Menurut kamu Yllira Ibu Arcelia atau siapa?
Di sisi lain istana, dalam ruangan batu yang nyaris tak terjamah cahaya, Pyrion berdiri membelakangi jendela tinggi. Angin malam menerpa wajahnya, membawa suara-suara aneh yang hanya bisa didengar oleh mereka yang jiwanya terikat pada kegelapan.Dadanya naik turun. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan napasnya tercekat seolah ada sesuatu yang tak kasat mata mencekik dari dalam.“Arcelia…” gumamnya lirih. Bukan sebagai panggilan rindu, tapi sebagai jeritan batin yang berusaha menolak sesuatu yang asing—yang bukan miliknya. Semuanya terjadi begitu saja.Tiba-tiba, dadanya terasa berdenyut hebat. Seperti ditarik paksa dari dalam. Resonansi. Tapi berbeda. Ini bukan gejolak liar yang membuatnya ingin menggapai dan memiliki.Tidak. Ada rasa sakit di awal, seperti sesuatu yang menarik dan menghempaskan dirinya pada sesuatu yang sangat keras dan tajam, namun ada rasa tenang dan ringan setelahnya.‘Ini… menenangkan. Tapi juga menyakitkan.’Pyrion terhuyung dan bersandar pada dinding. Pan
Malam telah larut. Angin malam membelai lembut tirai kamar Ratu, membuatnya bergoyang seperti bisikan roh dari masa lalu. Cahaya lilin bergetar, dan begitu pula dada Arcelia.Ia duduk di tepi ranjang, mata menatap kosong ke jendela terbuka.Bulan menggantung penuh. Terlalu terang untuk malam yang terasa kelam.Jemarinya mengepal erat pada selimut. Ia tak bisa tidur. Setiap kali memejamkan mata, wajah Pyrion datang. Bukan wajah yang ia cintai… tapi wajah yang memanggil, yang bergetar menyatu dengan lapisan terdalam jiwanya.Dia sudah pernah jatuh cinta dan terbayang-bayang wajah lelaki yang dia cintai di masa lalu selain Azrael, tapi rasanya tidak begini. Ini terasa sangat berbeda.“Kenapa aku merasa seperti ini?” bisiknya lirih, seolah bertanya pada malam.Tangannya menekan dada, mencoba meredam gelombang asing yang muncul seperti pasang air laut. Ia tahu ini bukan cinta. Tapi kenapa tubuhnya bereaksi? Kenapa hatinya menjadi mudah rapuh saat berada di dekat Pyrion? Kenapa suaranya...
Di tengah kehampaan dunia yang tidak dikenal manusia maupun iblis, Neravyn, berdiri sebuah ruangan tak berdinding, mengambang di antara bayangan dan retakan dimensi. Meja melingkar dari tulang raksasa menopang lilin-lilin berisi darah yang mendidih pelan. Asap hitam membentuk wajah-wajah yang menjerit diam-diam, berputar di udara.Empat sosok duduk di sana.Dhorveth, Sang Penguras Jiwa, dengan wajah retak seperti topeng tua, matanya kosong namun memantulkan kesedihan orang lain. Zaer’tal, Dewa Luka Abadi, yang duduk dengan tubuh terbalut besi berkarat dan kulit sobek-sobek tak pernah sembuh.Noxira, Ratu Mantra Terlarang, berambut asap dan berwajah seperti gabungan ribuan wanita yang pernah memohon hidup.Dan Xhurn, Si Penjagal Dimensi, bertubuh raksasa dan bersayap tajam, lidahnya menjulur berbisik dalam bahasa makhluk-makhluk mati.Suara tawa perlahan tumbuh, bukan dari satu mulut, tapi dari bayangan yang melingkari meja itu.“Ia melihatnya dalam mimpi,” ucap Noxira, bibirnya teran
Arcelia melangkah pelan menyusuri lorong istana yang remang. Malam belum benar-benar lewat, namun udara sudah mengandung aroma pagi yang pahit dan berat—seperti hati yang penuh beban tapi tak tahu harus dikatakan dengan kata apa.Sebelum jalannya tadi mengarah kesini, dia sudah merasakan hal aneh dan berusaha melawan keinginannya untuk datang. Tapi, di sisi hatinya yang lain berkata ‘kasihan, Pyrion merasa sendirian. Selama ini dia hidup dalam sepi dan dibayangi oleh kematian Ibunya yang diketahui khalayak dalam kehinaan’Karena ada perasaan bersalah, walaupun dia bukanlah Yllira maka di sinilah Arcelia saat ini.Ia berhenti di depan balkon utama, tempat di mana api abadi menyala tanpa henti di tengah lingkaran batu. Dan di sana, sosok Pyrion berdiri membelakangi, diam seperti arca, rambutnya tertiup pelan oleh angin gunung.Arcelia diam di tempatnya sebelum memutuskan mendekat, dia seperti bisa merasakan kesedihan dan kepedihan Pyrian hanya dengan melihat punggungnya saja. Dia pun te
Pyrion tidak menjawab ayahnya. Ia hanya mengangguk kecil, lalu kembali menatap cangkir teh di tangannya. Uapnya menari lembut, seolah menyimpan bisikan dari dunia yang lebih dalam.“Apa yang Kaisar tahu? Apa ia juga pernah merasa seperti ini?”Pyrion merasa pikirannya diombang-ambingkan seperti kapal kecil dalam badai. Satu sisi ingin menuruti kehormatan, logika, dan didikannya sebagai putra Kaisar. Tapi sisi lain… sisi yang semakin kuat, semakin tak tertahankan, membisikkan sesuatu yang lebih jujur, lebih liar.Malam itu, ia tidak bisa tidur.Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap langit yang tertutup awan gelap. Di kejauhan, suara petir berdentum, tetapi bukan dari langit atas—melainkan dari celah dimensi, tempat para Elder Daemons bersemayam.Dan mereka sedang menyaksikannya.Di antara kabut spiritual yang tak kasatmata, Xhurn, Si Penjagal Dimensi, menggenggam segumpal cahaya—fragmen perasaan Pyrion yang telah mereka ganggu.“Dia terlihat sangat rapuh,” gumamnya dengan suara bergem
Pyrion terbangun.Peluh membasahi pelipisnya, napasnya masih berat, jantungnya berdetak kencang seperti baru saja lari dari peperangan. Kamar itu gelap dan sepi, hanya lilin yang hampir padam menjadi saksi dari gejolak di dadanya.Tangannya mengepal.“Itu hanya mimpi,” gumamnya, seolah mencoba menghapus jejak yang masih tertinggal di kulitnya. “Tentu saja hanya mimpi, dasar bodoh! Arcelia istri Kaisar, bodoh!” Tambah Azrael memaki dirinya sendiri.Tapi hatinya tahu. Rasa itu tidak memudar.Ia menatap ke langit-langit, lalu membenamkan wajahnya di tangan. Arcelia. Selalu Arcelia. Padahal ia tahu betul—ia tak bisa, tak boleh, dan tak ingin mencintainya.“Siapapun dirimu, Arcelia! Apakah memiliki jiwa Ibuku atau tidak…” bisiknya. “Rasa ini… Rasa yang aku miliki ini, kenapa makin kuat?”Angin malam menyusup melalui celah jendela. Pyrion merasakan ketakutan… bukan pada Elder Daemons atau takdir yang mengintai, tapi pada dirinya sendiri.Pyrion duduk lama di tepi ranjangnya setelah terbangu