Setelah kedatangan Anindya yang begitu mendadak, Ilona seperti kehilangan separuh jiwanya. Ia memang tidak terlibat bahkan tak tahu apa-apa. Namun, tetap saja dirinya merasa bersalah. Andai ia lebih berani menyatakan kejujuran itu sejak awal. Mungkin, rasa bersalahnya tak akan sebesar ini.
Kemuraman itu tak hanya berlangsung satu hari. Hari-hari berikutnya pun tak jauh berbeda. Suasana hati Ilona tak kunjung membaik. Situasi yang terjadi benar-benar membuatnya serba salah. Dan hingga berhari-hari kemudian, Ilona tidak tahu harus melakukan apa. “Aku harus pergi ke Makassar selama beberapa hari. Siang ini aku berangkat,” tutur Reinhard yang sedang memasang dasi di depan cermin. Sedari tadi, Ilona memperhatikan suaminya dari belakang. Sedangkan dirinya masih duduk di pinggir ranjang. Ia tak berani mendekat dan membantu lelaki itu. Meskipun mungkin saja Reinhard tak akan menolak. Namun, keberaniannya tak sebesar itu. Setela“Kamu yakin mau tinggal di sini saja? Aku bisa menyewakan apartemen atau rumah yang lebih layak untuk kalian,” ucap Gerald yang lebih dulu melangkah ke rumah kontrakan pilihan Ilona. Rumah ini sangat kecil. Bahkan, jika dibandingkan dengan kamar Reinhard maupun kamar Ilona di kediaman lelaki itu, tentu saja sangat jauh. Namun, sekarang Ilona hanya tunggal berdua dengan putrinya saja dan kontrakan ini sudah lebih dari cukup. Jalan di sekitar rumah ini cukup sempit. Sehingga Ilona dan Gerald harus turun di ujung persimpangan jalan dan berjalan kaki. Jalanan yang mereka lalui becek dan agak licin. Hujan mengguyur cukup deras sejak matahari tenggelam. Namun, untungnya saat aksi yang Ilona lakukan, hujan telah reda. Ilona tak meminta Gerald ikut turun dari taksi. Sebab, sekarang sudah terlalu malam. Lelaki itu juga perlu istirahat mengingat keesokan harinya memiliki segudang aktivitas seperti suaminya. Namun, Gerald memaksa ingin ikut turun dan membantu memb
Ilona tahu ibu mertuanya menginginkan perpisahannya dengan Reinhard. Segera. Namun, ia tidak memperkirakan jika Anindya telah mempersiapkan surat gugatan cerai. Tubuh Ilona mendadak oleng, untungnya ia dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Berkas yang Anindya bawa telah wanita paruh baya itu buka. Ternyata nama Ilona dan Reinhard. Belum ada tandatangan yang tertera di sana. Ada kemungkinan Reinhard memang belum tahu. Atau lelaki itu sengaja ingin dirinya yang lebih dulu membubuhkan tandatangan. “Ayo tandatangan! Kenapa diam?” Anindya kembali mencerca Ilona. Wanita paruh baya itu sudah siap dengan bolpointnya. Ia ingin sang menantu segera menandatangi berkas tersebut. “Kamu mengkhawatirkan harta gono gini? Tenang saja. Saya bisa memberikan berapa pun yang kamu inginkan. Asalkan kamu tandatangani berkas ini dan segera angkat kaki dari sini,” ucap Anindya dengan nada merendahkan khasnya. Hati Ilona terasa seperti diremas. Seandainya dulu aya
Setelah kedatangan Anindya yang begitu mendadak, Ilona seperti kehilangan separuh jiwanya. Ia memang tidak terlibat bahkan tak tahu apa-apa. Namun, tetap saja dirinya merasa bersalah. Andai ia lebih berani menyatakan kejujuran itu sejak awal. Mungkin, rasa bersalahnya tak akan sebesar ini. Kemuraman itu tak hanya berlangsung satu hari. Hari-hari berikutnya pun tak jauh berbeda. Suasana hati Ilona tak kunjung membaik. Situasi yang terjadi benar-benar membuatnya serba salah. Dan hingga berhari-hari kemudian, Ilona tidak tahu harus melakukan apa. “Aku harus pergi ke Makassar selama beberapa hari. Siang ini aku berangkat,” tutur Reinhard yang sedang memasang dasi di depan cermin. Sedari tadi, Ilona memperhatikan suaminya dari belakang. Sedangkan dirinya masih duduk di pinggir ranjang. Ia tak berani mendekat dan membantu lelaki itu. Meskipun mungkin saja Reinhard tak akan menolak. Namun, keberaniannya tak sebesar itu. Setela
