Rafka terus tersenyum memandangi Sabrina yang tengah tertidur lelah setelah percintaan hebat mereka beberapa jam yang lalu. Ia tidak menyangka akan merasakan hal seindah ini."Aku sangat mencintaimu." Rafka berucap pelan sembari mengusap-usap rambut Sabrina yang lembut dan harum."Eh aku ketiduran, ya?" Sabrina membuka matanya meski merasa enggan. Ia sangat mengantuk dan sedikit lemas tapi ia tetap harus bangun dan berpindah kamar, takut terjadi apa-apa dengan Sera jika ditinggal tidur sendirian."Tidak apa-apa. Tidur saja lagi, pagi masih lama.""Kasihan Sera tidur sendirian. Aku takut dia haus atau jatuh."Sabrina hendak berdiri tapi kemudian ia duduk kembali dan menarik selimut yang entah sejak kapan ia memakainya. Ia tarik selimut itu hingga ke leher."Kenapa?" Rafka melihat Sabrina dengan tatapan bingung. "Sakit itunya? perlu aku gendong?""Ih apa sih." Wajah Sabrina bersemu merah ketika mendengar ucapan Rafka tapi bukan itu yang membuat ia tak jadi bangun."Aku hanya ingin memba
Setelah berpakaian, Rafka menuju kamar utama untuk melihat keadaan Sera yang tadi menangis. "Apa dia baik-baik saja?""Iya, dia terbangun karena mengompol. Aku sudah mengganti celananya dan dia langsung tidur lagi."Sabrina meletakkan pakaian kotor Sera ke keranjang cucian kotor khusus supaya tidak tercampur dengan lainnya."Kamu sudah mengantuk, belum?" Rafka menepuk-nepuk tempat tidur yang ada disebelahnya, meminta Sabrina untuk duduk.Sabrina mencuci tangannya, kemudian duduk di samping Rafka. "Ada apa?" Ia khawatir saat melihat wajah serius Rafka. "Ada masalah gawat?""Tidak ada, tidak ada masalah gawat." Rafka tersenyum dan meraih tangan Sabrina. "Aku izin cari kerja yang baru. Boleh, kan?""Apa kamu di pecat?""Tidak kok. Aku tidak di pecat tapi aku ingin mencari pekerjaan yang gajinya lumayan besar. Lagipula aku sekarang sudah lulus sekolah dan sudah punya ijazah untuk modal mencari pekerjaan lain." "Kenapa tiba-tiba ingin mencari pekerjaan lain?""Meski gajinya nanti tidak ja
Satu titik rasa masuk menyelinap di sela-sela rasa putus asa. Sabrina sudah tak tahan lagi."Mas Bram, aku lelah." Pria bernama Bram itu, mendekat dan memeluk erat wanita yang kini tengah menangis sesenggukan."Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya lembut.Wanita itu menggeleng pelan. Ia juga tak tahu apa yang harus dilakukan tapi yang ia tahu saat ini ia tengah melakukan kesalahan. "Aku mencintaimu, Sabrina. Jangan menangis lagi."Sabrina segera melepaskan pelukannya. "Tidak Mas, ini tidak boleh terjadi. Ini tidak benar." Sabrina menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Berharap kesadarannya segera kembali."Iya, kamu benar. Ini semua salah." Bram mundur selangkah untuk memberikan ruang diantara mereka.Rasa yang mereka miliki adalah perasaan yang salah. Perasaan yang akan menghancurkan keduanya.Karena mereka tidak akan pernah mungkin bersatu.
