Di luar batas dunia yang bisa dipahami oleh waktu dan ruang, di tempat di mana langit berdarah dan bumi bergemuruh dalam senyap, berdiri sebuah singgasana hitam yang tak terbuat dari batu, melainkan dari kesedihan yang telah membatu selama ribuan era.Di sana, mereka berkumpul.Para Penjaga Kengerian Tertua.Empat Elder Daemons yang bahkan Azrael enggan sebut namanya dengan suara keras.Dhorveth, Sang Penguras Jiwa, duduk dengan mata kosong yang tak memandang, namun bisa menembus ke inti keberadaan siapa pun. Tangannya yang panjang dan berurat menggenggam untaian roh-roh yang merintih dalam diam, diikat seperti manik-manik doa yang tak pernah selesai.Zaer’tal, Dewa Luka Abadi, berdiri tegak. Tubuhnya dipenuhi retakan yang menganga, tapi dari setiap luka itu mengalir sihir hitam yang berdenyut seperti nadi. Nafasnya adalah kutukan, dan bisikannya bisa membuat makhluk hidup menguliti diri sendiri karena rasa sakit yang tak tertahankan.Noxira, Ratu Mantra Terlarang, bersandar malas di a
Arcelia duduk menyandar pada bantal empuk dengan rambut yang masih kusut, menyuapi Azrael roti madu dengan tangan sendiri. Azrael, yang hanya mengenakan jubah tipis hitam, pura-pura menghindar dan mencuri ciuman di ujung jemari Arcelia, membuatnya tertawa geli.“Aku tak ingat pernah punya suami yang bisa merayu sambil ngunyah,” ujarnya sambil tertawa kecil.Azrael mengangkat alis. “Kau belum lihat aku saat lapar dan jatuh cinta bersamaan. Sangat mematikan.” ucapan itu bersamaan dengan Azrael mencium pipi Arcelia dengan gemasnya.Tawa mereka memenuhi ruangan yang diterangi sinar lembut pagi. Di luar, angin menggesek daun-daun pohon tua yang tumbuh mengelilingi tempat peristirahatan mereka di pegunungan, jauh dari hiruk pikuk istana. Setidaknya untuk beberapa saat, dunia terasa damai.Namun, beberapa saat kemudian, ketenangan itu hancur ketika seorang penjaga dari dalam istana datang tergesa—penuh debu dan napas terburu.“Yang Mulia... Ratu, Kaisar... Pangeran Lucien. Dia diserang. Luka
Arcelia dan Azrael kini telah kembali ke istana, setelah perjalanan panjang dan semuanya membuat mereka lebih tenang dan tidak gegabah. Meskipun mereka tahu bahaya mengancam mereka, bisa mendatangi mereka kapan saja. Mereka siap tapi mereka tak mau memicunya.Malam turun dengan lembut seperti selimut beludru, membungkus seluruh istana dengan keheningan yang tenang. Di dalam kamar utama yang diterangi cahaya api unggun dan kilau lembut dari batu-batu sihir di dinding, Arcelia dan Azrael duduk bersisian di atas balai-balai rendah berhias ukiran naga purba.Udara di antara mereka dipenuhi kehangatan yang tak hanya berasal dari api—tapi dari keberadaan satu sama lain.Azrael membelai lembut rambut panjang Arcelia yang dibiarkan tergerai, jemarinya menjelajahi helai demi helai dengan gerakan tenang.“Aku bisa duduk seperti ini bersamamu selama seribu tahun,” bisiknya, suaranya serak dan dalam.Arcelia bersandar di bahunya, menatap api yang menari di perapian. “Kalau kau bisa, aku akan mencu
Senja menggantung muram di langit Aetheryn Caelus. Cahaya jingga keemasan menembus kaca-kaca tinggi yang retak, menyinari ruangan tempat Arcelia duduk membisu. Suasana begitu sunyi, seolah waktu pun enggan bergerak.Ia memandangi tangannya yang terbuka di atas pangkuan, jari-jarinya gemetar kecil. Di telapak tangannya, ia seakan masih bisa merasakan jejak api itu—api yang bukan membakar, tapi membangkitkan. Api yang dahulu milik Yllira… kini miliknya.“Aku… mengenang kematianku sendiri.”Kata-kata itu tak bersuara, tapi terdengar jelas di hatinya. Dia shock sekali mengetahui bahwa Ratu Api yang beberapa waktu lalu hari kematiannya dia peringati di istana bersama Pyrion dan rakyat adalah masa lalunya. Yllira memang bukan Arcelia akan tetapi, jiwa Yllira ada di dalam Arcelia.Wajah Pyrion muncul di pikirannya—dingin, tegas, tapi menyimpan luka yang dalam. Betapa ia telah menjadi korban fitnah dan penghakiman, hanya karena ia lahir dari rahim seorang ibu yang dituduh tak bermoral. Semua
Dalam penglihatan itu, Pyrion menemukan dirinya berada di ruang yang asing—sebuah ruang dengan dinding batu yang berlumut, redup oleh cahaya yang memudar.Di depannya berdiri Arcelia, namun wajahnya bukan seperti yang biasa ia kenal. Itu adalah wajah Yllira, wajah ibunya, yang terpantul jelas dalam wajah Arcelia. Perasaan tak terduga merasuki hati Pyrion—seperti sebuah beban berat yang menekan ke dadanya."Kau…" suara Arcelia terdengar jelas, tetapi bukan suara Arcelia yang biasa. Ada emosi yang lebih dalam, sesuatu yang terlupakan."Kau tahu siapa aku, bukan?" tanyanya, suaranya penuh amarah dan air mata yang terpendam.Pyrion terdiam, tak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar kencang, seolah tak sanggup menahan beban kenangan yang datang menyerbu. Ia merasa seolah ia berada dalam lingkaran waktu yang tak bisa dihindari—sebuah perangkap masa lalu."Aku tahu…" Pyrion menjawab pelan, namun suaranya terasa tersekat. "Kau adalah dia—ibu… Yllira."Arcelia—atau Yllira—tersenyum pahit
Azrael berdiri di puncak menara, matanya menatap langit yang berwarna darah, menunjukkan tanda-tanda ketegangan yang melingkupi dunia. Hawa panas dari kawah besar jauh di bawahnya meresap hingga ke permukaan tanah di atasnya. Namun, meskipun di luar tampak tenang, hatinya berdebar tak teratur. Suatu firasat gelap mengalir di sepanjang tulang belakangnya.Matanya yang memudar menjadi merah samar mulai menutup—dan dalam keheningan itu, Azrael merasakan sesuatu yang terdeteksi oleh indra batinnya. Sesuatu yang lebih dalam daripada sihir yang beredar di istana. Sesuatu yang berhubungan langsung dengan Pyrion.Azrael menarik napas panjang dan memusatkan perhatian pada jantung kekuatan magisnya. Ia menurunkan kesadaran ke dalam lapisan-lapisan realitas, hingga akhirnya ia melihatnya—Pyrion.Pyrion, sang pangeran api, berjalan dengan langkah mantap, melintasi reruntuhan Aetheryn Caelus, di mana sihir kuno masih mengalir liar. Tanpa disadari oleh Pyrion, sihir itu menggoda, memanggilnya denga