Keesokan harinya di sekolah, Rafka membicarakan rencana yang ia buat pada teman-teman satu gengnya yang terdiri tiga orang."Apa tidak terlalu berbahaya?" ujar Dean."Kasihan, Raf," timpal Sonu."Bener tuh, Raf. Kasihan." Atta pun merasa kasihan."Itukan Kakak Iparmu, kenapa kamu tega? Bagaimana perasaan Abangmu kalau tahu istrinya kita gilir." Dean tak tega membayangkan hal itu. "Kalian penakut banget sih! Lumayan, kan? Kakak Iparku itu cantik, jadi tidak akan rugi.""Bukan untung dan rugi, Raf. Kita mikir perasaan Abang kamu," balas Sonu.."Tidak usah banyak omong, kalian mau atau tidak?" Rafka tidak ingin banyak bicara.Sano, Dean, dan Atta saling tukar pandang satu sama lain. Mereka bingung apa yang harus mereka pilih."Cepat jawab!""Aku gak ikutan. Aku gak tega," putus Sonu."Banci kamu," cibir Rafka."Kata-kata itu lebih pas buat kamu, beraninya sama cewek. Dah lah, lebih baik aku pergi." Sonu tak mau ikut campur."Lalu bagaimana dengan kalian?" Rafka melihat kedua temannya."
Rafka sudah menyiapkan saputangan yang telah ia bubuhi dengan obat bius. Lalu ia juga menyiapkan sebuah kamera yang akan merekam aksinya nanti. Semua harus sempurna dan sesuai supaya aksinya tidak sia-sia."Akhirnya." Rafka bergumam senang karena sebentar lagi, semua yang ia impikan akan tercapai.Dari dulu Rafka ingin melakukannya. Namun, ia takut pada ibunya yang pasti akan memarahinya habis-habisan karena bersikap tak benar. Apalagi ibunya sangat membenci Sabrina. Saat inilah saat yang tepat baginya menjalankan semua rencana-rencana yang telah ia susun rapi sejak lama. Jika ibunya marah, ia akan beralibi cara cepat supaya Seno mau menceraikan Sabrina.Setelah menunggu beberapa saat, tak ada tanda-tanda Sabrina akan muncul, padahal ia sudah meminta untuk cepat karena tak sabar."Lama sekali, bagaimana kalau ada yang pulang." Rafka menggerutu kesal bercampur khawatir ada yang pulang lebih awal. Ia mondar-mandir di kamar dengan perasaan campur aduk, antara senang, tak sabar dan khawat
Setelah puas mengambil foto Sabrina dan bermain-main dengan sentuhan-sentuhan nakal. Rafka melepaskan pakaiannya sendiri. Ia tak sabar untuk melakukan 'itu' sekarang."Maaf Ipar ku yang cantik," ucap Rafli sembari tertawa puas. Ia senang sekali hari ini.Entah mimpi apa semalam, kakak iparnya kini ada di hadapannya tak sadarkah diri dan bebas untuk ia perlakukan sesuka hati. Meski dalam keadaan tidak sadar.Meskipun dalam hati, Rafka sudah mantap tetapi masih ada terselip rasa takut sehingga membuat tangannya bergetar saat hendak membuka seluruh sisa kain yang masih menempel di tubuh Sabrina."Ayolah, Raf. Kapan lagi kamu bisa lakukan ini," gumam Rafka untuk menyemangati dirinya sendiri. Ia tidak boleh mundur sekarang karena ia sampai di titik sekarang ini, membutuhkan waktu yang lama serta keberanian yang kuat.Seolah pikiran dan hatinya tertutup. Rafka melepaskan semua sisa kain yang masih menutupi bagian terlarang milik Sabrina. Ia takjub saat semua sudah terbuka. Ia makin tergila-
Bram tak mau menanggapi ucapan Rafka lagi. Semakin ia membalas, maka akan semakin terlihat jelas tentang perasaannya pada Sabrinal"Ayo bangun, Sabrina." Bram menepuk-nepuk pelan pipi Sabrina supaya bangun.Susah payah, akhirnya Sabrina mampu membuka matanya. Ia melihat sekeliling yang ternyata ia masih berada di kamar Rafka, seperti terakhir yang ia ingat."Syukurlah." Bram merasa lega ketika Sabrina sudah membuka matanya. Namun, berbeda dengan Rafka.Rafka sedikit panik dan takut. Ia takut Sabrina tahu apa yang telah ia lakukan, meskipun kemungkinan tahu sangat kecil karena ia melakukannya saat Sabr tak sadar lalu memakaikan kembali seluruh pakaian Sabrina secara benar. Bahkan ia tanpa jijik membersihkan milik Sabrina supaya tidak meninggalkan jejak."Aku kenapa?" Sabrina bertanya dengan terbata-bata. Kepalanya masih terasa pusing."Kamu kecapean lalu pingsan," balas Bram.Sabrina mencoba mengingat apa yang terjadi. Ia hanya mengingat saat merapikan seprai, Rafka mendekat dan membek