Suara dentingan sendok beradu dengan piring terdengar nyaring. Hingga mengalihkan semua pandangan ke arah suara itu."Makanan macam apa ini!" seru Wati."Memangnya kenapa?" tanya Seno yang baru saja akan bergabung untuk sarapan."Kamu coba saja sendiri," balas Wati ketus pada Seno, adiknya.Seno segera duduk dan mengambil nasi beserta lauk secukupnya. Namun, baru satu kali suapan. Seno mengambil tisu dan memuntahkannya. Ia langsung merasa mual dan menyambar air putih yang ada di hadapannya kemudian meminumnya hingga tandas."Bagaimana rasanya?" Wati tertawa mengejek Seno.Semoga tak menjawab pertanyaan Wati, ia justru melihat ke arah Sabrina_istrinya. "Kamu ini gimana sih, Yang!" Seno menegur. "Aku tidak tahu, tadi padahal tidak asin seperti ini," ujar Sabrina bingung saat ia mencicipi masaknya sendiri barusan.Saat memasak tadi, Sabrina sudah mencicipi semua masakkan yang ia buat. Semuanya, rasanya enak tapi entah mengapa, masakkan yang ia buat menjadi sangat asin seperti sekarang i
Sabrina menangisi nasibnya di kamar. Ia tak habis pikir, kenapa Seno bisa tega bersikap seperti itu padanya. Padahal dulu saat mereka masih pacaran, Seno sangat baik dan romantis tapi akhir-akhir ini semuanya berubah. Seno tidak seperti dulu lagi.Tak jarang, Seno sekarang bersikap kasar padanya meskipun hanya lewat ucapan. Namun, sekarang tidak hanya ucapan tadi Seno tega mendorongnya. Lalu kemana rasa cinta yang Seno miliki untuknya dulu?"Sabrina!" Surti menggedor-gedor pintu kamar Sabrina secara brutal.Sabrina langsung menghapus air matanya dan bergegas keluar untuk menemui ibu mertuanya."Lelet sekali," ucap Surti ketika pintu sudah di buka."Ada apa, Bu?""Pakai tanya ada apa, cepat turun dan bersihkan seluruh lantai rumah ini!" perintah Surti semena-mena."Tapi bukankah sudah ada pembantu?""Bi Darmi aku suruh cuti seminggu dan selama itu, kamu yang gantikan tugas-tugasnya.""Apa Bi Darmi tengah sakit?" Sabrina merasa tadi pagi Bi Darmi baik-baik saja, lalu kenapa tiba-tiba l
Setelah makan malam, pekerjaan Sabrina belum juga selesai. Ia harus membereskan meja makan dan mencuci piring-piring yang kotor sendirian. Setelah berkutat dengan piring-piring kotor hampir setengah jam, akhirnya pekerjaan Sabrina selesai juga. "Alhamdulilah," ucap Sabrina sembari mengelap keringatnya.Sabrina sudah tak sabar ingin beristirahat karena badannya terasa sangat pegal setelah bekerja seharian membersihkan rumah."Sabrina!"Sabrina menghentikan langkahnya. Lalu melihat ke arah sang pemanggil. "Ada apa, Mas Bram?""Bisa temani aku keluar sebentar?""Tapi .... ""Aku sudah izin pada Seno. Kamu tidak usah khawatir kalau tidak percaya, kamu bisa tanyakan padanya.""Baik, Mas tapi tunggu sebentar, aku ganti baju dulu dan pamit ke Mas Seno.""Baiklah, aku tunggu di mobil." Bram keluar terlebih dahulu.Sedangkan Sabrina, ia ke kamar untuk berganti baju dan pamit pada suaminya."Mas, tadi Mas Bram minta aku buat nemenin dia," ucap Sabrina begitu sampai di kamar."Hmm." Seno hanya
Bram tertawa melihat Sabrina salah tingkah. Meskipun apa yang ia ucapkan adalah sebuah kejujuran. Namun, Bram tak mau membuat hubungan mereka menjadi canggung."Lucu sekali wajah kamu," goda Bram."Mas Bram!!" Sabrina memukul-mukul lengan Bram kesal. Ia sudah merasa tak enak dan bingung akan jawab apa. Ternyata hanya sebuah candaan.Sabrina kesal tapi di sisi lain, ia jadi tahu kalau Brsm yang selama ini ia anggap kaku ternyata orang yang humoris dan baik."Sudah-sudah, ayo kita turun!" Bram mengajak Sabrina untuk turun dari mobil."Iya. Sebenarnya kita mau cari kado seperti apa, Mas?""Aku belum tahu, nanti kamu pilihkan yang terbaik saja."Sabrina mengangguk paham dan mengikuti Bram.🥀🥀🥀Sabrina sedikit kesal, kakinya juga sudah pegal. Namun, Bram belum juga memutuskan apa yang akan dia beli. Padahal sejak tadi mereka sudah keluar masuk beberapa toko."Mas, sebenarnya nyari apa sih?" "Aku tidak tahu. Kalau aku tahu, aku tidak akan mengajakmu.""Dari tadi kita sudah keluar masuk
Bram mengusap wajahnya kasar, ia tahu kalau ia baru saja melakukan kesalahan tetapi ia tak bisa menahan lebih lama lagi perasaannya."Maafkan aku," ucap Bram. Ia tak tahu harus berkata apalagi selain meminta maaf.Sabrina sendiri salah tingkah, marah? Tentu saja, Sabrina merasa marah dengan sikap Bram yang lancang tapi munafik jika ia bilang kalau ia mengatakan tidak bahagia bersama Bram hari ini. Entah mengapa, kebahagiaan itu tumbuh berkali-kali lipat ketika Bram menyatakan cintanya."Pulang." Hanya itu yang keluar dari bibir Sabrina. Ya, Sabrina ingin segera pulang untuk menjernihkan otaknya yang menurutnya sudah tak waras lagi. Seharusnya ia tidak boleh senang. Perasaan itu tidak boleh ada di antara mereka.Bram hanya mengangguk dan tak berbicara apa pun lagi. Perjalanan pulang, dilalui dengan keheningan diantara keduanya. Mereka berdua sibuk dengan pemikirannya masing-masing.🥀🥀🥀Sesampainya di rumah, Sabrina langsung keluar mobil dan segera berlari masuk ke rumah.Bram tak