitam sederhana, mendekat perlahan."Arcelia..." panggilnya lembut.”Ratuku….”Gadis itu mendengus. Membalikkan wajah, menatap ke arah lain, bersikap cuek.Melihat itu, Kaisar hanya tersenyum kecil. Ia lalu duduk di sebelah Arcelia, meraih tubuh kecil itu dan tanpa aba-aba menariknya ke dalam pelukannya.Arcelia berusaha membero
Pagi itu, saat matahari baru saja memanjat langit, sebuah kotak kayu berukir mewah diantarkan ke Paviliun Utama."Yang Mulia," ucap salah satu pelayan sambil menunduk hormat. "Ada hadiah untuk Anda, dari Selir Aeralis."Arcelia, yang tengah duduk santai bersama Lira di taman kecil, hanya melirik sekilas ke arah kotak itu."Hadiah lagi?" gumamnya pelan.Lira langsung mendekat, menunduk curiga. Naluri perlindungan terhadap tuannya segera bangkit."Yang Mulia, izinkan saya memanggil Tuan Lucien untuk memeriksa ini dulu," bisik Lira cepat.Arcelia tersenyum kecil, mengelus kepala Lira seperti biasa."Memang sudah rencananya begitu," katanya lembut. Matanya berbinar cerdik. "Ayo, kita lihat sejauh apa permainan si cantik itu."Tak lama, Lucien datang, matanya yang tajam langsung menilai kotak itu. Dengan gerakan terlatih, ia membuka kotaknya perlahan — aroma harum manis menyeruak, memabukkan.Lucien mengeluarkan alat kecil berwarna perak dari sakunya, lalu mendekatkannya ke parfum yang ada