Pertanyaan yang Anindya lontarkan membuat Ilona nyaris terhuyung. Wajahnya kontan memucat dengan napas memburu. Tanpa bisa dicegah, pening mulai menyergap kepalanya. Jika Anindya sudah tahu, maka Reinhard pun sama. Rupanya feelingnya belakangan ini benar. Reinhard memang telah mengetahui rahasianya. Rahasia besar yang berusaha dirinya simpan rapat-rapat. Namun, lelaki itu memilih diam, seolah tak tahu apa-apa. Entah untuk menunggu apa hingga lelaki itu memilih berpura-pura tidak tahu. Sebenarnya Ilona tak benar-benar ingin menyembunyikan kenyataan itu selamanya. Ia hanya ingin mencari waktu yang tepat untuk berbicara pelan-pelan pada Reinhard. Dan seharusnya tidak secepat ini. Apalagi hubungannya dengan lelaki itu baru membaik. “Ma, ini urusan kami. Aku yang akan menyelesaikannya,” ucap Reinhard sembari menatap mamanya yang tampak sangat berapi-api. Reinhard sudah merangsek maju, sengaja menghalangi Anindya agar tidak menghampiri Ilona. Namun,
“Aku mau tidur di sini,” ucap Reinhard lirih sebelum membaringkan kepalanya di pangkuan Ilona dan kembali memejamkan mata. Ilona yang terkejut bukan main masih terdiam kaku. Ia tak mendengar suara pintu terbuka atau langkah Reinhard. Namun, tiba-tiba lelaki itu sudah sampai di kamarnya. Entah sejak kapan dan entah mendengar obrolannya dengan Adrian atau tidak.Ilona menatap Reinhard yang kini berbaring di pangkuannya sembari memeluk pinggangnya. Tangannya terulur untuk mengelus rambut hitam legam lelaki itu. Demam Reinhard sudah agak turun, namun suhu tubuh lelaki itu masih belum mencapai normal. Ilona spontan mengakhiri panggilan tersebut sembari terus menatap Reinhard. Memastikan jika lelaki itu tidak mengetahui apa yang dirinya lakukan. Untungnya, kakaknya sudah tidak berbicara lagi. Setelah itu, ia langsung meletakkan ponselnya di atas nakas. “Kenapa pindah ke sini?” bisik Ilona sembari mengelus rambut suaminya itu. “Aku sengaja membawa Rub
“Ada yang kamu sembunyikan dariku?”Pertanyaan itu bukan meluncur dari bibir Ilona. Sebaliknya, malah Reinhard yang menanyakannya. Ilona yang sedang membaca keterangan pada obat-obatan Reinhard lantas menegang. Posisinya saat ini Reinhard yang membohonginya. Namun, malah lelaki itu yang lebih dulu mencercanya. Reinhard memang tidak bertanya dengan nada sinis ataupun mengintimidasi. Bahkan, lelaki itu masih menatap Ilona dengan sorot hangat di matanya yang sayu. Namun, pertanyaan tersebut sudah berhasil membuat jantung Ilona berdebar dua kali lebih cepat. Ilona membawa serta obat-obatan milik Reinhard ke hadapan lelaki itu. Ia menetralkan ekspresinya, mencoba tak terpengaruh dengan tatapan Reinhard yang semakin lama terasa kian mengintimidasi. Padahal lelaki itu tak mengubah tatapannya. “Aku buatkan bubur ya? Kamu harus minum obat,” tutur Ilona yang masih menatap obat-obatan di tangannya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku.” Reinhard ta