Rafka masuk kamar dan mendapati Sabrina tengah menangis. Membuat pikiran Rafka makin tak tenang tapi ia berusaha menampilkan wajah datar dan seolah tanpa rasa berdosa."Kenapa kamu tega padaku," lirih Sabrina dengan air mata yang berlinang deras membasahi wajah cantiknya."Tega apa?" Rafka menyodorkan minuman yang ia bawa pada Sabrina.Pranggg...Sabrina menepis minuman yang Rafka berikan. Ia benar-benar tak menyangka, adik iparnya sejahat itu padanya."Apa yang kamu lakukan!" suara Rafka meninggi."Harusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan!" Sabrina ikut meninggikan suaranya.Tak ada wanita yang mau harga dirinya di injak-injak dan di lecehkan. Seperti halnya dengan Sabrina. Meskipun selama ini ia diam atas perlakuan mertua dan iparnya yang sering menyuruhnya ini itu tapi kelakuan Rafka kali ini sungguh tidak bisa di maafkan.Belum sempat Rafka menimpali ucapan Sabrina, Bram datang. Akhirnya ia memilih untuk bungkam."Ada apa ini?" Bram yang baru datang, merasa heran melihat
Surti tak terima dengan ucapan Sabrina. Lagipula Surti tak akan percaya jika Rafka yang melakukan hal itu pada Sabrina. Rafka masih kecil, tidak mungkin punya pikiran sampai sana."Jangan mencoba fitnah Rafka. Dia masih kecil, kalau dia yang lakukan, sudah jelas pasti kamu yang mengajarkannya." Surti menuduh Sabrina mengada-ada."Tidak ada wanita yang rela memberikan tubuhnya cuma-cuma." Sabrina berucap sembari menghapus air matanya. Menurutnya, ini bukan saatnya untuk menangis tetapi ia harus berusaha tegar dan memperjuangkan keadilan untuk dirinya sendiri. Karena sudah tak ada lagi yang bisa ia harapkan di rumah ini. Suami yang satu-satunya menjadi alasan Sabrina tetap tinggal di rumah ini, kini sudah melukai hati dan perasaannya cukup dalam. Saat ini, lebih baik ia pergi meninggalkan semuanya. Jika Seno tetap tidak mempercayai dirinya."Bisa saja, kamu kan, wanita gatal." Surti mencibir Sabrina."Rafka membekapku dengan saputangan yang telah dia beri obat bius. Dia...." Sabrina me
Bram tak ingin peduli dengan Ibu dan saudaranya. Ia lebih memilih untuk membawa Sabrina pergi dari rumah yang lebih pantas di sebut neraka untuk Sabrina."Mau kemana, Mas?" tanya Sabrina, ia bingung saat Bram membukakan pintu mobil untuknya."Pergi ke tempat yang aman dan nyaman untukmu.""Apa ada tempat seperti itu?" Sabrina bertanya tak yakin. Ia merasa tidak ada tempat seperti itu saat ini baginya."Pasti ada, masuklah!"Sabrina menuruti ucapan Bram, ia juga sudah malas berada di tempat ini. Ia ingin pergi ke tempat yang jauh."Maafkan atas kesalahan-kesalahan yang telah keluargaku lakukan padamu," ucap Bram saat mereka sudah berada di dalam mobil."Aku sudah memaafkannya, Mas. Namun, untuk melupakan, sepertinya itu hal mustahil." Sabrina memang sudah memaafkan semuanya tapi ia tidak akan pernah lupa dengan apa yang telah mereka perbuat, terutama perbuatan Rafka padanya. Tak ada wanita yang ikhlas dan melupakan begitu saja peristiwa buruk yang telah dialaminya. Apalagi peristiwa it
"Ke rumahku?" Sabrina melihat sekeliling jalan yang tengah mereka lalui. Jalan itu nampak tak asing baginya. "Iya. Kamu lebih aman tinggal bersama orangtuamu sementara waktu." Menurut Bram, Sabrina akan aman jika tinggal bersama orangtuanya saat ini."Tidak!" tolak Sabrina cepat. Ia tak mau pulang ke rumah. Ia tak ingin menjadi beban pikiran kedua orangtuanya. Apa yang akan ia katakan nanti jika mereka bertanya. Lalu apa kata mereka jika ia datang tidak bersama Seno malah diantarkan Bram."Kenapa?""Aku tidak mau pulang, aku takut Ibu dan Bapakku kepikiran tentang aku lalu jatuh sakit. Aku tidak mau," tegas Sabrina. "Tapi di sini tempat yang paling aman untukmu. Bilang saja kalau kamu rindu dengan mereka dan ingin menginap beberapa hari, sambil aku mencarikan kontrakan untukmu." Bram mencoba memberikan pengertian pada Sabrina supaya mau tinggal sementara di rumah orangtuanya sampai ia mendapatkan kontrakan yang cocok untuk Sabrina tinggali."Tapi... ""Ini demi kebaikanmu."Akhirnya