Kaisar Azrael duduk gelisah di singgasananya yang dingin. Matanya menatap nanar ke arah pintu paviliun Ratu yang kosong. Hatinya diliputi kecemasan yang membuncah, terlebih setelah mengetahui bahwa Arcelia tak berada di tempatnya sejak pagi.“Arcelia… ke mana kau pergi?” gumamnya lirih, jari-jarinya mengepal.Ia menyesal. Menyesali ucapannya, tindakannya, bahkan napasnya pagi itu. Arcelia sudah bersikap lembut—terlalu lembut, seperti menyembunyikan sesuatu—dan kini dia menghilang.Laporan dari Lira hanya membuatnya semakin khawatir. “Yang Mulia,” ujar Lira dengan gugup, “Ratu… pergi tanpa pamit. Saya sempat melihat beliau melangkah ke luar lewat jendela menembus awan, sendirian.”Wajah Azrael menegang. “Kenapa kau tak menghentikannya?”“Saya pikir beliau hanya ingin menyendiri… seperti biasanya,” jawab Lira dengan kepala tertunduk. “Saya mohon maaf.”Azrael berdiri dari singgasana, tubuhnya dipenuhi energi yang tak tenang. “Tidak. Ini salahku. Aku membuatnya menjauh.”Tapi sebagai Kai
Aurelitha mengantarkan Arcelia ke sebuah tempat yang terasa seperti surga tersembunyi di balik kelopak dunia. Di sana, alam bernafas dalam harmoni—angin berembus lembut membawa aroma bunga liar, sementara suara gemericik air mengalun seperti musik dari zaman yang telah dilupakan.Di tengah hamparan padang berbunga emas, berdirilah Istana Kristal. Bangunannya memantulkan cahaya mentari yang menembus kabut, dinding-dindingnya transparan berkilauan, dan atapnya seperti dibentuk dari kelopak langit yang membeku. Saat Arcelia melangkah masuk, seluruh tubuhnya merasakan ketenangan luar biasa, seolah seluruh beban yang mengendap di hati perlahan terangkat.“Tempat ini akan membantumu membuka gerbang energi spiritual dalam tubuhmu,” bisik Aurelitha sambil tersenyum. “Di sini tak satupun makhluk merasakan lapar, mengantuk, lelah, semua yang bersifat keduniawian. Jadi, itulah tujuan Ratu di sini.”Arcelia duduk di tengah ruangan berbentuk lingkaran, lantainya dari batu kristal bening berkilau.
Arcelia tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Selama ini, dunia bawah yang ditinggalinya hanya dipenuhi warna-warna gelap—langitnya kelabu sepanjang hari, tanahnya hitam pekat seperti arang, dan istana iblis tempatnya tinggal menjulang dengan menara tajam yang menjilat awan, dibangun dari batu-batu obsidian yang dingin dan memantulkan cahaya seperti kaca. Di sana, segala yang hidup seolah harus tunduk dan diam di bawah bayang-bayang kekuasaan.Namun kini, di hadapannya, hamparan alam penuh warna terbentang bagaikan lukisan mimpi. Daun-daun memantulkan cahaya keemasan, bunga-bunga menyala lembut dalam warna pastel, dan makhluk-makhluk mungil beterbangan dengan sinar lembut yang menyertai gerak mereka. Arcelia terpukau. Detak jantungnya berdegup cepat, bukan karena takut—melainkan karena kagum.Dia memang tidak tahu jalan pulang, tapi pesona tempat ini membuatnya enggan berpaling.Tanpa ia sadari, beberapa makhluk mungil yang menghuni tempat itu mulai muncul dari balik semak dan batang
Pagi menyapa kediaman keluarga bangsawan Throne dengan sinar lembut yang menelusup di sela tirai. Lyrienne perlahan membuka mata, dan begitu kesadarannya pulih, ia tersentak—jubah sang Kaisar masih tergantung di kursi dekat ranjangnya.Dengan langkah pelan, ia mendekat. Diambilnya jubah hitam bersulam emas itu, dan tanpa sadar ia menekankannya ke wajah, menghirup dalam-dalam aroma yang masih tertinggal di sana. Wangi khas Azrael.Air mata jatuh, membasahi pipinya yang pucat.Sebesar itukah cinta Kaisar pada Ratu, sampai aku pun tak layak disentuh? bisiknya dalam hati.Dulu, ia tak pernah berharap lebih. Ia tahu posisi dirinya. Tahu Kaisar tak akan berpaling dari Ratu Arcelia. Tapi siapa yang mampu menahan pesona Azrael? Ia pun awalnya tidak berniat jatuh cinta. Namun perasaan itu hadir begitu saja—tumbuh diam-diam dan kini menyiksa.“Kaisar…” isaknya lirih, menciumi jubah itu dengan penuh rindu, “katakan… apa yang harus aku lakukan sekarang?”Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan m
Kaisar Azrael melangkah keluar dari rumah Lyrienne, menyusuri kegelapan malam dengan satu tujuan: segera menuntaskan rindunya pada sang Ratu. Namun, langkahnya terhenti. Ia menoleh kembali… dan dalam diam, ia menyaksikan Lyrienne duduk bersandar di balik jendela, menangis dalam kesepian yang menyesakkan. Air mata perempuan itu jatuh tanpa suara, hanya menyisakan luka yang tak diungkapkan.Azrael tahu—meskipun tidak ada cinta untuk Lyrienne di hatinya, ia bisa saja menyentuhnya. Lelaki tidak selalu butuh cinta untuk melakukan itu, bukan? Terlebih, Lyrienne adalah perempuan cantik, lembut, dan berbudi luhur. Ia telah banyak berjasa bagi negeri Iblis. Hanya saja… dibandingkan dengan Arcelia, daya tarik Lyrienne tak mampu membakar hasrat terdalam Azrael.Ia seharusnya tak perlu merasa bersalah. Namun cinta kepada Arcelia justru menjadi batas, menjadi pagar yang mengekang tindakannya. Bukan karena takut—melainkan karena kesetiaannya yang sudah menjadi bagian dari jiwanya.Namun, bukankah i
Kecanggungan menggantung di udara. Lyrienne bukanlah perempuan frigid yang kebal terhadap pesona lelaki tampan—terlebih sosok mematikan yang kini duduk tak jauh darinya. Alih-alih tidur, ia justru sibuk menenangkan debaran jantungnya yang tak kunjung stabil.Begitu pula dengan Azrael. Ia adalah iblis perkasa, makhluk agung yang telah berkali-kali menaklukkan lawan jenis di ranjang. Tapi malam ini... ia harus berbagi kamar dengan seorang wanita cantik dan menggoda—tanpa boleh melakukan apa-apa.Mereka memang pernah melewati malam berdua di istana, namun saat itu pelayan dan penjaga berdiri di balik pintu paviliun, menjaga batas. Kini? Mereka berdua di rumah manusia fana, dalam keheningan, tanpa batasan nyata. Hasrat untuk mendekat, menyentuh, mencicipi kehangatan... menguat. Terlebih, rindu Azrael pada Arcelia semakin membara, dan kehadiran Lyrienne seakan menjadi celah yang menggoda untuk meluapkannya."Bagaimana ini?" tanya Lyrienne pelan, suaranya hampir seperti bisikan.Azrael meno